BERORIENTASI INDUSTRI, PENDIDIKAN NEGERI MINUS VISI

Oleh : Dian Eliasari, S.KM.
(Pendidik dan Member Akademi Menulis Kreatif)

Tujuan negara Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dibacakan pada setiap pelaksanaan upacara bendera adalah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Maka dibuatlah lembaga pendidikan dan kurikulum pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi, untuk mencetak anak didik yang cerdas sesuai tujuan negara. Tapi bagaimana jika lembaga pendidikan hanya fokus untuk mencetak tenaga kerja dan melupakan tujuan utama untuk mencerdaskan?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mendorong upaya membangun ‘perjodohan’ atau kerjasama antara perguruan tinggi atau kampus dengan industri. Strategi ini dinilai penting agar perguruan tinggi dan industri bisa terkoneksi untuk saling memperkuat keduanya. Menurut Nadiem, kampus bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha. 

Pemerintah, kata Nadiem, memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian. Kemendikbud telah menjalankan program Kampus Merdeka. Salah satunya untuk menghasilkan mahasiswa yang unggul dan bisa menjadi pendisrupsi revolusi industri 4.0. (https://www.lensaindonesia.com/2020/07/04/strategi-pemerintah-fasilitasi-perjodohan-kampus-dengan-industri.html)

Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi alumnus UGM, Wikan Sakarinto, menargetkan perkawinan massal antara prodi vokasi PTN dan PTS dengan industri terjadi pada 2020. Wikan menambahkan, sekitar 100 prodi vokasi di PTN dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ditargetkan melakukan pernikahan massal pada tahun 2020 dengan puluhan bahkan ratusan industri. Program ini akan diteruskan dan dikembangkan pada tahun-tahun berikutnya dengan melibatkan lebih banyak prodi vokasi.

Wikan pun mengaku optimistis program ‘Pernikahan Massal’ ini akan menguntungkan banyak pihak. Menurutnya, pihak industri dan dunia kerja jelas akan diuntungkan dengan skema pernikahan ini. Dengan adanya link and match, lulusan pendidikan vokasi juga akan semakin dihargai oleh industri dan dunia kerja. (http://kagama.co/tahun-ini-dirjen-wikan-nikahkan-100-prodi-vokasi-dengan-dunia-kerja-dan-dunia-industri)

Pendidikan “Profit Oriented” Ala Kapitalis

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang menunjang pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Program ini merupakan pendidikan diploma (diploma 1, diploma 2, diploma 3 dan diploma 4) yang setara dengan program pendidikan akademik strata 1. Melalui kebijakan pernikahan massal antara pendidikan vokasi dengan dunia industri, pemerintah semakin mengokohkan peran lembaga pendidikan sebagai pencetak tenaga kerja bagi industri. 

Pada akhirnya, anak-anak maupun orang tua akan memilih untuk kuliah hanya bertujuan untuk kerja, kerja, dan kerja. Kurikulum pendidikan juga akan disetir oleh kepentingan dunia Industri saja. Hal ini merupakan bentuk lepas tangan pemerintah dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi. 

Padahal, melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang jelas kepada pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Perguruan Tinggi diharapkan dapat lebih berfungsi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora untuk pemberdayaan dan pembudayaan bangsa. Selain itu, juga mampu menjalankan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

Apabila perguruan tinggi hanya diarahkan untuk kepentingan industri, sama saja pemerintah secara sadar dan sengaja berusaha mengerdilkan peran perguruan tinggi. Alih-alih menciptakan inovasi dan lapangan kerja baru bagi masyarakat, serta menciptakan terobosan-terobosan baru untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menyelesaikan persoalan masyarakat. Sistem pendidikan seperti ini hanya akan menghasilkan manusia-manusia bermental buruh. Sangat jauh dari tujuan didirikannya perguruan tinggi.

Sementara itu, industri saat ini dikuasai oleh para investor asing. Belum lagi jika harus berhadapan dengan arus Tenaga Kerja  Asing (TKA) yang telah diberi peluang oleh pemerintah untuk bersaing dengan tenaga kerja Indonesia. Bukan tidak mungkin, peluang kerja yang dijanjikan hanya isapan jempol.

Demikianlah hidup di sistem kapitalisme liberal. Dimana orientasi atau tujuan hidup adalah mencari materi dunia semata . Maka output yang ingin diraih dari sistem pendidikan hanya untuk mendapatkan materi juga. Apalagi sekularisme –pemisahan agama dari kehidupan- yang menjadi landasan perbuatan dalam sistem kapitalisme. Dunia pendidikan juga berusaha dijauhkan dari hal-hal yang berbau agama. Kalaupun ada, pembahasannya pun dibatasi hanya sebatas ibadah ritual dengan skup individu saja.  

Maka tidak heran jika kita dapati saat ini ada pelajar dan mahasiswa berprestasi tapi tertangkap karena kasus pedofil, gay, pesta seks, narkoba, tawuran, dan lain-lain. Karena memang semua sistem pengaturan kehidupan saat ini didesain untuk menjadikan masyarakat muslim yang jauh dari Islam. Upaya ini dilakukan secara sistematik dan terstruktur sehingga kita tidak merasa  sedang dijauhkan dari agama kita sendiri.

Paradigma Islam terhadap Perguruan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan pendidikan yang sistematis setelah pendidikan sekolah. Pendidikan tinggi dalam Islam terdiri dari pendidikan yang sifatnya tsaqafi (lebih banyak teori) dan juga bersifat penelitian. Adapun tujuan pendidikan tinggi; 

Pertama, melakukan penanaman dan pendalaman kepribadian Islam secara intensif pada diri mahasiswa perguruan tinggi, bagi yang telah sempurna pembinaannya di jenjang pendidikan sekolah. 

Kedua, membentuk himpunan ulama yang mampu melayani kemaslahatan hidup umat dan mampu menyusun rencana jangka pendek maupun rencana jangka panjang (strategis). 

Ketiga, mempersiapkan sekumpulan orang yang diperlukan dalam mengelola urusan umat, seperti para hakim, para pakar fiqih, dokter, insinyur, guru, penerjemah, manajer, akuntan, perawat, dan lain-lain.

Tentunya sebagian umat Islam sangat mengenal nama-nama ilmuwan dan pemikir Muslim seperti al-Khawarizmi, Ibnu Batutah, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, al-Biruni, al-Kindi, Laksamana Cheng Ho, Ibnu haitam, Jabir bin hayyan, Al Farabi, dan masih banyak lagi.

Mereka adalah para ulama sekaligus ilmuwan besar yang lahir dari rahim peradaban Islam. Ketika akidah Islam menjadi tempat berpijak dari semua cabang ilmu pengetahuan. Negara benar-benar memberikan prioritas dalam dunia pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan pemberian gaji pengajar pada masa pemerintahan Islam, mulai dari 15 dinar atau sekitar Rp36.350.250,- (1 dinar = 4,25 gr emas. Dan 1 gr emas =Rp570.200,-), ada juga yang digaji 40 dinar, bahkan ada yang sampai seribu dinar emas. Kalaupun tidak digaji, kesejahteraan mereka terjamin.

Negara membangun banyak perpustakaan dan masyarakat bebas meminjam buku sebanyak apapun tanpa jaminan, masyarakat yang membuat buku akan diberi hadiah emas seberat buku yang dihasilkan, pendidikan gratis mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Serta mendanai berbagai penelitian, sehingga mahasiawa mampu berinovasi menghasilkan pemikiran atau penemuan baru yang belum ada sebelumnya. Hasilnya pun dapat bermanfaat bagi peradaban umat manusia di seluruh dunia sampai saat ini.

Wallahu a’lam bishawab.
Previous Post Next Post