Tidak Ada Sense of Crisis, Bukti Kegagalan Siapa?

Oleh : Nahida Ilma 
(Pelajar) 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan jajaran kabinet untuk melakukan kerja ekstra dalam menangani pandemi virus Corona. Tak tanggung-tanggung Jokowi juga akan melakukan perombakan kabinet jika diperlukan. "Sekali lagi, langkah-langkah extraordinary ini betul-betul harus kita lakukan. Dan saya membuka yang namanya entah langkah politik, entah langkah-langkah ke pemerintahan. Akan saya buka. Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara," kata Jokowi seperti arahannya kepada Kabinet Indonesia Maju dalam rapat terbatas 18 Juni 2020 lalu. (Detik.com, 28/6/2020).

Selain kurangnya senses of crisis, Presiden juga mempersoalkan belanja kementerian yang belum memuaskan. Ada beberapa sektor yang mendapat sorotan. Pertama, bidang kesehatan dengan anggaran Rp 75 triliun. Jokowi mengkritik penggunaan anggarannya baru sekitar 1,53%. Kedua, bantuan sosial ke masyarakat. "Ini harusnya 100% sudah disalurkan," katanya. Ketiga, sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). "Segera stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha kecil mikro, mereka tunggu semuanya. Jangan biarkan mereka mati dulu, baru kita bantu," kata Jokowi. (Katadata.co.id, 28/6/2020).

Dalam rapat tertutup kabinet pada tanggal 18 Juni 2020 yang videonya disebarkan 10 hari kemudian. Presiden Jokowi marah dan menganggap menteri belum punya sense of crisis dan bekerja seperti kondisi normal.

Kemarahan presiden yang dipertontonkan kepada publik sebenarnya mengonfirmasi ketidakmampuan pemerintah menangani wabah, sebab buruknya kinerja pembantu tentu saja menjadi tanggung jawab pemimpin yang memberi arahan dan menunjuk mereka. Logika sederhananya. Ketika suatu kelas ada satu murid yang tidak memahami pelajaran itu berarti ada yang salah dengan murid tersebut, tetapi apabila seluruh murid dalam satu kelas tidak paham semua itu berarti ada yang salah dengan metode pembelajaran gurunya. Jika tukang banyak yang salah dalam pekerjaannya biasanya yang salah adalah mandornya. Bagaimana jika ada pimpinan marah-marah karena banyak anak buahnya yang tidak bisa kerja, Kira-kira yang salah siapa?

Ini pula gambaran kinerja rezim oligarki. Rezim yang dikendalikan oleh para pemilik modal. Pejabat pemerintah yang dipilih tidak memiliki kapabilitas dalam menyelesaikan masalah umat. Ini sangat wajar, karena pejabat dipilih berdasarkan dorongan kepentingan partai yang sedang berkuasa. Terjadilah bagi-bagi jatah atau kursi kekuasaan kepada partai partai pemenang pemilu. Penguasa bekerja bukan untuk melayani rakyat. Namun, melayani kepentingan partai dan ambisi kekuasaan. Termasuk mengamankan kepentingan para pemilik modal yang telah memberikan sokongan dana saat proses pemilu.

Perlu disadari bahwa mustahil menangani pandemi di bawah kepemimpinan dari oligarki kapitalis. Fakta yang ada hingga sekarang cukup menjadi bukti. Yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi adalah landasan yang benar pengambilan kebijakan. Selama dalam koridor kapitalisme, tidak akan lahir kebijakan yang benar karena mengurusi negara dengan prinsip jual beli, yakni untung-rugi dan mengutamakan keuntungan para pemilik modal.

Kebijakan shahih dan solutif hanya lahir dari pemimpin di bawah pemerintahan yang bersumber dari Allah yang Maha Benar. Sistem pemerintahan ini adalah Khilafah. Dalam Khilafah, Khalifah akan bertanggung jawab penuh dalam mengurusi dan melayani seluruh urusan rakyat. Baik ketika kondisi normal maupun saat pandemi. 

Dalam struktur Negara Khilafah, terdapat Mu'awin atau pembantu Khalifah. Mu'awin diangkat oleh Khalifah untuk membantunya dalam mengemban tugas-tugas kekhilafahan, yakni tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Khalifah makan menunjuk mu'awin sesuai syarat-syarat yang ditentukan syariat, yakni seorang laki-laki, merdeka, baligh, berakal, mampu dan termasuk diantara orang yang kompeten dalam semua tugas yang diwakilkan kepadanya. Sehingga ia benar-benar bisa melaksanakan tanggung jawabnya mengurusi urusan rakyat. 

Untuk memudahkan rakyat dan memberikan berbagai pelayanan yang dibutuhkan masyarakat termasuk di saat pandemi, maka terdapat departemen kemaslahatan. Khalifah mengangkat seorang direktur profesional untuk masing-masing kemaslahatan, diantaranya kewarganegaraan, transportasi, pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Mereka bertanggung jawab kepada khalifah. Mereka tentu saja terikat dengan hukum-hukum syariah dan pengaturan administrasi yang ada. Pembiayaan departemen kemaslahatan ini diambil dari baitul mal yang siap untuk disalurkan kapan pun. 

Ada tiga faktor yang mengoptimalkan pengaturan kemaslahatan masyarakat. Pertama, kesederhanaan aturan yang akan memberikan kemudahan dan kepraktisan. Kedua, kecepatan dalam pelayanan transaksi. Ketiga, ditangani oleh orang yang mampu dan profesional. 

Dalam kondisi seperti ini, Khilafah akan benar-benar mampu dirasakan oleh rakyat sebagai pengurus dan pelayanan mereka. Karena memang prioritas utama adalah rakyat. 
Wallahu a'lam bish-shawab
Previous Post Next Post