New Normal, Jangan Korbankan Bayi dan Balita

By : Kurnia Wardani 
Ibu Rumah Tangga

Rabu pertama Juni, Posyandu di lingkungan saya mulai aktif lagi. Tentu saja saya mengerutkan kening demi mendengar pengumuman itu. Yakin bakal dibuka? Apa tidak bahaya membentuk kerumunan di tengah pandemi yang belum usai? Ini bayi dan balita, lho, yang akan kumpul-kumpul. Apa iya mereka betah masker dalam waktu lama? Apa iya mereka akan patuh untuk menjaga jarak dari teman-temannya? Dan berderet tanya lainnya bermunculan di benak. 

Dari pada penasaran, saya melintasi TKP. Di sana, para kadernya memakai masker dan sarung tangan karet. Demikian pula ibu-ibu yang mengantar. Di pintu masuk tersedia tempat cuci tangan dan sabun cair. Sementara para balitanya datang tanpa masker. Begitu tiba, mereka langsung asyik bermain bersama kawan-kawan sebayanya. Duh!

Coba bayangkan jika salah satu dari bocah itu membawa virus SARS-CoV-2. Andai dia membawa minuman kemasan, lalu berbagi pada temannya. Teman lainnya yang melihat kemudian minta minum juga. Ketika minuman miliknya habis, dia minta minum pada teman yang lainnya. Sepertinya tidak perlu menunggu empat belas hari untuk mendapatkan cluster baru. Nauzubillah. 

 Posyandu memang dibutuhkan. Bayi dan balita itu perlu dipantau tumbuh kembangnya. Mereka perlu dipantau kecukupan gizinya demi terhindar dari stunting. Akan tetapi, tidak cukupkah jika aktivitas itu diserahkan pada ibu mereka. Andai para ibu masih minim pengetahuannya tentang gizi dan kesehatan, tidak bisakah para kader dan bidan desa men-drive ibu-ibu melalui grup-grup WhatsApp. Tidak bisakah diupayakan dengan para kader yang mendatangi rumah mereka satu persatu untuk mengetahui penambahan berat badannya. Dengan teknis begini, niscaya lebih aman. Tidak khawatir jatuh korban jiwa.

Dibukanya kembali Posyandu ini terus terang cukup mengejutkan. Di luar masih riuh dibahas kapan siswa kembali ke sekolah, eh, bocah-bocah balita sudah mulai dibuatkan arena kumpul-kumpul. Bisa saja dibuatkan dalih bahwa kumpul-kumpulnya sesuai protokol Covid-19. Pun tidak memakan waktu lama karena bayi dan balita itu hanya ditimbang dan diberi snack bergizi. Setelah itu pulang. Nah, ‘tidak lama’ ini tetap saja berdurasi. Tetap saja berpeluang menularkan jika salah satu hadirin membawa virus.

Masih yakin mau new normal di saat kasus penambahan jumlah pasien belum menurun. Di Perancis dikabarkan ada 70 siswa positif Covid-19 seminggu pasca kebijakan new normal diterapkan. Akibatnya, mereka membatalkan lagi pembukaan sekolah-sekolah dan tempat penitipan anak. Demikian pula dengan Inggris dan Korea Selatan.

Tabiat virus SARS-CoV-2 yang sangat mudah menular bertemu dengan anak-anak yang tipikalnya aktif bergerak dan susah mematuhi segala protokol covid-19 ibarat botol bertemu tutupnya. Klop. Sungguh sangat riskan jika kebijakan ini tetap diberlakukan.

Mengapa harus New Normal?
The New Normal Life. istilah asing dari kosakata bahasa Inggris. Istilah ini populer setelah melandainya kurva penyebaran SARS-CoV-2 di banyak negara besar. The New Normal yang dimaknai sebagai cara hidup baru ini sebenarnya merupakan istilah dalam bisnis dan ekonomi. The new normal mengacu pada kondisi keuangan setelah krisis moneter 2007-2008. Demikian pula pasca resesi global 2008-2012, dunia menggunakan istilah New Normal untuk menyambut geliat ekonomi di berbagai sektor. Tidak heran jika istilah ini juga yang dipilih pasca meredanya serangan Covid-19 di sejumlah negara.

Melandainya kurva sebaran Covid-19 di banyak negara tidak terjadi di Indonesia. Di negara ini, angka pertambahan kasus justru semakin meningkat. Kurvanya belum terbentuk. Seumpama naik gunung, seorang pendaki tidak bisa mengestimasi kapan mencapai puncak hingga dia bisa menuruninya lagi. Semakin didaki semakin meninggi saja puncaknya. Itulah Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, tidak bisa warga negara ini dipaksa mengikuti tren dunia. Tidak bisa diminta hidup damai berdampingan layaknya suami istri. Apalagi bagi bayi dan balita. Virus SARS-CoV-2 tetaplah virus berbahaya yang berpotensi mematikan. Hingga kemarin, 5 Juni, dr. Yogi Prawira, Sp.A(K) yang merupakan Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan lebih dari 20 anak meninggal karena virus Corona (kumparanMOM). Angka 20 adalah angka yang sangat besar untuk sebuah kehilangan jiwa.  

Tidak seharusnya mempertaruhkan bahkan mengorbankan jiwa bayi dan balita demi bergeraknya roda perekonomian. Bayi dan balita inilah masa depan Indonesia. Memperbaiki dan berusaha mempertahankan kesehatan mereka sejatinya menjadi prioritas. Karut marutnya penanganan Covid-19 ini, jangan ditambah dengan kebijakan the new normal abal-abal agar tidak semakin ambyar.

Post a Comment

Previous Post Next Post