Utang Menguat, Akankah Ekonomi Indonesia Selamat?


Oleh : Dwi Sri Utari, S.Pd


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Senin (4/5) malam di gedung DPR RI Senayan, Jakarta. Perpu anti krisis efek corona tersebut menjadi legalitas bagi berbagai lembaga dalam sektor keuangan untuk berwenang menentukan langkah kebijakan yang dianggapnya sebagai upaya penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. 
Dampak covid-19 yang terjadi di negara-negara di dunia memang telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang cukup besar. Dampak-dampak tersebut menyasar berbagai aspek kehidupan baik aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai negara yang sedang menghadapi mewabahnya pandemi covid-19 ini tak terkecuali negara Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, menurunnya penerimaan negara dan meningkatnya pembiayaan belanja negara. 
Di Indonesia sendiri, Pemerintah nampak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan belanja baik yang berkaitan dengan medis, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), serta pembiayaan pemulihan perekonomian. Melakukan pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 menjadi pilihan kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang dianggapnya sebagai langkah penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sitem keuangan.
Pasca disahkannya Perpu No 1 Tahun 2020 menjadi UU hingga awal bulan Juni ini, Menkeu Sri Mulyani telah melakukan pelebaran defisit APBN tahun 2020 sebanyak dua kali. Pada bulan Mei telah melebarkan defisit ke level 6,27% setara Rp 1.028,5 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB). Kemudian kembali melebarkan defisit APBN untuk yang kedua kalinya pada awal Juni dengan naik ke level 6,34% atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap PDB.
Apabila kita menelisik bagaimana pemerintah dalam merancang APBN maka sudah menjadi kebiasaan bahwa menutupi defisit APBN menjadi dalih untuk menerbitkan surat utang dan menaikan pajak. Pada kondisi saat ini, untuk menambal defisit sebesar 6,34% atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap PDB pemerintah telah mengumumkan rencananya menerbitkan surat utang dengan nilai yang fantastis yaitu sebesar Rp.990,1 triliun. Dilansir dari financedetik.com, utang ini diterbitkan melalui Surat Utang Negara (SUN) secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, maupun privat placement dalam dan atau luar negeri.
Memang sudah menjadi sesuatu yang lumrah, tatkala sebuah negeri yang ekonominya berbasis pada kapitalisme akan menyusun APBN berdasar hutang dan pajak. Dalam mekanismenya negeri yang juga bercorak liberal tidak hanya sekedar cukup memalaki masyarakat dalam bentuk pajak namun juga mengemis kepada pihak asing, dalam bentuk hutang telah menjadi rutinitas tahunan. Betapa tidak metode penyusunan APBN yang selalu defisit mengharuskan negara menerbitkan SUN (Surat Utang Negara), obligasi dan pinjaman lainnya kepada investor asing untuk mencukupi postur APBN.
Sungguh dapat dipahami, ketika Politikus Gerindra Kamrussamad yang juga merupakan anggota DPR RI, menyampaikan bahwa beban utang pemerintah yang sangat besar berpotensi membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Instrumen utang sejatinya merupakan alat kapitalisme global. Dengan semakin rajinnya penguasa negeri ini melakukan pinjaman kepada asing maka hal ini menunjukkan betapa cengkraman asing begitu kuat. Dimana utang luar negeri ini hanya menguntungkan negara-negara pemberi modal yang pada akhirnya membuat negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat utang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu. Alhasil negara akan semakin mudah dikontrol dan dikendalikan oleh asing baik melalui penyusunan draft undang-undang, kontrak kerja tambang, peguasaan hutan, perkebunan dll. 
Dampak dari tindakan tersebut adalah terjadinya liberalisasi ekonomi, pemerintah kehilangan sumber pendapatan negara yang berasal dari harta milik umum dan milik negara karena diprivatisasikan. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta/ asing. Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta. 
Disisi lain, dampak dari liberalisasi ekonomi adalah negara diharuskan terus mencabut dan mengurangi subsidi yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisasi. Hal ini sering kita alami di Indonesia, mulai dari pencabutan subsidi BBM sampai pencabutan subsidi energi listrik 900 watt yang sempat direncanakan akhir tahun lalu namun tertunda akibat mewabahnya covid-19. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan, berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dihapuskan dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
Dan yang paling menonjol dalam pola ekonomi kapitalisme adalah dimana di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Dengan bunga yang berlipat-lipat dan terus membengkak tanpa terkendali, tentu hal ini dapat membuat pemerintah kelimpungan dalam membayar hutang-hutangnya. Sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang dibebankan untuk dapat melunasi utang-utang tersebut. Seperti dinaikannya pajak-pajak yang harus dibayar masyarakat dalam menggunakan fasilitas publik. 
Dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi kapitalisme liberal tersebut dengan dalih menambal defisit APBN alih-alih dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya justru mengakibatkan kerusakan  dan kesengsaraan bagi umat manusia dalam bentuk kerusakan alam, kemiskinan serta kesenjangan ekonomi yang sangat lebar baik di antara individu di suatu negara maupun kesenjangan ekonomi antarnegara. 
Pandemi covid-19 yang melanda dunia nampak menguliti kegagalan sistem ekonomi kapitalis dalam menjamin kesejahteraan rakyat termasuk juga dalam mengatasi problem-problem kehidupan seperti dampak covid-19. Hal ini selayaknya membuka mata kita untuk mencari sistem alternatif lain. Kita bisa menengok sejarah, bahwa pernah ada sebuah peradaban agung yang mampu menyelenggarakan pemeliharaan seluruh urusan penduduknya dengan penuh keadilan dan kemakmuran. Peradaban itu adalah peradaban islam yang menjadikan aturan Sang Pencipta sebagai landasan sistem kehidupan. 
Dalam sistem ekonomi islam negara diberikan kemandirian untuk mengatur perbendaharaannya. Dengan kemandirian tersebut tidak akan memberikan celah bagi asing dan para kapital untuk mampu melakukan intervensi seperti liberalisasi ekonomi yang akan menyengsarakan rakyat. Sebaliknya, penerimaan maupun pengeluaran negara akan diatur sedemikian rupa berdasarkan syariat islam untuk mensejahterakan rakyatnya secara orang-perorang dan menyeluruh. Jika demikian, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk menunda beralih pada sistem yang berasal dari Sang Khaliq Allah SWT. WaAllaahu'alam bishawaab


Post a Comment

Previous Post Next Post