RUU Omnibus Law, Mengulang Koeli Ordonantie?

Oleh: Etti Budiyanti
Member AMK4

Dilansir oleh Liputan6.com, 12/07/20,  kalangan pengusaha mendorong agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law segera disahkan. Tak hanya mengatur sektor ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja dinilai membawa angin segar bagi iklim investasi dan berpotensi membuka lapangan kerja.  

Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Aloysius Budi Santoso mengatakan, pandemi Covid-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Karenanya, butuh investasi yang cukup besar untuk mendongkrak perekonomian Indonesia pasca-pandemi.

Melalui Omnibus Law Cipta Kerja, kata Budi, diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakkan semua sektor, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 persen hingga 6 persen.

Dia mengatakan, target pertumbuhan ekonomi itu bisa digenjot melalui penciptaan lapangan kerja berkualitas sebanyak 2,7 juta hingga 3 juta per tahun dengan Omnibus Law. Sementara hanya 2 juta hingga 2,5 juta lapangan kerja berlualitas jika tanpa Omnibus Law.

"Kami juga dorong peningkatan investasi sebanyak 6,6%-7,0% yang meningkatkan income dan daya beli, dan mendorong peningkatan konsumsi. Kemudian peningkatan produktivitas yang akan diikuti peningkatan upah, sehingga dapat meningkatkan income, daya beli dan konsumsi," terang Budi

Karenanya, lanjut Budi, keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja sangat diharapkan oleh pelaku usaha dan investor serta akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan perekonomian negara. 

*Komentar Politik:*

Awal kemunculan RUU Omnibus Law ini menimbulkan pro dan kontra akibat muatan pasal-pasal yang penuh kontroversi. Hingga akhirnya RUU ini ditunda. Anehnya, justru di tengah pandemi ini, revisi RUU Omnibus Law ini dipaksakan segera selesai dan pengesahan bisa segera dilakukan, mengingat ada kebutuhan mendesak untuk memastikan iklim kondusif investasi demi penciptaan lapangan kerja massal. 

Lagi-lagi, investasi dijadikan tujuan. Begitulah ciri negara kapitalis mengelola negara. Menurutnya pemasukan negara hanya diperoleh dari hutang dan investasi. 

Semangat investasi ini mengingatkan kita pada "Koeli Ordonantie".

Konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU Cilaka mirip kondisi perburuhan pada masa kolonial Hindia Belanda. Pada akhir abad ke-19, di bawah tekanan globalisasi dan perjanjian internasional, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan aturan Koeli Ordonantie untuk menjamin pengusaha dapat mempekerjakan kuli perkebunan tembakau dengan upah sangat murah dan tanpa perlindungan. Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan. Bandingkan dengan RUU Cilaka tentang penetapan UMK, yang mengganti Upah Minimum Kabupaten dengan upah perjam.  Hal ini menunjukkan semangat yang sama yaitu memperkerjakan buruh dengan upah seminimal mungkin. 

RUU Cilaka juga mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870. Kedua aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Formalisme hukum yang kuat dalam RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial. Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai.

Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan RI dan memerintahkan aparat keamanan Kepolisian Republik Indonesia serta Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini. Penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja Kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu.

Kegagalan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakannya, seharusnya  tidak perlu ditutupi dengan membuat regulasi baru. Apalagi, regulasi tersebut adalah pesanan yang akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara baik rakyatnya maupun kelestarian lingkungannya.

Sejatinya, umat begitu merindukan masa dimana pemerintah benar-benar menerapkan aturan dari Sang Pencipta dan Pengatur Hidup. Aturan yang pernah diterapkan saat Islam dijadikan qiyadah fikriyah. Ketika semua aspek kehidupan dijalankan dengan sistem Islam sebagai pedoman hidup. 

Dalam hal ketenagakerjaan, sebenarnya Islam sudah memiliki seperangkat aturan. Akan diupayakan optimalisasi SDA dan SDM guna menjadikan negara yang mandiri.  Negara berkewajiban membuka seluas-luasnya lapangan kerja, yang bisa dilakukan dengan menghibahkan lahan mati kepada orang yang mampu memanfaatkannya agar menjadi lahan produktif, pemberian modal usaha atau legalisasi hukum-hukum ketenagakerjaan sesuai dengan syariat.

Sanksi hukum akan diterapkan bagi siapa saja yang melanggar atau mencederai akad ijarah yang sudah ditetapkan. Dengan begitu, semua pihak akan mendapatkan perlindungan hukum yang sama.

Negara akan melakukan pengelolaan sumber daya alam yang dikuasainya secara mandiri dan tidak tergantung pada investasi asing. Investasi asing, kalaupun diperbolehkan, hanya diizinkan pada sektor-sektor non strategis. Sementara investornya pun tidak boleh berasal dari negara yang terkategori memerangi Islam dan kaum Muslim. 

Dengan penguasaan dan pengelolaan penuh terhadap kekayaan alam, negara akan memberikan kesempatan terbukanya banyak lapangan kerja. Negara juga akan mendukung secara penuh pemberian pelatihan keahlian dan keterampilan untuk warga negaranya. Dengan begitu kebutuhan akan tenaga kerja yang kompeten di berbagai bidang akan bisa dipenuhi dari dalam negeri.

Begitulah sistem Islam memberikan berbagai aturan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.  Perekonomian negara dapat ditopang secara mandiri. Dengan begitu seluruh manusia yang ada di bawah naungannya akan merasakaan kesejahteraan hakiki. Ini hanya akan bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Seorang khalifah akan menjamin pengurusan rakyat menjadi sebuah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar keimanan kepada Allah SWT. 

Rasulullah saw.  bersabda, “Imam atau Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Wallahu a'lam bish-showab.
Previous Post Next Post