Maut di Sebilah Pisau


Pemuda 18 tahun, nekat menikam dada dan kaki kiri ayah tirinya hingga tewas. Emosi menguasai jiwa. Siapa juga yang terima adik perempuannya dinista, sedang ibunya kerap dianiaya. (KOMPAS, 1/8/2020)

Drama keluarga semacam ini, bukan kali pertama. Dan nampaknya bukan menjadi kasus terakhir. Mengaduk-aduk perasaan, saat pelaku pidana melakukannya justru dengan alasan moral. Sosok ibu yang telah payah mengandungnya sembilan bulan, dipukul dan diumpat sehina dina. Anak mana tak terluka. 

Ketika adik perempuan dijadikan pelampiasan nafsu durjana, dilecehkan dan direnggut kehormatannya, kakak mana tak meradang. Sosok ayah -sekalipun tiri- bukannya menopang dan melindungi, malah menjadi monster tak berhati. Entah mengapa ibunya dahulu mau dinikahi. Waktu tak bisa dipaksa mundur. Lajunya menggilas segara torehan luka, suka atau tidak. 

Maka diasahlah pisau itu. Dipandang sedemikian rupa, penuh dengan sengkarut pikiran suram dan temaram. Menjadi blur, hitam putih bertukar, membingungkan. Nilai baik buruk seperti tidak mampu lagi didefinisikan, yang ada hanya dendam dan tumpukan bara emosi berkobar. 

Seperti bom waktu, tinggal menunggu momen tepat, lepaslah kendali itu. Tikaman menjadi percikan air pemadam bara. Sekali, dua kali dan memintah tambahan porsi. Sedetik puas saat melihat cucuran darah segar dan geliat kesakitan. Sedetik berikutnya, realitas menyeret ke dalam penyesalan mendalam. Tangan gemetaran, pisau pun terjatuh, lutut melemas. Sadar, ada harga yang harus dibayar. Lantas pertanyaannya, pantaskah masa depan dunia-akhirat menjadi tumbalnya? 

Inilah perangkap setan. Kemaksiatan dibalas dengan kemaksiatan ulang. Membayar keburukan dengan melakukan keburukan, di mana letak kebijaksanaannya. Apakah akal sehat dikeranjangsampahkan? 18 tahun semestinya sudah cukup membuat seorang pemuda, matang dalam memilih sikap terbaik dan terpuji. Menyelesaikan masalah dengan cerdas dan mulia. 

Namun, hal tersebut hanya akan menjadi halusinasi semata. Pasalnya, pemuda saat ini sudah berlari sangat jauh dari pemikiran akidahnya. Acuh pada tuntunan agama. Tolak ukur perbuatan sudah tidak dikembalikan pada hukum syara'. Bahkan tak mengenal apa itu hukum syara'.

Isi kepalanya dijauhkan dari pemahaman Islam. Miris dan lebih memilukan dari sekadar tikaman. Efek destruktifnya tujuh turunan. Bisa jadi tujuh puluh generasi mendatang. Para pemuda seakan lumpuh akal, pendek angan, reaktif dan bersumbu pendek alias mudah tersulut emosinya. 

Di sinilah pentingnya keberadaan tsaqofah Islam, sebagai nutrisi bergizi bagi isi kepala setiap Muslim. Bahkan bagi sebuah peradaban. Dimana tsaqofah sendiri bermakna pengetahuan yang diperoleh melalui metode rasional yaitu metode berpikir terhadap suatu fakta empiris dengan cara mengindera fakta tersebut lalu mentransfernya ke dalam otak melalui pancaindera, serta memberikan penafsiran terhadap fakta tersebut dengan seperangkat informasi sebelumnya yang telah ada dalam memori otak.

Bahasa mudahnya, tsaqofah adalah  proses berpikir berdasarkan pandangan hidup tertentu dan terinternalisasi dalam sikap seseorang. Atau kurang lebih identik dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences), lebih tepatnya seputar ilmu sosial-humanistik (humanistic-social sciences). 

Seorang Muslim sudah sewajarnya menjalani kehidupan dengan corak khas, datang dari tsaqofah Islam. Saat masalah bertubi mendera, maka bekal tsaqofah Islam akan membuat pemiliknya piawai dalam mengemas atau mengurai masalah sekusut apapun. Saat emosi meletup-letup, ingatan akan larangan memutuskan perkara pada saat marah, melintas. Hadis lain mengatakan bahwa: "Janganlah kamu marah, maka surga bagimu". 

Semua keputusan dalam melakukan satu perbuatan, akan dipikirkan terlebih dahulu status hukumnya. Allah ridha atau tidak, berpahala atau mengundang dosa. Baik atau buruk, terpuji atau tercela. Prinsip hidup tersebut lahir dari mindset berselimut tsaqofah Islam. Dengannya, seseorang akan sampai pada ketinggian moral, bijak dalam bersikap dan cemerlang saat berpikir. 

Maka akan tercetak bersama tsaqofah ini, individu potensial, dengan pola pikir dan pola sikap Islami. Inilah yang digambarkan dalam QS. Ali Imran ayat 110, sebagai sebaik-baik manusia. Tentu, menguasai tsaqofah Islam bukan ujug-ujug, bawaan lahir (bakat), apalagi ilmu tiban. Namun tsaqofah Islam terwujud lewat pembinaan (tastqif). 

Pembinaan dilakukan secara intensif, terukur dan terencana. Diawali dengan penanaman akidah melalui proses berpikir (aqliyyah). Seiring dengan pembinaan, tsaqofah akan semakin matang. Dan akan membawa kepada pemiliknya untuk keluar dari zona nyaman ataupun kondisi pragmatis. Menjadi seseorang yang peka terhadap kondisi sosial. Maka akan lahirlah generasi "proplem solving" revolusioner, mereka adalah penggerak perubahan di tengah rusaknya masyarakat. 

Bersama dalam gerakan yang seragam akan membawa gelombang pencerahan, para penyintas kehidupan akan melebur bersama. Siapapun yang hatinya penuh luka, teraniaya, terzalimi, merindukan kondisi ideal, terpanggil untuk membawa sebuah perbaikan. Sampai akhirnya akan meminta kepada pemimpin, menyatukan visi dan misi. Endingnya, tsaqofah Islam akan diadopsi sebagai tsaqofah negara, bahkan menjadi pondasi peradaban. 

Jika sudah demikian, pisau tidak akan lagi menjadi pengantar maut. Darah manusia nyaman mengalir dalam pembuluhnya, tanpa khawatir sewaktu-waktu akan ditumpahkan. Kehidupan akan berjalan sesuai fitrah. Ayah ibarat pohon besar, rindang, berbuah, mengayomi, melindungi dan menafkahi. Ibu ibarat rembulan, sepenuh kelembutan menghadirkan ketenangan. Dan anak-anak seperti hamparan hijau pepadian, menyenangkan pandangan, sejuk di hati. Indah, bila semua berjalan pada relnya. 
Wallâhu a'lam bish-shawab. 

*Penulis Muslimah dari Indramayu
Previous Post Next Post