Matinya Kepekaan di Tangan Penguasa

Oleh: Lely Noormindhawati 
(Penulis Buku)

Pandemi Covid-19 yang telah menyebar ke lebih dari 200 negara menjadi pukulan mematikan bagi kehidupan sosial ekonomi negara-negara di dunia. Bahkan para pakar ekonomi memercayai, akan terjadi resesi ekonomi dunia akibat pandemi tersebut, tak terkecuali di Indonesia. Hal senada dinyatakan Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan rakyat (22/06), "Kami harapkan di kuartal III dan kuartal IV 2020, pertumbuhannya bisa pulih, dalam hal ini bisa 1,4 persen atau kalau seandainya kita dalam zona negatif, bisa saja minus 1,6 persen. Itu yang saya sebutkan technically kita bisa resesi kalau kuartal II negatif, kuartal III nya juga negatif, maka Indonesia secara teknis bisa resesi." (bbc.com, 24/06/2020).

Untuk menghindari semakin memburuknya sektor ekonomi, pemerintah memutuskan membuka kembali kegiatan ekonomi secara bertahap. Benar, kondisi perekonomian yang sempat terhenti secara perlahan mulai bergerak. Hanya saja, pertumbuhannya masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan terancam minus. Tentu saja kondisi ini menyita perhatian pemerintah. 

Dalam sidang kabinet 18 Juni 2020, berdasarkan data Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dinyatakan bahwa kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia bisa mencapai minus 6 hingga 7,6 persen. Inilah yang memicu kegusaran Presiden Jokowi. Dengan kesal, beliau mengatakan tidak adanya sense of crisis di jajaran para menteri. Hal ini diindikasikan oleh serapan anggaran di bidang kesehatan yang masih minim. Dari anggaran kesehatan sebesar 75 triliun, baru terserap 1,35 persen.  Bansos juga belum tersalurkan 100 persen. Padahal masyarakat sangat membutuhkan di tengah perekonomian yang semakin lesu akibat pandemi. (geotimes.co.id, 02/07/2020).

Sense of Crisis yang Semu
Sebagaimana yang dinyatakan Presiden Jokowi, seharusnya jajaran elite pemerintahan negeri ini memiliki sense of crisis yang sama. Sehingga semua memiliki kepedulian dan memfokuskan perhatiannya untuk menyelamatkan nasib 267 juta rakyat Indonesia. Yakni dengan mengerahkan segenap daya upaya untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19 serta memulihkan perekonomian rakyat dari keterpurukannya.

Sayangnya, apa yang disampaikan Presiden Jokowi ternyata bertolak belakang dengan kenyataan. Di saat kehidupan masyarakat semakin tercekik akibat pandemi, di saat yang sama pemerintah justru mengambil kebijakan yang kontra produktif. Salah satunya adalah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih, kenaikan iuran tersebut dalam rangka menjaga kesinambungan BPJS Kesehatan itu sendiri. Padahal kenaikan iuran ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Menurut MA, beban keuangan BPJS Kesehatan tidak bisa dibebankan kepada peserta melalui iuran. BPJS Kesehatan harus bertanggung jawab untuk memperbaiki manajemen dan menyehatkan kondisi internalnya. Namun pada akhirnya, pemerintah tetap kukuh dengan keputusannya dengan menerbitkan Pepres kenaikan BPJS Kesehatan jilid dua. 

Kebijakan lain yang cukup meresahkan masyarakat adalah ditandatanganinya PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dengan PP tersebut, gaji karyawan akan dipotong sebesar 2,5 persen per bulan sedangkan pemberi kerja harus menanggung 0,5 persen iuran. Kebijakan ini berlaku untuk PNS, TNI/POLRI, pegawai swasta, dan pekerja mandiri, baik yang sudah memiliki rumah maupun yang belum.

Tidak cukup sampai di sini, masyarakat juga harus dihadapkan pada membengkaknya tagihan listrik di masa pandemi dan juga harga BBM yang masih tinggi padahal harga minyak dunia sudah anjlok. Wajar jika kondisi ini membuat publik bertanya-tanya, sense of crisis seperti apa yang dimaksud pemerintah?  Bukankah kebijakan yang diambil pada faktanya bertolak belakang dengan gaung sense of crisis yang diserukan Presiden Jokowi? Kepekaan akhirnya hanya sekedar lips service yang tak pernah ada wujud nyatanya.  

Standar Ganda dalam Sistem Kapitalisme
Mengapa standar sense of crisis dalam konteks pandemi Covid-19 menjadi tidak sama? Inilah yang disebut oleh Bradley Dowden dengan istilah double standar fallacy. Yakni penilaian terhadap suatu perkara yang sama atau saling berkaitan namun dengan standar yang berbeda. Dalam konteks pandemi Covid-19, ini terlihat saat Presiden menggaungkan sense of crisis, justru pada saat yang sama masyarakat dibebani dengan berbagai kebijakan yang semakin menyulitkan kondisi perekonomian mereka. Alhasil, kebijakan pemerintah menjadi kontradiktif dengan esensi sense of crisis yang digagas. Kebijakan tersebut semakin menegaskan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib 267 juta nyawa manusia. Ya, bukankah jeritan rakyat—karena BBM dan listrik melangit, iuran BPJS Kesehatan yang kian mencekik, potongan gaji untuk membayar Tapera, dan sederet kegetiran hidup lainnya—hanya menemukan ruang hampa? Bahkan kini rakyat berjuang sendiri dengan herd immunity yang diam-diam diberlakukan dengan bersembunyi di balik kebijakan new normal. 

Standar ganda ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru bagi negara-negara di dunia yang saat ini menerapkan sistem kapitalisme. Asas materi menjadikan kapitalisme melihat segala sesuatu berdasarkan manfaatnya. Benar-salah menjadi nisbi, tergantung yang menginterpretasikannya. Halal-haram menjadi sesuatu yang beda tipis. Benar-salah akhirnya bias. Akibatnya, terjadi inkonsistensi dalam pengambilan kebijakan. Suatu kebijakan menjadi sangat lentur, bahkan cenderung terjadi tarik ulur mengikuti kepentingan kelompok yang berkuasa. Kekuasaan akhirnya dikendalikan para kapital. Roda pemerintahan tidak lagi mengoptimalkan fungsinya sebagai pelayan rakyat, namun sebaliknya, menjadi pengabdi para kapital. Inilah dosa besar sistem kapitalisme.

Dalam Islam tidak dikenal standar ganda. Standardisasi mutlak dari Allah berupa sistem kehidupan yang sempurna dan menyeluruh bersumber dari syariat-Nya. Sebagai contoh dalam hal sense of crisis adalah kebijakan yang diterapkan Khalifah Umar bin Khattab. Ketika pandemi melanda wilayah kekuasaannya, Umar memastikan diri dan keluarganya hidup sangat sederhana. Apa yang beliau dan keluarganya makan tidak boleh lebih enak dari yang dimakan masyarakat. Beliau juga memotivasi seluruh masyarakat untuk saling meringankan beban saudaranya. Dan selaku kepala negara, Umar dengan sigap mendata jumlah warga yang terdampak pandemi, mengisolirnya, menjamin distribusi kebutuhan pokok terpenuhi untuk masing-masing individu. Umar telah menyiapkan ketahanan pangan dengan sangat baik sehingga ketika terjadi paceklik di Hijaz, daerah surplus di Syam dan Mesir bisa menyalurkan gandum-gandumnya ke wilayah yang terdampak paceklik. 

Inilah kepekaan yang diterapkan dalam sistem Islam. Penguasa dirasakan kehadirannya sebagai junnah (pelindung). Dengan sistem inilah, umat manusia pernah membangun peradaban agung selama 1300 tahun dan mengukir tinta emas dalam sejarah peradaban dunia. Sudah saatnya sistem Islam menjadi alternatif pengganti sistem kapitalisme yang kini sudah semakin kehabisan napas[]
Previous Post Next Post