RUU HIP HANYA AKAN MENAMBAH KEHANCURAN BAGI NEGARA

Oleh: Ulfah Husniyah, S.Pd

Pembahasan RUU HIP sampai saat ini masih  mendapat sorotan publik. Bahkan pada Rabu (24/6/20), ribuan orang mengikuti aksi penolakan RUU HIP di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Dalam catatan rapat badan legislasi pengambilan keputusan atas penyusunan rancangan UU tentang Haluan Ideologi Pancasila, 22 April 2020, RUU HIP merupakan usulan DPR RI dan ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas 2020 usulan RUU tersebut dilatar  belakangi oleh belum adanya landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain dianggap tak memiliki urgensi, banyak pihak menilai RUU HIP berpotensi menimbulkan konflik Ideologi. Isi RUU HIP yang menuai komtroversi adalah adanya konsep Trisila dan Ekasila dalam salah satu pasal RUU HIP. Diantara pihak yang menyoroti dua konsep tersebut adalah Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas. Menurut Anwar, memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila merulakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.

Sejak kemunculannya, RUU HIP dinilai cacat. Secara fisolofis, RUU yang terdiri dari 10 bab dan 60 pasal ini ditentang para ahli karena berusaha menjadikan Pancasila sebagai hukum positif. Konsekuensinya, rezim akan memiliki legitimasi untuk menggebuk siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan tafsir Pancasila ala rezim. Demikian pula secara yuridis, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme tidak dimasukkan sebagai konsideran diantara 8 rujukan. Padahal sejarah Indonesia berisi catatan kelam akibat keberpihakan Orde Lama pada ajaran ini. Suasana kelahiran RUU ini juga sangat tidak tepat mengingat masyarakat sedang menghadapi wabah Covid-19. Bila ditinjau dari sudut pandang Islam, para ulama dan aktivis Islam curiga ketika TAP MPRS tentang larangan Komunisme tidak dicantumkan sebagai rujukan. Wajar jika opini kian mengeras jika rezim sengaja memberi ruang bagi kelompok tertentu yang ingin menghidupkan kembali ajaran Komunis. Seperti komentar Imam besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mengaitkan dugaan itu dengan materi keadilan sosial. Pasal 6 ayat 1 RUU HIP membahas keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila. Menurut HRS, keadilan sosial itu mirip persis dengan manifesto Partai Komunisme yang pernah dibawakan DN Aidit pada tahun 1963. Saat itu, DN Aidit menyatakan bahwa urat tunjang yakni sendi pokok intisari Pancasila adalah keadilan sosial bukan ketuhanan yang Maha Esa. Tidak hanya Komunisme, bahaya perongrongan terhadap ajaran Islam juga terlacak pada pasal 7 ayat 2 sebagai jelmaan Sekularisasi agama. Pasal itu menyatakan bahwa salah satu ciri pokok Pancasila adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Klausul itu membuat umat Islam geram, karena agama (ketuhanan) yang berdasar wahyu Allah Swt.harus disesuaikan dengan budaya yang notabene merupakan hasil akal manusia. Namun PDIP yang disinyalir menjadi penggagas utama RUU ini segera melempar, tanggung jawab. Sadar bahwa kengototannya bakal kontraproduktif. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menegaskan partainya setuju melarang ideologi marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serts bentuk khilafahisme. Sudah jelas yang ditolak publik adalah komunisme, dan kegeraman masyarakat pada praktik-praktik kapitalisme liberal di negeri ini, Hasto memelintir keresahan mereka untuk menegaskan kembali agenda politik partainya terus melakukan represi terhadap umat dan ajaran Islam. Padahal ulama dan kaum muslimin Indonesia tak bakal menolak Khilafah dan bahkan bersepakat bahwa Khilafah adalah ajaran Islam yang telah dicontohkan junjungan mereka, Rasulullah Saw.

Inilah kegagalan rezim mengurus negara dan rakyat karena berkiblat pada Kapitalisme dengan varian neoliberalismenya. Telunjuk rezim selalu menuding Islam. Kaum muslimin yang menginginkan penegakkan syari'at kaffah melalui Khilafah Islamiyah, pasti dianggap radikal dan berbahaya. Padahal peneliti politik LIPI, Prof Siti Zuhro membantah bahwa radikalisme merupakan persoalan utama Indonesia. Persoalan inti Indonesia menurutnya adalah ketimpangan dan kemiskinan. Wajar jika muncul pendapat demikian, karena penerapan Kapitalisme selalu berujung pada kemiskinan yang kian memperlebar jurang ketimpangan antar kalangan masyarakat. 

Tidak hanya politik, cara berekonomi negara masih kental cara-cara Kapitalistik. Demokrasi ekonomi Pancasila dalam pasal 17 bahkan memperkenankan pinjaman liar negeri meski diberi embel-embel untuk memperkuat perekonomian nasional. Padahal, mana ada utang akan memperkuat perekonomian nasional. Menurut Faisal Basri, utang Indonesia justru terbesar diantara negara-negara emerging markets. Dampaknya, mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Utang juga telah menyusahkan rakyat karena pos terbesar APBN justru digunakan untuk pembayaran bunga utang, sedangkan subsidi untuk rakyat lambat laun ditiadakan.

Walhasil, jika RUU ini disahkan, jelas akan menambah daftar panjang UU yang kian mengukuhkan belitan Kapitalisme pada negeri ini. Kalaupun ada keinginan untuk mengadopsi ide Sosialisme sebagaimana dijelaskan diatas, tak pelak lagi, rezim ini justru hendak menerapkan semua isme yang dilarangnya -sosialisme/komunisme/marxisme dan kapitalisme-liberal- kecuali Khilafah tentunya. Justru senyawa Kapitalisme rasa Sosialisme yang menjadi konsep utama RUU ini makin menjauhkan Islam sebagaimana agama Ideologis. Karena rezim dan promotornya tak akan pernah ridha akan penerapan hukum Allah di muka bumi.

Maka, sikap kaum muslimin harus tegas: menolak RUU HIP selama-lamanya, karena hanya menimbulkan bahaya bagi Islam dan kaum muslimin. Di samping itu, umat harus meluruskan niat dan perjuangan mengembalikan Islam Kaffah kembali eksis di muka bumi demi membuktikan Khilafah sebagai ajaran Islam adalah sistem terbaik bagi kehidupan manusia.
Previous Post Next Post