Malu Kita, Bilang Merdeka

Oleh: Fitri Suryani, S. Pd.
(Guru dan Penulis Asal Konawe, Sulawesi Tenggara)

Setiap tanggal 17 Agustus biasa diperingati sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Tapi benarkah untuk mengukur kemerdekaan suatu negeri hanya bisa dilihat dari fisik saja? Bagaimana dengan perkara lain?

Sebagaimana telah diketahui oleh berbagai negara di dunia, bahwasanya negeri ini memiliki sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah, tetapi sayangnya itu tidak lagi sepenuhnya menjadi milik negeri ini. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menyatakan bahwa SDA Indonesia sudah dikuasai oleh asing sejak dahulu (Tribunnews.com, 17/04/2018). Hal yang tak jauh berbeda juga disampaikan Ketua Wantim MUI, Din Syamsuddin yang mengatakan bahwa 79 persen dunia minyak dan gas Indonesia dikuasai oleh asing. 43 persen Chevron sendiri (Voa-Islam.com, 23/03/2018). Hal itu tentu sangat disayangkan.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri ( ULN) Indonesia pada Februari 2020 dengan posisi 407,5 miliar dollar AS. Dengan begitu, utang RI tembus Rp 6.376 triliun (kurs Rp 15.600). Utang sebesar Rp 6.376 triliun itu terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 203,3 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 204,2 miliar dolar AS (Kompas.com, 15/04/2020).

Dari sedikit fakta di atas, benarkah Indonesia telah merdeka? Jika menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna merdeka yaitu bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri. Tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa.

Namun, dengan adanya penguasaan SDA di negeri ini oleh berbagai pihak swasta, tentu merupakan salah satu bukti bahwa sejatinya negeri tercinta ini tidak sedang merdeka? Bukankah sebelum Indonesia merdeka tahun 1945 negeri ini juga banyak diperebutkan oleh negara penjajah? Salah satunya karena Indonesia memiliki banyak SDA yang melimpah.

Padahal jika menegok pasal 33 UUD 1945 ayat (3) menyebutkan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut dengan jelas melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan individu atau kelompok. Namun, faktanya tidak sedikit pengelolaan SDA negeri ini bertentangan dengan prinsip pasal tersebut.

Apalagi jika membahas masalah utang, tentu tak bisa dikatakan aman. Seperti yang disampaikan Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, menyebut jumlah utang tersebut "pasti tidak aman" karena bunga dan cicilannya dibayar dengan "gali lubang, tutup lubang". Utang baru dianggap aman kalau pelunasannya "tidak mengganggu likuiditas". Dia juga mengatakan bahwa Portugal, sebelum dinyatakan bangkrut, rasio utangnya juga dibilang aman-aman saja (Bbc.com, 13/03/2018). Miris!

Adapun bahaya utang luar negeri  diantaranya, yaitu: utang luar negeri dalam rangka mendanai proyek-proyek milik negara merupakan perkara yang riskan, terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Pun pemberian utang merupakan salah satu cara agar negara pengutang tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang semakin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu.

Lebih dari itu, utang luar negeri yang diberikan sebenarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis barat kepada negara-negara pengutang yang tak sedikit berasal dari negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap negeri-negeri pengutang (jajahan). Di samping itu, sesungguhnya utang luar negeri sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan negara pengutang, baik utang jangka pendek maupun jangka panjang.

Karenanya, penguasaan SDA oleh swasta dan utang luar negeri yang selangit, sudah cukup menjadi bukti bahwa hal tersebut merupakan alat penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara jajahan untuk menguasai negeri ini. Hal tersebut merupakan penjajahan gaya baru, yang mana dilakukan secara non fisik. Karenanya sangat dangkal jika memaknai kemerdekaan hanya sebatas terbebas dari penjajahan yang bersifat fisik saja.

Lantas bagaimanakah kemerdekaan yang sesungguhnya? Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Rib’i bin Amir ra. yang merupakan salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qadishiyah ditanya tentang perihal kedatangannya oleh Rustum, panglima pasukan Persia, ia menjawab, “Allah mengutus kami (Rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia kepada manusia menuju penghambaan manusia kepada Rabb manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada kepada keadilan Islam.” (Lihat Al-Jihad Sabiluna hal. 119).

Dari riwayat di atas, tampak bahwasanya Islam memandang kemerdekaan tidak hanya dari satu aspek saja, tetapi semua aspek, baik aspek lahiriah maupun batiniah. Dari aspek batiniah, kemerdekaan atau bebas dari penghambaan kepada selain Allah saw. menuju tauhid. Begitu pula aspek lahiriah, kemerdekaan dari kesempitan dunia dan ketidakadilan menuju kelapangan dan keadilan.

Dengan demikian, bila melihat realita yang ada, negeri tercinta ini sesungguhnya masih belum dapat dikategorikan merdeka seratus persen. Karena kemerdekaan yang hakiki adalah ketika seseorang terbebas dari penghambaan kepada selain Allah, tunduk dan patuh kepada aturan dan hukum-hukum-Nya. Pun bebas dari segala belenggu penjajahan sesama manusia dan keluar dari keterpurukan hidup di dunia. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Previous Post Next Post