Kebakaran Gedung Kejaksaan Agung, Keadilan Ikut Terbakar?

Oleh : Yuchyil Firdausi, S.Farm.,Apt

Sabtu, 22 Agustus 2020 terjadi kebakaran hebat di gedung utama Kejaksaan Agung sekitar pukul 19.00 WIB. Sebanyak 230 petugas dan 65 unit mobil pemadam kebakaran yang diterjunkan kesulitan memadamkan api. Kebakaran baru bisa dipadamkan setelah hampir 12 jam petugas berjibaku memadamkan api. Seluruh gedung pun hangus tak tersisa. Insiden ini pun menyita perhatian masyarakat, termasuk warganet. Mereka mempertanyakan keamanan gedung dan sulitnya api dipadamkan. Bahkan tak sedikit yang curiga insiden kebakaran berkaitan dengan penanganan perkara di Kejakgung. Pasalnya insiden kebakaran terjadi di tengah Kejakgung sedang menangani beberapa kasus besar. Di antara kasus itu adalah kasus hak tagih Bank Bali yang melibatkan Djoko Sugiarto Candra dan kasus tindak pidana suap yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Kasus besar lainnya adalah korupsi perusahaan asuransi plat merah Jiwasraya. 

Seharusnya gedung milik pemerintah bisa menjadi model yang optimal terhadap bahaya kebakaran. Namun insiden kebakaran yang hebat hingga melalap habis gedung dan sangat sulit dipadamkan menunjukkan ada kegagalan sistem yang fatal. Dikutip dari cnnindonesia.com/23 Agustus 2020, Pengajar Teknik Sipil Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Pelita Harapan (UPH) Manlian Ronald A Simanjuntak mengatakan kebakaran yang terjadi di Gedung Kejaksaan Agung (Kejakgung) menunjukkan kegagalan sistem keselamatan yang sangat fatal. Manlian menuturkan sistem keselamatan gedung setidaknya memiliki dua faktor utama yaitu kelaikan administrasi dan kelaikan teknis, namun dimungkinkan kedua faktor tersebut gagal. Kebakaran ini juga menunjukkan kegagalan sistem proteksi aktif dan pasif. 

Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi turut mengomentari terkait spekulasi penyebab kebakaran gedung Jaksa Agung pada Sabtu (22/8) malam. Aboe meminta, Kejaksaan Agung (Kejakgung) untuk melakukan investigasi mendalam untuk mencari tahu penyebab kebakaran gedung Kejakgung Jakarta, apakah  memang saat itu tidak ada petugas piket yang bisa memadamkan api dan mencegah membesarnya api. Atau memang gedung Kejaksaan Agung tidak memiliki alat pemadam kebakaran, sehingga api tidak tertangani (Republika.co.id/23/08/2020). Dikutip dari Republika.co.id Aboe Bakar menjelaskan "Hasil investigasi ini sangat diperlukan untuk mencegah spekulasi dan menjaga kepercayaan publik terhadap kejaksaan agung."

Indonesian Corruption Watch (ICW) juga melihat ada kejanggalan dalam kebakaran ini, sehingga ICW meminta KPK ikut turun tangan mencari tahu penyebab kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung). ICW curiga ada oknum yang sengaja menghilangkan barang bukti terkait kasus yang sedang ditangani Kejakgung saat ini, salah satunya kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari (detik.com/23/08/2020).

Bagaimana mungkin sekelas gedung milik pemerintah lalai dalam hal keamanan? Apalagi Kejakgung tengah menangani kasus-kasus besar yang mendapatkan atensi publik, maka seharusnya keamanan gedung lebih diperketat. Tak heran jika kemudian masyarakat mempertanyakan keadilan pemberantasan korupsi di Kejakgung. Mampukah korupsi diberantas hingga ke akarnya, jika urusan keamanan berkas2 korupsi saja tak mampu dijaga bahkan hilang bersama sisa abu kebakaran.

Tak dapat disangkal, publik telah mengindera bahwa korupsi dalam demokrasi semakin menjadi-jadi. Ini bukan tudingan kosong, sebab selain sanksi pidana yang terbilang ringan, korupsi dalam demokrasi disebabkan oleh biaya demokrasi yang tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan politik dan modal. Dana itu tentu didapatkan dari sumbangan partai maupun para kapitalis/pemodal. Namun tak ada yang gratis, sehingga kebijakan politik sangatlah bergantung pada partai dan pemodal. Demikianlah korupsi pun tumbuh subur dalam sistem demokrasi. 

Kondisi ini jauh berbeda dengan islam. Dalam pandangan islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Al-Quran dan Hadis), artinya kepala negara atau khalifah yang diangkat berdasarkan pada ridho dan pilhan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan Al-Quran dan Hadis. Dalam khilafah, pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat/majelis wilayah berkualitas, amanah, dan tidak berbiaya tinggi. Dari hal ini, maka secara mayoritas pejabat negara tidak akan melakukan kecurangan, baik korupsi, suap, maupun yang lain. Sekalipun demikian, tetap dipersiapkan seperangkat alat hukum yang digunakan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara. Sebab dalam pemerintahan islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil, dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar'i baik diperoleh melalui harta negara maupun harta milik masyarakat. 

Adapun aturan yang diterapkan dalam Khilafah untuk mencegah korupsi, kecurangan, atau suap adalah sebagai berikut. Pertama, ketaqwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat taqwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas, oleh karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Seorang muslim menganggap bahwa jabatan adalah sebuah amanah yang harus ditunaikan dengan benar karena akan dimintai pertanggungjawaban di dunia maupun di akhirat.

Kedua, adanya Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Khalifah Umar bin Khattab mengangkat pengawas yaitu Muhammad bin Maslamah yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Oleh karena itu ,calon pejabat dan pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabatpun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahan hartanya syar'i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan atau korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara dan pejabat tersebut akan diproses hukum. 

Ketiga, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat atau pegawainya. Gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan asasiyah (pokok) dan kamaliyahnya (sekunder dan tersier). Di samping itu, dalam pemerintahan islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. 
Keempat, diberlakukannya seperangkat hukum pidana yang keras. Hal ini bertujuan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah (zawajir) bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berlaku bagi koruptor adalah ta'zir. Sanksi juga bertindak sebagai penebus dosa (jawabir) sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah untuk membuat jera para pelaku kecurangan, korupsi, atau suap dan mencegah yang lain untuk berbuat. Wallahu'alam
Previous Post Next Post