Mencari Keadilan untuk Novel Baswedan

Oleh. Alfiyah Kharomah
Praktisi Kesehatan, Member Revowriter

Lama, rakyat menunggu perkembangan kasus penyiraman air keras sejak 2017 lalu. 3 tahun 2 bulan, berharap keadilan bagi penyidik senior tindak pidana korupsi, Novel Baswedan. Akhirnya menjejak ending. Sang pealaku Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4 untuk menyiram penyidik senior KPK itu. Sedangkan, Rony dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya. Keduanya dituntut dengan Pasal 353 KUHP Ayat 2 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.

Kedua tersangka dijatuhi hukuman 1 tahun penjara. Tentu saja, hukuman tersebut tak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. JPU rasa pengacara tersangka ini mendalih kedua tersangka tidak sengaja menyiramkan air keras ke muka, mereka berniat hanya menyiramkan air keras tersebut ke badannya. Dan kedua tersangka tersebut sudah memnita maaf kepada korban. Karena itulah, hukuman kepada mereka diringankan.

Tentu saja ini menuai banyak respon penduduk Twitter, Ga Sengaja menjadi trending pertama. Putusan tak adil tersebut juga membuat Novel sendiri merespon. Ia mengungkapkan bahwa putusan tak adil tersebut dapat melukai hukum di Indonesia. Sehingga harus disikapi dengan marah. Menurutnya peristiwa yang dialaminya merupakan penganiayaan level tinggi karena direncanakan, menggunakan air keras, serta menyebabkan luka berat. Namun, ia heran penganiayaan level tinggi itu hanya 'diganjar' dengan tuntutan hukuman 1 tahun penjara. Ia mempertanyakan, bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan, jika hukum seperti ini? 

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) pun menyatakan sikap bersama bahwa proses hukum kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan minus keadilan bagi korban, surplus kepentingan pelaku dan mengancam pemberantasan korupsi ke depannya.

Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengatakan, jaksa penuntut umum semestinya menjadi representasi dari negara dalam memastikan terwujudnya keadilan melalui proses penegakan hukum. Tuntutan ringan tersebut akan berimplikasi bagi kerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satunya tidak terlindunginya kerja pemberantasan korupsi, khususnya yang dilakukan KPK. Ia menyampaikan lagi, dengan tuntutan yang rendah ini membuat para peneror yang ingin mengganggu pemberantasan korupsi tidak merasakan rasa takut. Sehingga kejadian seperti ini bisa terulang kembali.

Jika disandingkan dengan kasus yang sama, contohnya pada kasus Heriyanto, pelaku penyiraman air keras ke tubuh istrinya, Yeta Maryati, divonis pidana penjara selama 20 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkulu, pada 2020.

Begitulah gambaran hukum jika diserahkan kepada manusia, rentan berubah-ubah mengikuti hawa nafsunya dan sarat kepentingan-kepentingan. 

Manusia membutuhkan sebuah hukum yang adil, komprehensif, tegas dan tak bisa berubah menurut tempat dan waktu. Hukum yang tak mudah mengikuti hawa nafsu manusia, hukum yang memiliki standar yang stabil tak berubah-ubah karena kepentingan semata.

Maka, Islam selama belasan abad lamanya telah menjawab itu semua. Di dalam Islam, Kejahatan (al-jarimah) merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan syara’ yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri, dan orang lain. Seandainya manusia melanggar hukum-hukum tersebut maka berarti ia telah berbuat cela (al-qabih), dengan demikian ia telah berbuat kejahatan. Maka Islam mengatur dalam hukum persanksian terhadap tindak kejahatan hingga seseorang dapat menjalankan segala hal yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Negaralah yang melaksanakan sanksi tersebut. Sanksi yang dijatuhkan di dunia kepada pelaku kejahatan akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). 

Sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tersebut akan berfungsi untuk mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan kejahatan, dosa, dan kriminal serupa. Karena sanksi yang dijatuhkan menjerakan bagi pelaku dan akan disaksikan oleh seluruh masyarakat.

Kemudian sanksi dalam Islam juga akan menjadi penebus dosa yang akan menggugurkan sanksi di akhirat. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang diterima dari ‘Ubadah bin Shamit yang mengatakan, Suatu ketika kami bersama Rasulullah dalam sebuah majelis. Rasul kemudian bersabda, “Baiatlah aku dalam hal tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, berzina…” Beliau kemudian membaca “Barangsiapa di antara kalian yang menepatinya, maka pahalanya ada di sisi Allah. Barang siapa yang melanggarnya maka ia akan diberi sanksi sebagai penebus (kaffarah) baginya. Barangsiapa yang melanggarnya namun kesalahan itu ditutupi oleh Allah, maka jika Allah menghendaki maka Dia akan mengampuni. Jika Ia menghendaki Dia akan mengadzabnya.”

Adapun jenis-jenis uqubat dalam Islam ada tiga, yaitu hudud, jinayat, dan ta’zir. Hudud adalah sanksi terhadap kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara guna mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam tindakan maksiat yang serupa. Tindak kejahatan yang harus dijatuhi hudud adalah zina, homoseksual, menuduh berzina, minum khamr, murtad, hirabah atau penyamunan, dan mencuri.

Jinayat adalah sanksi untuk penganiayaan atas badan yang mewajibkan Qishash, atau sanksi (denda) berupa harta. Jenis-jenisnya meliputi pembunuhan, dan yang bukan termasuk pembunuhan seperti perlukaan/ penganiayaan, mematahkan anggota badan (qath’ul a’dha).

Ta’zir adalah sanksi-sanksi yang disyariatkan, yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. Kadar sanksi ta’zir dasarnya berada di tangan Khalifah namun dibolehkan diserahkan qadhi untuk berijtihad.

Kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, di dalam Islam dikategorikan ke dalam sanksi jinayat. Pelakunya telah meninggalkan kecacatan anggota badan korban, yakni mata sebelah kirinya. Maka, jika melenyapkan anggota tubuh yang berjumlah sepasang, maka hukuman yang berlaku adalah qishas. Darah dibayar dengan darah. Namun apabila keluarga telah memaafkannya maka diyatnya adalah setengah diyat sempurna. 

Diyat sempurna menurut ukuran syar’i adalah pertama, unta: 100 ekor unta yang (termasuk sanksi) diringankan (mukhaffafah), dan 100 ekor unta yang 40 ekor diantaranya adalah unta bunting, yakni sanksi yang diberatkan (mughallazhah). Kedua, emas: 1000 dinar emas. Satu dinar syar’i adalah 4,25 gram. Ketiga, perak: 12.000 dirham. Satu dirhamnya adalah 3,12 gram perak.

Mengacu pada hukum Islam, setidaknya para tersangka dijatuhi hukuman setengah diyat sempurna. Apabila memakai acuan emas. Jika korban kehilangan satu matanya, maka pelaku harus membayar sebesar 500 dinar emas, jika 1 dinar sama dengan Rp. 3.300.000, maka sedikitnya pelaku membayar Rp. 1.650.000.000.

Dengan demikian jelaslah, bahwa hukum yang diberlakukan untuk mengatasi kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan jauh dari kata adil. Bahkan akan mencederai keadilan itu sendiri. Maka, hukum yang tepat diterapkan adalah hukum sanksi berdasarkan syari’at. Sistem sanksi tersebut ditetapkan berdasarakan Al-qur’an, hadits, ijma’ sahabat dan qiyas.

Kesempurnaan sistem sanksi di dalam Islam jelas sangat adil dan manusiawi bagi tersangka maupun korban. Terbukti selama belasan abad lamanya, Islam mampu menekan angka kriminal ketika sebuah negara mau menerapkannya. Wallahu’alam Bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post