Politik Dinasti-Oligarki Terbukti Mencederai Demokrasi

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

Politik dinasti kembali menjadi perbincangan hangat diberbagai media sosial. Suhu politik yang semakin memanas dibumbui persaingan antar parpol dan penguasa elit politik tak bisa ditutup-tutupi. Inilah yang tengah menjadi buah bibir saat penguasa nomor satu di negeri ini tengah membangun dinasti politik.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. (Kompas.com,18/07/20)

Politik dinasti sebenarnya bukan cerita baru yang saat ini sedang kita saksikan di panggung politik demokrasi. Pada masa orde baru publik telah disuguhi dengan politik dinasti yang dilakoni oleh Ratu Atut Chosiyah. Dengan gaya kepemimpinannya sebagai gubernur Banten periode 2012-2014, Ratu Atut serta keluarganya memegang kendali kuasa atas Jabatan publik di lingkungan Pemprov Banten dan sekitarnya. Namun, kekuasaannya berakhir saat dirinya tersandung kasus jual beli jabatan dan beberapa kasus korupsi salah satunya pengadaan alat kesehatan.

Bahkan di tingkat nasional, kita bisa lihat regenerasi yang mandek di level ketua umum. Seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak memenangkan Pemilu pada 1999 partai ini tidak pernah berganti pucuk pimpinan. Bahkan terakhir, partai yang kembali memenangkan kontestasi pada pemilu 2019 lalu, justru menempatkan putri sang ketua umum sebagai Ketua DPR RI.(Samarindapos.com,12/07/20)

Dari kenyataan ini memberikan gambaran bahwa dinasti politik hanyalah penyalahgunaan kekuasaan oleh para petinggi elit politik untuk menguasai sistem pemerintahan. Disisi lain hal ini pun tak terlepas dari belenggu oligarki yang memainkan peran untuk memuluskan jalan pada elit politik untuk mempertahankan kekuasaannya. 

Modal jabatan, kekuasaan dan uang menjadi patokan elit politik yang memegang kekuasaan tertinggi hingga memboyong keluarganya untuk menduduki kursi singgasana. Parahnya, dinasti politik yang dibangun rezim saat ini bukan hanya sekedar mencederai demokrasi tetapi pula perlahan menghancurkan tatanan perekonomian Indonesia dengan politik oligarkinya. 

Analis Geopolitik, Hendrajit berpendapat, oligarki politik dalam sistem pemerintahan berdampak kepada sektor ekonomi. Menurutnya, indikator itu dapat dilihat dari kebijakan ekonomi yang diterapkan. Ia menambahkan, dampak dari kebijakan ekonomi yang lahir dari oligarki politik sangat berbahaya. Maka dari itu, setiap regulasi yang lahir dari legislatif perlu diawasi. Hal itu karena berpengaruh kepada implementasi kebijakan itu sendiri.(Gatra.com,19/10/19)

Dengan demikian, politik dinasti yang hendak dibangun oleh pemerintahan Joko Widodo justru berefek pada argumen buruk masyarakat. Sebab, hal ini hanyalah sekedar untuk mempertahankan kekuasaan. Di lain pihak, bayang-bayang oligarki pun siap mengancam kesejahteraan masyarakat akibat kebijakan ekonomi yang tak rasional. Padahal berdasarkan konstitusi  negara,  sebuah pemerintahan dibentuk untuk melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyat. Bahakn demokratisasi politis sendiri menghendaki pembangunan kesejahteraan sosial oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.

Namun kenyataannya, itu hanyalah gambaran ekspetasi belaka pada faktanya justru kesejahteraan itu hanyalah bagi mereka yang memegang kekuasaan. Inilah bukti bahwa demokrasi hanyalah sebuah sistem utopis yang tak melahirkan sebuah kebijakan pemerintahan yang benar-benar diperuntukan untuk masyarakat. Beda halnya dengan sistem pemerintahan Islam yang meniscayakan bahwa yang berhak melegislasi atau menetapkan undang-undang adalah Allah SWT bukan manusia. Maka jika dipandang dalam sistem demokrasi saat ini penentapan hukum yang ditentukan oleh manusia merupakan kejahatan besar.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan islam berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan dalam demokrasi. Seperti, sistem kerajaan atau monarki yang mana anak putra mahkota diangkat langsung menjadi raja karena pewarisan dan rakyat tidak berhak dan turut andil dalam pengangkatannya. Dalam sistem pemerintahan islam pula tak mengenal sistem pewarisan sebab untuk memilih seorang pemimpin ( khalifah) itu melalui pembaitatan yang dipilih langsung oleh ummat.

Oleh karena itu, sistem pemerintahan Islam (Khilafah) jelas berbeda dengan semua bentuk sistem pemerintahan yang ada dan dikenal di seluruh dunia. Perbedaan itu ada pada semua segi yakni; asas yang mendasarinya, pemikiran, pemahaman, maqāyīs (standar), serta hukum-hukum yang digunakan untuk mengatur berbagai urusan, juga konstitusi dan undang-undang yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan, serta bentuk negara yang mencerminkan Daulah Islam. Inilah yang membedakan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dari semua bentuk sistem pemerintahan yang ada di dunia ini. (Struktur Pemerintahan dan Administrasi Negara Khilafah)

Wallahu A'lam Bishshowab
Previous Post Next Post