Menyikapi Pandemi dalam Sistem Kapitalis

Oleh : Marsitin Rusdi SST.FT.ftr
Praktisi Klinis dan Pemerhati Sosial dan Lingkungan


Saat ini  kita menyaksikan dan  merasakan dampak dari wabah Covid-19 yang melanda hampir di seluruh negara. Seluruh negara yang terdapat mengalami goncangan dsir berbagai sendi kehidupan, khususnya ekonomi. Hal ini membuat seluruh negara yang terdampak wabah menjerit menahan berbagai beban berat kehidupan. Karena perekonomian kolaps secara keseluruhan hingga sektor riil. Setiap kepala negara harus mengambil kebijakan sendiri menurut kondisi negaranya masing-masing. Hal tentu saja akan menghasilkan kebijakan yang berbeda-beda  dalam memutus mata rantai penyebaran virus tersebut. Berhasil atau tidaknya melawan virus ini tidak luput dari pengambilan langkah kebijakan seorang pemimpin negara tersebut.

Bagi negara yang pemimpinnya cerdas dan mampu mengambil langkah tepat, pasti tanggap cepat mengambil kebijakan untuk  menyelamatkan rakyatnya. Seperti Vietnam contohnya, ketika pandemi di Wuhan mulai terdeteksi virus Covid -19, kepala negaranya mengambil kebijakan cerdas dan menyelamatkan tidak ada yang boleh masuk ke  negaranya (Vietnam) dan warga negaranya tidak boleh keluar dari Vietnam. Sehingga Vietnam cukup  aman dari wabah hingga saat ini. 

Aktivitas warga di Vietnam berjalan seperti biasa dengan prosedur, bermasker, jaga jarak dan cuci tangan pakai sabun, negaranya juga tidak mengeluarkan biaya banyak untuk memutus mata rantai penularan virus, hanya enam orang yang meninggal selama pandemi. Itu termasuk jumlah kematian yang sungguh fantastik dalam kasus Covid-19 negara-negara lain sampai ratusan hingga ribuan. 

Berbeda dengan kebijakan di negara negara lain seperti, Italia, Jerman, Inggris, Perancis, Amerika, negara Ekuador, angka penderita sungguh fantastik hal ini di tandai dari tingginya angka kematian di sana. Hal ini karena keterlambatan pengambilan kebijakan para pemimpinnya dan meremehkan keganasan virus. Sehingga manusia meninggal dibiarkannya seperti kematian binatang, dipinggir jalan, dilapangan, serta tempat-tempat umum yang banyak dikunjungi orang.

Begitu pula dengan Indonesia, yang terkesan lambat dalam mendeteksi dan merespon masuknya virus  ke negeri ini. Hingga  saat ini hampir semua daerah berada di zona merah. Penanganan yang kurang sinergis antara pusat dan daerah, kebijakan yang bertolak belakang menambah ruwet persoalan.

Yang tidak kalah heboh adalah adanya pemeriksaan tes PCR yang ditargetkan sehari mencapai 20 ribu tes, dan akan ditingkatkan menjadi 30 ribu, sesuatu yang dipaksakan. Lalu setelah dites  tidak disediakan tempat kusus antara yang sehat (yang negatif) dengan yang belum diperiksa, sudah barang tentu mereka tidak bisa menjamin orango-orang tersebut tidak berkeliaran lagi. Bisa jadi setelah seminggu tes mereka juga kena karena masih tetap berinteraksi dengan bebas dengan kedisiplinan yang on off ini, karena tetap tercampur. Jadi buat apa periksa banyak–banyak kalau hanya sekedar periksa tidak ada tindak lanjut untuk mengkarantina mereka yang sehat atau yang sakit. 

Belum lagi usaha percepatan pemulihan ekonomi yang terkesan memakai jurus mabuk dengan menyambar semua dana talangan yang ada. Hal ini bisa kita lihat dari adanya wacana pemanfaatan dana haji untuk memperkuat nilai rupiah. Di sisi lain upaya untuk mencari sumber pendanaan pemerintah akan dilakukan dengan  menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) khusus bagi diaspora. Yakni pengusaha Indonesia yang berada di luar negeri dengan mitra perbankan BCA, CIMB niaga, BRI, BNI, Bank Panin, Bank Mandiri yang akan dijadikan sebagai pembiayaan alternatif APBN untuk menangani Pandemi.(Jawa Pos,05 Juni 2020)

Beginilah jika sistem Islam ditinggalkan, sistem kapitalis  menguasai semua lini kehidupan hal ini telah membuat kehidupan rakyat sengsara, karena dalam sistem kapitalis rakyat bukan sesuatu yang harus dilindungi.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam.  Dalam kondisi normal, perang maupun pandemi. Seorang khalifah pasti akan mengambil kebijakan cerdas dan tepat untuk menyelamatkan rakyat. Seorang khalifah tidak akan pernah bisa tidur sebelum semua rakyatnya bisa tidur, dan tidak akan makan sebelum rakyatnya merasa kenyang. Apapun kebijakannya sealalu  selalu mengedepankan rakyatnya, bukan mengedepankan dirinya dan golongannya. Hal ini sebagaimana yang di contohkan oleh Umar bin Khattab ra, yang rela memanggul gandum dan mengolah untuk di konsumsi oleh rakyatnya yang terkena.dampak paceklik sehingga terpaksa harus memasak batu untuk menenangkan anaknya yang kelaparan.

Khalifah yang melegalisasi hukum-hukum syara’yang diperlukan untuk memelihara urusan-urusan umat, yang digali dengan ijtihad yang sahih dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya, sehingga menjadi perundang- undangan yang wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar.

Khalifah juga yang menentukan hukum–hukum syara’ yang berhubungan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara. 
Dia juga yang menentukan rincian nilai APBN pemasukan maupun pengeluaran, sehingga jelas keluar dan masuknya anggaran karena dari kebijakan satu pintu. Sebagai pelaksananya khalifah mengangkat para wali pada bidang masing masing, Mu’awin Tafwidz, yang membantu dalam bidang pemerintahan, Muawin Tanfidz yang membantu dalam bidang administrasi. 

Sistem  Islam telah terbukti 13 Abad membawa kegemilangan pada peradaban dunia, mensejahterakan masyarakat baik muslim maupun non muslim, semua hidup dalam suasana aman dan tentram dalam bingkai keimanan dan ketakwaan terhadap Rabbnya.
Wallahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post