MENGGAPAI BERKAH DITENGAH WABAH DENGAN IMAN DAN TAQWA

By : MILIANI AHMAD

Menarik untuk dicermati ungkapan bapak Presiden Joko widodo dalam sambutannya di momen ‘Takbir’ virtual nasional dan pesan Idul fitri dari masjid Istiqlal, pada Sabtu 23 Mei 2020 lalu. Jokowi berpesan kepada masyarakat dalam menghadapi pandemi ini agar menghadapinya dengan rasa ikhlas, taqwa dan tawakal. Jokowi pun juga mengharapkan agar upaya yang telah dilakukan dalam menghadapi pandemi mendapatkan ridho dari Allah dan menjadikan negara ini sebagai pemenang.

Ucapan serupa pun datang dari wapres Ma’ruf Amin di momen yang sama. Beliaupun mengingatkan agar masyarakat dapat memperkuat keimanan dan ketaqwaan agar dapat diberi keberkahan. 

Mendengar ungkapan para petinggi negeri ini tentulah hal yang demikian sangat kita apresiasi bahwa mereka berupaya mengajak masyarakat untuk menghadapi pandemi ini dengan bermodalkan keimanan dan ketaqwaan yang kokoh agar negara ini bisa selamat dari marabahaya wabah sekaligus menggapai ridho Allah.

Hanya saja mengajak umat kepada iman dan taqwa tidaklah cukup hanya berupa ajakan semata. Tetapi justru umat membutuhkan keteladanan sikap dan juga keteladanan pemimpin dalam mengambil kebijakan untuk mengurusi umat. Tentu saja keteladanan yang dimaksud disini adalah keteladanan yang berlandaskan syari’ah Allah. Keteladanan inilah yang sebetulnya ditunggu-tunggu dan diharapkan umat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dalam ruang lingkup kehidupan bernegara saat ini, kita dapat melihat betapa keteladanan dalam menuntun umat dikalangan petinggi dan pejabat negara masih sangat disayangkan. Kebijakan-kebijakan yang lahir untuk mengayomi umat adalah kebijakan-kebijakan yang tidak berlandas pada syari’ah. Syari’ah dianggap sesuatu yang harus dijauhkan. Bahkan kalau bisa urusan yang berbau syari’ah sedapat mungkin harus ditinggalkan. Kecuali jika mereka melihat ada kemanfaatan disitu seperti zakat yang bisa digunakan untuk menambal kebuntuan keuangan mereka dengan kebijakan yang diatur-atur agar sesuai sesuai dengan kepentingan mereka.

Menyikapi situasi pandemi saat ini, jika betul pemerintah ingin menjadikan modal iman dan taqwa untuk menghadapinya maka sudah selayaknya tataran syariah digunakan untuk menyelesaikan masalah. Syari’ah telah menjelaskan bahwa kebijakan yang harus dijalankan negara dalam menghadapi wabah adalah dengan melakukan mekanisme karantina. Sebagaimana Rasulullah SAW mengingatkan untuk tidak memasuki daerah yang sedang terjangkit penyakit dan tidak keluar dari daerah yang sedang tertimpa wabah. 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ

 Artinya, “Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh,” (HR Bukhari dan Muslim). 

Tak hanya itu, syari’ah Islam pun telah menggariskan selama masa karantina negara wajib menjamin terpenuhi segala kebutuhan pokok masyarakat terutama kebutuhan pangan. Sehingga dengan adanya kebijakan ini diharapkan masyarakat pun bisa menghadapi situasi pandemi dengan penuh rasa sabar dan juga mampu meningkatkan taqorrub masyarakat kepada Allah yang akan semakin mempertebal keimanan dan kataqwaan mereka.

Tetapi pada realitasnya, pensikapan terhadap wabah ibarat uap yang tersapu angin. Hanya sekedar slogan tapi tak pernah sesuai harapan. Salah satu motif yang sangat mendasar kenapa kebijakan tak berjalan adalah motif ekonomi. Ya, motif ini memang menjadi penyokong utama kenapa kebijakan yang dijalankan terkesan asal-asalan. Motif ekonomi perlu dijalankan agar para kapital tidak ngos-ngosan menghadapi keuangan mereka yang terjun bebas. Yang pada akhirnya kebijakan ini menjadikan rakyat yang harus menjadi tumbal. Misalnya saja kebijakan relaksasi transportasi ditengah kebijakan PSBB, pelaksanaan konser kenegaraan ditengah pandemi yang berakhir dengan tragedi komedi, atau bahkan kebijakan pembukaan mall untuk menstimulus ekonomi. 

Begitulah situasi kebijakan bernegera yang lahir dari pemikiran lemah manusia. Kebijakan yang melahirkan ketumpang tindihan antara kebijakan yang satu dengan kebijakan lainnya bahkan kadang kebijakan tersebut tidak menunjukkan kesatuan antara kebijakan pusat dengan kebijakan daerah.

Lantas modal taqwa seperti apa yang harus kita wujudkan agar masa pandemi ini bisa kita lewati dengan penuh kesabaran, keikhlasan, dan mampu menghantarkan keridhoan Ilahi?

Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, ''Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?'' Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi.
''Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?'' Orang itu menjawab, ''Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.'' Abu Hurairah cepat berkata, ''Itulah dia takwa!'' (HR Ibnu Abi Dunya).
Kata takwa, menurut HAMKA dalam tafsirnya, Al-Azhar, diambil dari rumpun kata wiqayah yang berarti memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT. Memelihara jangan sampai terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai-Nya. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang penuh lumpur atau duri.
Takwa, dengan demikian, tidak dapat diartikan sebatas takut kepada Allah SWT. Rasa takut kepada Allah SWT adalah bagian kecil dari takwa. Menurut HAMKA lagi, dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, dan sabar. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh. Bahkan, dalam kata takwa terkandung juga arti berani.
Itulah kandungan takwa yang diilustrasikan Allah SWT. ''Itulah Alquran yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Ia adalah petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Yaitu, mereka yang beriman kepada hal-hal gaib, mendirikan shalat, dan menyedekahkan sebagian harta yang mereka miliki dari rezeki Kami. Dan, juga mereka yang beriman dengan yang kami turunkan kepadamu wahai Muhammad, dan yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelummu. Mereka juga beriman kepada akhirat. Itulah mereka yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka. Dan, mereka itulah orang-orang yang beruntung.'' (QS Al-Baqarah: 2-5).

Maka, sudah selayaknya jika negara ini ingin mengharapkan keridhoan Allah, jadikanlah setiap kebijakan yang lahir di negara ini berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Kebijakan yang lahir dari sistem bernergara yang berlandaskan syari’ahNya. Begitupun juga, figur pemimpin pun harus berlandaskan keimanan dan ketaqwaan sebagaimana figur-figur yang pernah dimiliki Abu bakar Ash-shiddiq, Umar bin Khatab, Ali nin Abi thalib ataupun para khalifah-khalifah yang pernah menjalankan kepemimpinan Islam. Mereka adalah figur para pemimpin yang begitu takut kepada Allah, mereka tak pernah takut diintimidasi oleh kepentingan segelintir elit. Mereka tak pernah takut menghadapi imperium kafir untuk mendikte negara mereka. Mereka sangat menyayangi rakyatnya dan rakyat pun menyayangi mereka. Mereka adalah para pemimpin yang sangat menjaga nyawa rakyatnya ditengah ancaman apapun termasuk ancaman wabah penyakit. 
Hal yang demikian tentu sangatlah sulit ditemukan di alam demokrasi saat ini. Karena pilar demokrasi justru berupaya menjauhkan nilai keimanan dan ketaqwaan ditengah masyarakat dengan pilar-pilar kebebasan yang didengungkan oleh para pengemban dan pengusung demokrasi itu sendiri. Terlebih sistem ini telah banyak tersandera oleh kepentingan para pengusaha berbungkus pakaian penguasa. Bahkan sisitem ini pun sanggup untuk mengorbankan siapapun dan berapapun nayawa manusia hanya untuk memuaskan syahwat para kapital.

Maka tak lain dan tak bukan, jika kita ingin melewati masa ini dengan hasil yang berkah sudah saatnya mengembalikan kehidupan Islam secara kaffah dalam kedidupan bermasyarakat dan bernegara.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. 
Wallahua’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post