Libatkan Ribuan Aparat Demi Keberlangsungan New Normal, Sudah Tepatkah?

Oleh: Widya Astuti (Aktivis Dakwah Kampus)

Narasi new normal yang belakangan ini digaungkan, masih menjadi perbincangan hangat dikalangan semua pihak. Ada yang setuju dengan pemberlakuan new normal ini dan tak sedikit yang tidak setuju serta dinilai kurang tepat untuk dilakukan, mengingat kasus corona di Indonesia masih mengalami peningkatan. Ditambah lagi Indonesia dinilai belum memenuhi syarat-syarat yang dikeluarkan WHO agar bisa dilakukannya new normal. Jika tetap diberlakukan dengan kondisi Indonesia seperti ini maka akan menimbulkan resiko yang besar.

Dikutip dari Kompas.com, sebanyak 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota akan mulai melaksanakan new normal ini. Empat provinsi tersebut adalah Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Gorontalo. Namun, dilansir dari JernihNews.Com, Meski Sumbar akan menerapkan era new normal mulai Senin (08/06/2020), namun kasus tambahan warga yang positif terinfeksi virus corona masih terus ditemukan hingga hari Minggu (07/06/2020). Ada 8 orang yang positif terinfeksi. Rinciannya, 6 orang dari Padang, 1 orang dari Solok Selatan dan 1 orang lainnya dari Kabupaten Pasbar. "Total warga Sumbar yang telah terkonfirmasi positif sampai hari ini adalah 626 orang," kata Jasman Rizal, Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sumbar.

Melihat kondisi tersebut, lantas bagaimana bisa diberlakukan new normal padahal Indonesia masih mengalami penambahan korban yang terinfeksi virus, apakah tidak berbahaya?
Ditambah lagi pemerintah melibatkan ribuan aparat yang katanya untuk mendisiplinkan rakyat dalam keberlangsungan new normal. Yang mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan bergabung dengan Polri dalam pasukan berkekuatan 340.000 personel yang dikerahkan di sekitar mal, pusat transportasi, pasar, dan tempat-tempat berkumpul lainnya. Pengerahan personel TNI/Polri ini untuk memastikan masyarakat menerapkan protokol kesehatan pencegahan penularan virus corona. Langkah pencegahan itu di antaranya menggunakan masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.

Loh, kenapa yang dikerahkan aparat militer dengan jumlah yang banyak? Bukankah ini akan menjadi tidak normal ditengah masyarakat? Masyarakat bisa saja tertekan dengan adanya para aparat militer ditengah-tengah mereka serta akan menimbulkan kepanikan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta penasihat senior presiden Luhut Panjaitan mengatakan kepada Asia Times dalam sebuah wawancara telepon. “Orang-orang lebih menghormati militer daripada polisi.” Benarkah demikian?

Kepala Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar tak setuju dengan pelibatan aparat karena menurutnya itu justru membentuk situasi abnormal, bukan pengondisian kelaziman baru. Lebih jauh, hal demikian malah memperbesar potensi masuknya TNI ke ranah sipil dan berbuat sewenang-wenang. Sehingga dikhawatirkan keterlibatan mereka dalam penanganan COVID-19 menyusutkan kebebasan sipil.

Seperti yang terjadi pada kasus Justinus di Papua yang tewas setelah menghindari semprotan air dari water cannon milik personel gabungan Satgas COVID-19.

Kasus Justinus sebenarnya telah menjawab persuasi yang dilontarkan pemerintah, bahwa TNI akan mengedepankan edukasi bukan eksekusi. Pada realitasnya, TNI dan Polri membawa senjata dalam mengawasi masyarakat, hal demikian selain membuat panik warga, juga berpotensi besar kasus Justinus terulang.

Begitu pun alasan pemerintah menurunkan TNI dan Polri untuk mendisiplinkan warga yang masih saja susah diatur, menurut Rivanlee, itu hanyalah untuk “menutupi ketidaktegasan kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 selama ini.”

Pemberlakuan new normal dengan menurunkan aparat berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Karena sesungguhnya, pelanggaran rambu-rambu protokol kesehatan oleh masyarakat bukan hanya disebabkan kurangnya kesadaran mereka, namun juga disebabkan kebijakan pemerintah yang kontraproduktif.

Lihat saja, dari awal wabah corona masuk ke Indonesia, pemerintah terkesan tidak serius menanganinya. Kebijakan yang dikeluarkan berubah-ubah, tidak tepat sasaran, dan membuat bingung masyarakat. Awalnya semua pihak diminta untuk melawan virus Corona. Masyarakat dirumah saja, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, jaga jarak. Dijanjikan akan diberikan bantuan sembako dan lain-lain. Ya masyarakat patuh kok dengan himbauan tersebut, namun sayang yang dijanjikan kepada mereka tidak sesuai atau tidak mencukupi disertai dengan administrasi yang berbelit-belit. Tentu saja hal ini membuat kecewa masyarakat terhadap pemerintah, dan terpaksa mereka harus melanggar dengan keluar rumah agar tetap bertahan hidup meski harus bertaruh nyawa dengan virus Corona yang semakin mengganas.

Katanya mau melawan virus Corona, tapi kok kebijakan diambil malah PSBB bukannya lockdown. PSBB diberlakukan untuk masyarakat, tpi kok untuk TKA tidak, malah TKA dibiarkan beroperasi di Indonesia. Katanya mau memutus mata rantai penyebaran virus, lah ini malah memberikan peluang penyebaran.

Dan kini, muncul istilah damai dengan Corona atau new normal dari pemerintah. Ya seperti pemerintah pasrah dan lepas tangan dari tanggung jawabnya. Pemerintah lebih mengutamakan penyelamatan ekonomi dibandingkan penyelamatan nyawa rakyat. Rakyat dibiarkan berdamai dengan corona, padahal hal ini membahayakan mereka.

Nah wajar saja masyarakat seperti tidak peduli dengan himbauan pemerintah dan terlihat susah diatur. Karena bagi mereka di rumah ataupun keluar rumah pun mereka, yang pemerintah tetap fokus dengan penyelamatan ekonomi bukan nyawa mereka. Istilah "Indonesia terserah" juga muncul sebagai bentuk kekecewaan banyak pihak terutama tenaga medis terhadap kondisi Indonesia yang buruk dalam menangani covid-19. Tenaga medis capek menangani korban yang terus bertambah bahkan alat-alat medis pun tak mencukupi, masyarakat masih banyak yang tidak mengindahkan himbauan protokol kesehatan, ditambah kebijakan pemerintah yang malah sebenarnya memberikan peluang besar tersebarnya virus dengan pelonggaran PSBB, dan ditambah sekarang kebijakan new normal.

Telah banyak pakar yang menjabarkan bagaimana kondisi Indonesia saat ini. Begitu pun berbagai langkah telah disarankan para pakar untuk bisa menahan laju penularan virus serta bagaimana seharusnya sikap pemerintah agar Indonesia mampu keluar sebagai pemenang dalam pertarungan melawan corona. Namun sepertinya pemerintah abai. Pengabaian terhadap suara pakar adalah bentuk pelecehan terhadap sains. Begitu pun acuhnya pemerintah terhadap suara ormas yang merupakan representasi umat adalah bentuk pengabaian pemerintah terhadap aspirasi rakyatnya. Lantas pemerintah berjalan berdasarkan suara siapa?

Jika dilihat, selama ini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah banyak yang tidak pro rakyat. Padahal katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi realitas nya tak menunjukkan demikian. Rakyat banyak yang terdzolimi. Rakyat tak diurusi dengan baik. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri. Ketika banyak dari rakyat meminta lockdown sebagai solusi wabah pandemi, malah pemerintah memberlakukan PSBB hingga sampai pada pilihan new normal. Ya hal ini tentu atas pertimbangan ekonomi. Jika pemerintah mengambil langkah lockdown maka negara harus siap memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Namun masalah nya negara tak mampu melakukannya, lagi-lagi karena pertimbangan ekonomi. Untuk rakyat, pemerintah mikir dua kali. Tapi kalau untuk para kapitalis (pemilik modal) kok segera dipenuhi? 

Solusi dari para pakar pandemi tidak didengar, suara ormas besar yang menjadi representasi umat pun tak dijadikan pertimbangan. Malah menurunkan aparat yang justru akan menyebabkan permasalahan baru terhadap kehidupan sosial masyarakat. Ditambah negara-negara yang menerapkan new normal banyak mengalami kegagalan.

Maka sudah bisa dipastikan, jika rencana new normal ini tetap diberlakukan. Semakin jelas menunjukkan pada kita bahwa kebijakan pemerintah dikendalikan oleh para kapitalis. Seluruh kebijakannya bukan didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan publik yang didukung sains dan suara publik.

Di dalam Islam, pemerintah berjalan di bawah aturan Islam dan tak dikangkangi para pengusaha. Seluruh kebijakannya independen, berfokus pada kemaslahatan umat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar saat menghadapi wabah Tha’un di Syam pada tahun 18 H. Gubernur Syam, Abu Ubaidah menyampaikan telah terjadi wabah di kotanya.

Khalifah Umar pun tak tergesa-gesa memberikan keputusan. Perdebatan antara memasuki wilayah wabah atau tidak, Khalifah Umar mendengarkannya dengan saksama lalu memutuskan setelah benar-benar yakin akan kejelasan perkara dan solusinya.

Setelah itu datang Abdurahman bin Auf dan membenarkan keputusan Umar yang tak memasuki wilayah Damaskus, dengan menyampaikan hadis Rasul. Abdurahman bin Auf berkata, “Saya tahu tentang masalah ini. Saya pernah mendengar Rasulullah (Saw.) bersabda, ‘Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya.’”

Setelah Gubernur Syam Abu Ubaidah meninggal, disusul penggantinya, Muadz Bin Jabal pun wafat akibat wabah. Setelah itu digantikan oleh Amar bin Ash, seorang sahabat Rasul yang terkenal akan kecerdasannya. Di tangan Amar bin Ash lah, wabah mereda.

Khalifah Umar pun mendengarkan Amar bin Ash sebagai pakar dalam menghadapi pandemi dan menginstruksikan pada rakyatnya yang ada di Syam untuk mengikuti kebijakan Amar bin Ash dengan maksimal.

Amr bin Ash berkata, “Wahai manusia sesungguhnya wabah ini seperti api yang menyala-nyala dan manusia yang berkumpul ini bahan bakarnya. Kayunya semakin berkumpul (manusia) maka semakin keras, dan cara mematikan api ini harus dipisah. Maka berpencarlah ke gunung-gunung.”

Khalifah Umar senantiasa mendengarkan suara umat dan juga suara pakar. Pun jika menurunkan militernya, untuk membantu masyarakat dalam hal memenuhi kebutuhan pokoknya. Sungguh, peradaban kapitalisme tak akan mampu melahirkan sosok pemimpin seperti Umar yang kebijakannya senantiasa berporos pada kemaslahatan umat.

Post a Comment

Previous Post Next Post