Antara Pilkada dan Pandemi Corona


Oleh:  Siti Khodijah Rajuli
(Praktisi Pendidikan, Muslimah Besemah)

Ditengah kondisi Indonesia yang semakin parah karena melonjaknya jumlah kasus positif Corona, pemerintah tetap akan menyelenggarakan pilkada serentak. Hal ini tentu menimbulkan reaksi diantara para ahli dan masyarakat pada umumnya, mereka mengkritisi keputusan yang diambil oleh pemerintah.

Dilansir dalam timesindonesia.co.id,(18/06/20) Tidak lepas dari keputusan New Normal, tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2020 yang semula sempat tertunda sejak Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada 4 Mei 2020. Perpu tersebut mengubah waktu pelaksaan pemungutan suara yang semula dijadwalkan pada 23 September 2020 sebagaimana yang dicantumkan pada UU No 10 Tahun 2016, kini sudah diputuskan menjadi Desember 2020.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus mendorong pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 9 Desember 2020 mendatang meski hingga saat ini kasus pandemi Corona (Covid-19) di Indonesia masih terus meningkat. Dirjen Bina Administrasi dan Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA menjelaskan alasan Pilkada 2020 tetap harus dilaksanakan sebab kewenangan penanganan Covid-19 akan maksimal jika dipimpin langsung oleh kepala daerah langsung, bukan pelaksana tugas (suara.com, 06/07/20).
Keputusan pemerintah yang akan tetap menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) di tengah wabah tentu akan melibatkan banyak kontak antara orang-orang dan berisiko menularkan virus ini dengan cepat. Otomatis penambahan kasus positif Corona akan membeludak tak terkendali. 

Keberhasilan penanganan wabah oleh pemerintah juga sampai saat ini masih dipertanyakan. Terbukti dari awal Corona masuk ke Indonesia angka grafik kenaikan positif Corona tak kunjung melandai.
Berkaca pada Korea Selatan (Korsel) yang menjadi negara pertama yang menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) di tengah pandemi pada April. Mulanya, pemerintah Korsel banyak sekali mendapat pujian karena dianggap menjadi teladan dalam penanganan pandemi. Bermula dari satu pasien pada awal Februari, pertambahan jumlah kasus Covid-19 per hari di sana melonjak hingga lebih dari seribu orang pada awal Maret. Kini jumlah total kasus di Korsel tercatat 10.991, dengan pertambahan kasus per hari tidak lebih dari 40 dalam sebulan terakhir.

Di Indonesia sendiri sejak mengumumkan kasus pertama pada awal Maret, tercatat hingga kini lebih dari 64 ribu kasus positif dan pertambahan jumlah kasus sangat tinggi  ratusan bahkan sampai seribu kasus per hari dalam sebulan terakhir.

Korsel berhasil karena melakukan pemeriksaaan massal (hingga 15 ribu tes per hari), pembatasan sosial yang ketat, dan komunikasi yang transparan. Pemerintah Indonesia masih belum berhasil melakukan ketiga hal tersebut. Jadi akan sangat berisiko sekali jika pemerintah tetap bersikeras untuk tetap mengadakan pilkada padahal kemampuan menangani pandemi masih buruk.

Dana Pilkada 2020 yang diperkirakan akan menelan anggaran Rp 9 triliun, sebuah jumlah yang tentunya bisa bermanfaat bagi pemulihan paska pandemi jika pilkada ditiadakan.

Belum lama ini, Mantan Menteri Ekonomi era Presien Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Rizal Ramli bertemu dengan Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun. Pada pertemuan itu mereka membahas tentang lucunya demokrasi kriminal yang ada di Indonesia. Secara gamblang Rizal mengakui bahwa ia pernah ditawari untuk didukung menjadi presiden, tetapi ia tidak sanggup karena harus mengeluarkan biaya hingga Rp1,5 triliun. Fakta berikutnya Rizal mengatakan  bahwa dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membayar partai-partai pendukung. Karena itu, hanya orang-orang yang punya modal banyak atau disokong oleh para cukonglah yang bisa mencalonkan diri untuk menjadi para caleg, capres dan cawapres, ataupun calon kepala daerah beserta wakilnya.

Jadi wajar saja jika demokrasi Indonesia dikatakan sebagai demokrasi kriminal karena terlalu mengikuti sistem politik di Amerika Serikat (AS). Dengan mahalnya mahar yang dikeluarkan mengakibatkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin banyak, bukan justru berkurang.

Tentunya banyaknya dana yang keluar dari para calon atau cukong yang mendukung calon tertentu yang jumlahnya miliaran bahkan triliunan itu tidaklah gratis. Pastinya prinsip untung rugi berlaku di sini. Jadi wajar jika setiap kebijakan yang keluar berdasarkan pesanan pemain dibelakang. Mudah diduga bahwa yang kembali menjadi korban adalah rakyat. Terbukti mereka tidak sedikitpun memikirkan nasib rakyat. Selogan dari, oleh dan untuk rakyat hanya bualan belaka.
Sangat wajar pula pemerintah tetap mengambil kebijakan untuk melaksanakan pemilu ditengah pandemi walaupun keselamatan nyawa rakyat terancam. Biaya pemilu yang sangat fantastis harusnya bisa dimanfaatkan untuk penanganan virus Corona.

Begitulah fakta-fakta yang mengerikan, sadis dan mencengangkan. Dalam sistem demokrasi sejatinya tidak sedikitpun mereka memikirkan nasib rakyat yang ada hanyalah sebuah kepentingan. Demokrasi dengan sistem kapitalisnya, yang penting untung terserah walaupun harus rakyat yang menjadi korbannya.

Faktanya demokrasi menjadi peluang bagi partai-partai untuk kembali memanen ‘mahar poltik’ dan dapat dipastikan tim sukses kembali mendapatkan untung dan rakyat harus menelan dan menjadi korban janji-janji manis para elit politik. Rakyat mesti tahu bahwa demokrasi bukan saja hanya sekedar memilih pemimpin, akan tetapi demokerasi merupakan cara ideology kapitalis untuk menguasai politik.

Ideologi kapitalis ini lahir dari akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Ciri khas dari ideologi ini adalah menjadikan uang sebagai panglima daan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Negara sekuler  ini juga menerapkan ekonomi liberal dan politik demokrasi. Ideologi ini menjadikan pemilik uang menguasai semuanya. Ujung dari segala proses bermasyarakat dan bernegara berpangkal pada kepentingan para pemilik modal. Jadi jelas bahwa yang menyebabkan hancurnya negeri ini adalah ideologi dari sistem kapitalis.

Sebagian pihak (lokal dan internasional) menyebut momen pilkada di tengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan duduk di kursi kuasa. Tak banyak yang mengkritik bahwa mekanisme demokrasi (pilpres dan pilkada) justru mengekalkan system kriminal yg menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat.

Untuk menyelesaikan semua karut marut persoalan yang menimpa negari ini dibutuhkan sebuah sistem yang memang sudah terbukti dan teruji kebenarannya. Tentu saja jawabannya Islam. Mengapa Islam dan bagaimana Islam menyelesaikan semua ini? Sebab Islam punya aturan yang paripurna dan sempurna. Semua ini terbukti bahwa Islam mampu mensejahterahkan umat selama 13 abad lamanya. Sebuah peradaban yang tak pernah ada peradaban lain yang mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama. Dalam Islam, politik berarti mengatur urusan umat. Sistem Islam memastikan agar rakyat memperoleh kesejahteraan yang menjadi haknya.

Bila dikelola dengan baik oleh rezim yang baik dan amanah serta berdasarkan sistem yang baik, insya Allah akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik muslim maupun nonmuslim. Tidak ada jalan lain kecuali melalui penerapan syariah Islam secara Kaffah dalam naungan pemerintahan Islam.
Wallahu a'lam bishshawab
Previous Post Next Post