DEMOKRASI MELANGGENGKAN POLITIK DINASTI

Oleh : Dwi Sarni 
(Aktivis Muslimah Jakartaa) 

Tidak lama lagi akan diadakan pemilihan kepala daerah atau Pilkada,  aroma politik dinasti dan oligarki mulai menguar menggoda indra penciuman. 

Dilansir dari AKURAT.CO 19/7/2020 PDI-P untuk mengusung putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon wali kota di pemilihan kepala daerah (pilkada) kota solo tahun 2020 menuai beragam reaksi di sejumlah pihak (kalimatnya rancu). Hal tersebut dikarenakan PDI-Perjuangan dinilai akan menumbuhkan politik dinasti di dunia politik. 

Meski begitu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. (Sertakan bunyi pasalnya)

Alhasil, banyak politisi melahirkan politik dinasti melalui keluarga hingga kerabat mereka. Diantaranya selain putra pertama presiden tersebut ada Bobby Afif Nasution menantu presiden akan maju pada pilkada Medan, Siti Nur Azizah putri dari Wapres Ma’ruf Amin diususng oleh partai PKS,  Rahayu Saraswati keponakan dari Prabowo Subianto maju sebagai Calon Wali Kota Tangsel diusung oleh partai PDIP dan gerindra. 

Dikutip dari Kompas.com 18/7/2020, Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menilai selain akan menuai konflik pencalonan keluarga presiden, politik dinasti ini pun berbahaya untuk kelangsungan demokrasi. 

"Dan ini akan berbahaya bagi proses demokratisasi. Demokrasi bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik," kata dia.

Padahal sudah jelas bahwa dinasti politik dan oligarki adalah keniscayaan demokrasi itu sendiri.  Kemenangan bisa diraih dengan dana yang besar,  ketenaran dan reputasi ataupun pengaruh jabatan yang dimiliki. Karena politik dinasti adalah buah dari demokrasi. 

Bukankah sudah menjadi rahasia umum, dalam pentas demokrasi) Politik dinasti dan oligarki dalam pemilihan, pemenangnya selalu orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite penguasa. Jika bukan keluarga kerabat penguasa maka calon yang dimenangkan adalah mereka yang memberikan uang paling besar sebagai mahar jabatan. Ini akan menghilangkan fungsi saling control antar lembaga pemerintahan.  Bisa bisa jabatan publik diisi oleh anggota keluarga dan saudara. 

Beginilah wajah perpolitikan dalam sistem demokrasi,  kekuasaan diraih bukan sebab kecakapan dan kompetensi melainkan koneksi dan modal besar.  Maka tak heran jika sudah berkuasa alih alih mengurus rakyat,  mereka sibuk mengeruk harta mengembalikan modal pentas politik yang banyak keluar. 

Jika sudah begini maka keterwakilan rakyat dan jaminan kesejahteraan rakyat hanya isapan jempol belaka. 
Politik dinasti juga membuat orang yang tidak kompeten memiliki jabatan. Tentu saja berakibat fatal jika orang yang berkuasa tidak kompeten sesuai keahliannya,  maka tunggulah kehancurannya. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda :
“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.”
 (HR Al-Bukhari)

Melihat fakta tersebut, jelas ini bukan sekadar anomali atau penyimpangan dari praktik demokrasi. Maka untuk  menolak politik dinasti hanya dengan cara menyingkirkan demokrasi itu sendiri. 

Kepemimpinan Dalam Islam
Dalam Islam kepemimpinan sangat penting,  karena menyangkut nasib hidup rakyat dan kelangsungan roda pemerintahan. Bukan hanya itu, kepemimpinan dalam Islam berfungsi sebagai penegak ajaran Islam secara kaffah) tapi juga menegakkan agama Allah dengan menjalankan syariat Islam sebagai landasan kepemimpinan. 

Islam menggariskan pemimpin dipilih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan dari umat dengan baiat. Individu yang dipilih tentu dikenal ketakwaannya serta kompetensinya.

Syeh Taqiyuddin An-nabbani menulis dalam bukunya “Struktur Daulah Khilafah”, bahwa syarat pemimpin diantaranya  : Muslim, laki-laki, baligh, berakal, mampu, merdeka, dan adil.

Di antara syarat tersebut adalah “mampu”, artinya harus cakap dan kompeten dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya.  Adil,  artinya tidak pilih kasih dalam pengontrolan pemberian sanksi terhadap pelanggaran hukum. Bukan karena ada hubungan kerabat maka dibebaskan begitu saja. 

Sejarah peradaban Islam dengan ajarannya yang agung telah mencetak pemimpin-pemimpin hebat.  Tidak hanya berkompeten namun juga penuh takwa dan Iman kepada Allah.  Seperti Abu Bakar,  Umar bin Alkhattab,  Utsman bin Affan,  Ali bin Abi Thalib dan khalifah setelahnya. 

Jika saat ini kita menginginkan pemimpin yang amanah,  jujur,  adil dan kompeten tidak akan kita temukan.  Mengapa?  Karena masih dalam perputaran sistem demokrasi.  Pemimpin sejati yang tulus mengurus umat hanya akan kita temukan dalam sistem khilafah Islamiyah.
Previous Post Next Post