Merdeka Belajar, Merdeka Yang Bagaimana?

Oleh : Elin Nurlina 
(Ibu Rumah Tangga, Banjaran-Kab.Bandung)

Kehidupan tak lepas dari namanya belajar. Semenjak kita di lahirkan sampai menua pun belajar tidak boleh lekang karena usia. Sejatinya dengan belajar kita bisa mengetahui berbagai hal. Apakah itu tentang agama, sains, teknologi, dll. Bahkan dengan belajar dari kegagalan pun kita bisa menemukan awal dari sebuah kesuksesan. Hanya saja yang harus kita cermati adalah bahwa semua itu tidaklah semudah kita membalikan telapak tangan, akan tetapi harus di sertai dengan azzam yang kuat, belajar sungguh-sungguh dan penuh keyakinan bahwa kita bisa.

Belajar dalam agama manapun sangat di tekan kan. Sebab tanpa belajar mustahil orang bisa menjadi hebat, mustahil tanpa belajar orang menjadi pandai, mustahil tanpa belajar orang menjadi sukses, dan mustahil tanpa belajar orang bisa dalam segala hal. Kenapa bisa begitu?, karena Itu semua butuh belajar. Banyak kita temukan dari hadist maupun dari al-qur’an mengenai pentingnya mencari ilmu. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya belajar dan mencari ilmu bagi umat manusia. Terlebih bagi umat islam, belajar adalah sebuah kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak maupun hingga sudah tua.

Menyoal tentang merdeka belajar, sebagaimana yang di kutip dari Wikipedia, Merdeka Belajar adalah program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi. Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi.

Pada tahun mendatang, sistem pengajaran juga akan berubah dari yang awalnya bernuansa di dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid dapat berdiskusi lebih dengan guru belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya, akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat. Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu.

Pokok-pokok kebijakan Kemendikbud RI tertuang dalam paparan Mendikbud RI di hadapan para kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota se-Indonesia, Jakarta, pada 11 Desember 2019.

Ada empat pokok kebijakan baru Kemendikbud RI, yaitu:
1. Ujian Nasional (UN) akan digantikan oleh Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen ini menekankan kemampuan penalaran literasi dan numerik yang didasarkan pada praktik terbaik tes PISA. Berbeda dengan UN yang dilaksanakan di akhir jenjang pendidikan, asesmen ini akan dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11. Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi sekolah untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya sebelum peserta didik menyelesaikan pendidikannya.

2. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diserahkan ke sekolah. Menurut Kemendikbud, sekolah diberikan keleluasaan dalam menentukan bentuk penilaian, seperti portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan lainnya.

3. Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Menurut Nadiem Makarim, RPP cukup dibuat satu halaman saja. Melalui penyederhanaan administrasi, diharapkan waktu guru dalam pembuatan administrasi dapat dialihkan untuk kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi.

4. Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi diperluas (tidak termasuk daerah 3T). Bagi peserta didik yang melalui jalur afirmasi dan prestasi, diberikan kesempatan yang lebih banyak dari sistem PPDB. Pemerintah daerah diberikan kewenangan secara teknis untuk menentukan daerah zonasi ini.

Nadiem membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa alasan. Pasalnya, penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil penilaian pada siswa Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 Negara.

Menyikapi hal itu, Nadiem pun membuat gebrakan penilaian dalam kemampuan minimum, meliputi literasi, numerasi, dan kurvei karakter. Literasi bukan hanya mengukur kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menganalisis isi bacaan beserta memahami konsep di baliknya. Untuk kemampuan numerasi, yang dinilai bukan pelajaran matematika, tetapi penilaian terhadap kemampuan siswa dalam menerapkan konsep numerik dalam kehidupan nyata. Soalnya pun tidak, tetapi membutuhkan penalaran. Satu aspek sisanya, yakni Survei Karakter, bukanlah sebuah tes, melainkan pencarian sejauh mana penerapan asas-asas Pancasila oleh siswa.

Bila kita cermati, merdeka belajar yang di canangkan oleh Kemendikbud mungkin ada baiknya dan patut kita apresiasi. Namun bukan hal tidak mungkin bahwa program ini akan menuai polemik di ruang public, apakah itu di kalangan guru, orang tua, maupun murid. Perlu di perhatikan, memberikan ruang yang luas dan waktu yang nirbatas bagi guru dan murid dalam menginisiasi, mengisi dan merefleksi aktivitas pembelajaran agar lebih berguna, bermakna, dan efektif menjadi realitas yang berkualitas, maka pemerintah haruslah menggaransi mutu gurunya. Caranya dengan menetapkan standar yang tinggi bagi guru, baik standar kualitas maupun standar fasilitas. Selain itu perhatikan kurikulumnya, buku-bukunya, pembelajaran dan penilaian harus di jaga kualitasnya agar merdeka belajar berkualitas bukan merdeka untuk malas-malasan belajar. Perhatikan juga rambu-rambunya, apakah sudah sesuai dengan falsafah, adat istiadat bangsa, prinsip-prinsip pembelajaran efektif, berguna dan bermakna, terlebih apakah metode pembelajarannya sesuai dengan islam atau tidak. 

Program “merdeka belajar” ala nadiem seakan program setengah jadi yang di paksakan. Bagaimana tidak, program tersebut di luncurkan demi menjawab keraguan publik terhadap dirinya sebagai Mendikbud yang di angkat dari kalangan pengusaha. Memang benar kebijakan merdeka belajar bukanlah barang baru dalam dunia pendidikan. Carl Ransom Rogers ‘sang pionir teori humanisme’ Puluhan tahun yang lalu telah menulis buku berjudul ‘Freedom to Learn’. Kemungkinan dari sinilah inspirasi lahirnya kebijakan nadiem. Ternyata pemikiran merdeka belajar dalam pendidikan humanistic memiliki empat prinsip utama. Pertama, guru tidak melulu dapat mengajari murid secara langsung. Kedua,orang belajar bermakna hanya pada apa yang menurut mereka berguna bagi dirinya. Ketiga, pengalaman pembelajaran dimasa lalu akan berasimilasi dengan karakter, pengetahuan, pemahaman, dan kejadian masa sekarang. Keempat, pengorganisasian diri murid akan lebih kaku jika pembelajaran di kelas di penuhi dengan intruksi apalagi ancaman.

Menyikapi hal itu maka patutlah kita cermati mengenai merdeka belajar itu seperti apa dan bagaimana tindak lanjutnya. Konsep dan landasannya seperti apa, aspek nilainya bagaimana, Juga esensi pendidikan yang hendak di capainya seperti apa?, itu yang harus kita perhatikan. Jangan sampai problem pendidikan tambah carut marut akibat salah ambil kebijakan. 

Memang empat pokok kebijakan merdeka belajar yang di canangkan mungkin lebih meringankan, baik itu bagi guru karena ada penyederhanaan untuk bikin RPP, murid-murid tidak akan lagi tertekan dengan tuntutan nilai karena ujian hendak di tiadakan serta akan di berikan kebebasan untuk lebih kreatif  sehingga nantinya akan lebih mandiri dan kompeten. Namun merdeka belajar dalam pengertian kebebasan berpikir haruslah kita khawatirkan, sebab hal ini akan mendorong dalam kebebasan dalam pendidikan utamanya kebebasan dalam berpikir. Padahal banyak konsep-konsep pendidikan yang harus terikat dengan syara’. Jika pemikiran di biarkan bebas maka sudah barang tentu bisa salah arah, maka syara’-lah yang harus jadi acuan dalam segala hal termasuk konsep-konsepnya, landasannya, kurikulumnya, serta aspek nilanya.

Belajar adalah proses meningkatkan taraf berfikir sehingga terwujud tingkah laku yang benar dan penampilan dengan serangkaian aktivitas misalnya: membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Dengan demikian, belajar juga bisa dilihat secara makro dan mikro, luas dan khusus. Dalam arti makro, luas, belajar dapat diartikan sebagai aktivitas ruhani-jasmani menuju perkembangan pribadi yang utuh. Dalam hal ini, belajar tidak hanya mentransfer ilmu dari guru ke murid saja. Atau tidak hanya memperkaya tsaqofah saja, Tetapi tujuan belajar adalah memperoleh ilmu, dan ilmu yang di dapat untuk di kembangkan dan di amalkan. Dengan demikian dalam proses pembelajarannya, guru tidak serta merta di beri kebebasan dalam menentukan metode pembelajaran dengan dalih yang penting materi yang di ajarkan paham saja, tetapi harus mengacu pada prosedur yang sesuai dengan perspektif islam. Hal ini mencakup dalam tiga ranah atau lingkup, sebagaimana sering diungkapkan dengan istilah : Ilmu amaliah, amal ilmiah dalam jiwa imaniah.  Dengan demikian, untuk apa belajar Belajar adalah untuk memperoleh ilmu. Untuk apa ilmu? Untuk dikembangkan dan diamalkan. Untuk apa? Demi kesejahteraan umat manusia dan lingkungan yang aman sejahtera. Berdasarkan apa? Pertanggungjawaban moral kepada Allah SWT. 

Oleh karena itu, merdeka belajar haruslah di sesuaikan dengan tujuan belajar yang sesungguhnya, yaitu mengembangkan ilmu dan mengabdi kepada Allah SWT, dengan demikian sistem moralnya juga harus diderivasi dari norma-norma Islam yang bersumber dari wahyu Allah maupun hadist. Agar apa?, agar nantinya ilmu yang di dapat bukan hanya sekedar memperkaya tsaqofah saja, atau hanya ingin mendapatkan nilai materi saja, tetapi lebih ke  dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal dan ketundukan vertikal. Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar dalam Islam tak berbeda dengan belajar pada umumnya,  yang tak terpisahkan dengan pengembangan sains dan teknologi (menggali, memahami dan mengembangkan ayat-ayat Allah), intelektual ke arah pengenalan dan pendekatan diri kepada Al Khaliq. Dalam kaitan inilah, lalu pendidikan hati (qalb) sangat dituntut agar membawa manfaat yang besar bagi umat manusia dan juga lingkungannya, bukan kerusakan dan kezaliman seperti yang terjadi saat ini yang diakibatkan oleh bebasnya berpikir dan pendidikan hati ini merupakan perwujudan dari ketundukan vertical. Metode pembelajaran pun harus dengan talaqiyan fiqriyan, di mana murid di dorong untuk mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang diterimanya, mengindera fakta secara rinci kemudian mampu mempresentasikan menurut bahasanya sendiri, sehingga hasil dari belajar  mampu mencetak dirinya menjadi seorang pembelajar yang bermanfaat, memberikan kemaslahatan bagi umat manusia dan lingkungannya dengan motivasi utama adalah ibadah. 
Previous Post Next Post