Kesetrum Tarif Listrik

Oleh: Sri Purwanti, Amd.KL
Pegiat Literasi 

Sudah jatuh tertimpa tangga, peribahasa itu cocok untuk mengambarkan kondisi masyarakat saat ini. Pandemi Covid-19 yang telah berhasil memporak-porandakan sendi kehidupan, menyebabkan banyak masyarakat  kehilangan pekerjaan (PHK).  Dampaknya  masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Namun ternyata masyarakat harus menerima kejutan baru berupa kenaikan tarif listrik yang meningkat drastis. Hal ini tentu membuat masyarakat syok.

Dilansir dari liputam6, 15/6/2020, Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim mengatakan bahwa kenaikan tagihan listrik yang harus dihadapi oleh  banyak pelanggan PLN bisa membuat posisi konsumen semakin tersudut. Fenomena lonjakan listrik ini akan memperburuk inferior konsumen, sehingga perlu adanya rekomendasi atau prespektif dari sisi perlindungan konsumen.
Jika kita melihat fakta diatas tentu merasa miris. Indonesia adalah negeri yang kaya dengan sumber daya energi fosil (minyak, gas, batubara). Akan tetapi masalah tarif listrik seolah menjadi menu yang selalu dihidangkan kepada masyarakat. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar, mengapa semua ini bisa terjadi?

Mahalnya tarif dasar listrik terjadi karena liberasasi ketenagalistrikan. Liberalisasi layanan listrik ini terjadi ketika pihak swasta mulai di perkenankan turut serta dalam bisnis pengelolaan listrik, hal ini  ditandai dengan keluarnya Kepres No.37 tahun 1992. Kepres  ini membuka pintu yang lebar bagi pihak swasta untuk membangun pembangkit baru.

Liberalisasi ini diperkuat dengan UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Tindakan unbundling (pemecahan fungsi) yaitu fungsi pembangkit, transmisi, dan distribusi  sampai kepada konsumen bisa dilakukan oleh pihak swasta.

Jadi sebetulnya  PLN bukan  satu-satunya pihak yang bertanggungjawab terhadap masalah kelistrikan. Karena mata rantai sektor kelistrikan terdiri dari sektor hulu dan hilir. Sektor hulu meliputi penyediaan tenaga listrik (pembangkitan), penyediaan energi primer (bahan bakar). Sedangkan untuk menjaga mesin pembangkit di perlukan penunjang di bidang pengelolaan dan pemeliharaan pembangkit.

Sementara itu untuk memperlancar pasokan energi primer (batubara, gas) dari sumber ke pembangkit  di perlukan penunjang dari bidang transportasi (PLN dan swasta). Transportasi kelistrikan berupa gardu induk dan transmisi jaringan.

Terbitnya UU No. 04 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU minerba) telah menjadikan sumber energi primer dikuasai oleh asing, sementara pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Pengelolaan sumber daya di serahkan kepada mekanisme bisnis, sehingga sumber energi yang seharusnya bisa menopang kelistrikian dalam negeri  justru di impor keluar. Dampaknya listrik semakin mahal mekipun bahan baku penyediaan tenaga listrik melimpah ruah.

Lalu bagaimana Islam mengatur masalah energi listrik? Dalam Islam listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori api (energi) yang kepemilikannya menjadi milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. Yang artinya “ Masyarakat berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (hutan), air, dan api (energi)’’ (HR Ahmad).

Sumber energi yang digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, baik PLN maupun swasta juga berasal dari tambang (migas, batubara yang notabene juga termasuk dalam kepemilikan umum.
Dengan demikian, pengelolaan listrik seharusnya tidak boleh di serahkan kepada pihak swasta dengan alasan apapun. Negara yang bertanggung jawab untuk mengelola dan menyalurkan listrik kepada masyarakat , sehingga kebutuhan listrik terpenuhi secra merata baik dari segi kuantitas maupun kualitas dengan harga yang murah bahkan gratis.

Prinsip pengelolaan ini akan mencegah terjadinya krisis energi listrik, maupun kenaikan tarif dasar yang semakin melambung setiap saat. Maka sudah selayaknya kita mengunakan solusi alternafit yang ditawarkan oleh Islam sehingga masalah mahalnya tarif dasar listrik akan teratasi. Masyarakat pun tidak perlu resah akan kesetrum  tarif listrik yang selalu naik setiap waktu.

Wallahu a’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post