Kemustahilan Adil dalam Sistem Demokrasi Kapitalis

By : Susmiyati, M.Pd

Nama Bintang Emon tiba-tiba menemuka di komunitas netizen. Komika ini mendadak viral, menyusul unggahan videonya berkait kasus tentang tuntutan Jaksa penuntut umum (JPU) menyangkut kasus penyiraman terhadap Novel Baswedan.

Katanya enggak sengaja, tapi kok bisa, sih, kena muka? Kan, kita tinggal di bumi, gravitasi pasti ke bawah. Nyiram badan enggak mungkin meleset muka,” kata Bintang Emon membuka videonya.

Bintang Emon hanyalah salah satu dari warga yang geram terhadap kasus hukum menyangkut dua oknum polisi pelaku tindak kriminal  ini. Pasalnya, bila dibandingkan kasus penyiraman air keras sebelumnya, tuntutan jaksa atas pelaku sangatlah ringan. Ironisnya lagi, untuk mengungkap pelaku penyiraman ini, kepolisian RI memerlukan waktu hingga tiga tahun, terhitung sejak insiden keji ini terjadi. Sebuah kinerja yang sulit untuk dinilai berhasil.

Sedikit menengok ke belakang, kita akan melihat perbandingan yang mencolok. Pada Juni 2018, insiden penyiraman air keras oleh Ruslam terhadap istri serta mertuanya membuatnya diganjar 10 tahun penjara. Pada Oktober 2018, terjadi penyiraman air keras oleh Rika Sonata terhadap suaminya. Jaksa menuntut dengan pidana 10 tahun penjara. Namun, Majelis Hakim memvonis  12 tahun penjara. Kemudian pada 12 Juli 2019, terjadi kasus  penyiraman air keras yang dilakukan oleh Heriyanto terhadap istrinya hingga tewas. Jaksa menuntut pelaku dengan pidana 20 tahun penjara. Tuntutan itu dikabulkan Majelis Hakim PN Bengkulu.

Hal yang tak wajar telah terjadi pada kasus serupa dengan korban Novel Baswedan. Apalagi posisi korban kali ini merupakan pejabat negara, seorang penyidik senior KPK. Adapun pelaku adalah oknum polisi. Jaksa penuntut umum, Ahmad Patoni, memberi alasan atas tuntutan yang sangat ringan ini, karena pelaku tidak sengaja melukai bola mata Novel  dengan air keras. Menurut jaksa, terdakwa hanya berniat memberi pelajaran karena korban, karena telah menghancurkan institusi kepolisian Indonesia. Jaksa beralasan tuntutan setahun, lebih rendah dari ancaman pasal yang digunakan, karena terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap kooperatif, dan telah meminta maaf kepada keluarga Novel Baswedan. (www.Tirto.id, 2020/6/13).

Logika jaksa dengan ringannya tuntutan hukuman ini sesungguhnya telah mencederai  akal sehat. Bagaimana bisa dikatakan tidak sengaja, sementara si pelaku jelas menyerang korban? Indikasinya jelas, yaitu tindakan hina itu mengambil waktu subuh. Belakangan terungkap dari tetangga Novel, bahwa dua hari sebelumnya mereka melihat aksi pengintaian terhadap rumah korban. (https://www.tribunnews.com/nasional/2020/06/21). 

Akal yang sehat akan menyodorkan bantahan untuk alasan  ‘Tidak Sengaja’ ini. Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, paling tidak ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan menyangkut bantahan ini. Pertama adalah niat. Tidak mungkin orang bangun subuh-subuh jika tidak punya niat. Apalagi, pelaku sengaja membawa air keras untuk menyiram tubuh dengan motif dendam. 

Lalu,  alat yang digunakan untuk melakukan penganiayaan adalah zat yang berbahaya. Air keras setara dengan benda-benda tajam seperti pistol, pisau, dan lainnya. Dalam  kasus ini, korban mengalami cacat permanen alias buta dan mata kanannya tinggal 60% penglihatan. Berikutnya adalah status  sasaran. Korban merupakan petugas negara yang sedang menjalankan tugas yang tidak remeh, yaitu pemberantasan korupsi yang menjadi penyakit akut di negeri ini. (https://wow.tribunnews.com/2020/06). Empat hal di atas sangat cukup untuk menolak alasan ‘tidak sengaja’ ini.

Kemustahilan Keadilan dalam Sistem Demokrasi

Kasus  ini terbilang berat, mengingat tindak penganiayaan itu mengakibatkan korban kehilangan  fungsi organ penglihatan. Memandang kasus kriminanal ini dengan tuntutan hukuman hanya satu tahun penjara, menunjukkan bahwa jaksa itu menganggapnya sebagai kasus yang remeh. Bila  kemudian hakim memutuskan tuntutan ini, akan membawa bahaya bagi edukasi di masyarakat. Sebab kasus serupa akan mudah terulang, mengingat hukumannya tidaklah berat. Hal ini akan mengancam keamanan di lingkungan masyarakat.

Orang-orang yang berpandangan demikian, bisa jadi memiliki nilai keadilan yang kerdil dalam menyikapi sebuah kasus hukum. Sebuah realitas yang mengerikan, sebab insan peradilan yang selayaknya bersikap objektif dan tidak memihak akan menjadi langka adanya. 

Merujuk pada  Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil bermakna sama berat, tidak memihak, berpihak pada kebenaran, dan berpegang pada kebenaran. Adapun adil menurut Islam adalah proporsional, tidak berat sebelah, jujur. Adil dalam konsep islam bermakna sebagai lawan kedholiman. Berlaku tidak adil, akibatnya adalah terjadinya kedholiman.

Kasus Novel merupakan contoh ketidakadilan hukum yang terjadi di negeri penganut demokrasi. Rekam jejak ketidakadilan hukum bisa dengan mudah kita temukan dalam jejak digital pemerintahan saat ini dalam memandang persoalan hukum. Tak bisa dipungkiri, kepercayaan publik terhadap Polri tengah menurun. Lembaga penegak hukum itu dinilai tebang pilih dalam memproses hukum seseorang. Hukumcenderung tajam terhadap pihak yang kontra pada penguasa. Tumpul bila berhubungan dengan para pendukung rezim. 

Demikianlah, mendapatkan keadilan dalam saat ini kian menjadi sebuah kemustahilan. Sebuah utopia keadilan dalam sistem demokrasi kapitalis, di mana hukum yang ada tak bisa diharapkan menjadi jalur untuk mendapatkan keadilan. Sebaliknya, hukum lebih dijadikan alat pemukul bagi kekuasaan. Menggunakan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan adalah hal biasa dalam negara demokrasi. Sebab, tak ada niat murni dan suci dalam demokrasi. Semua hal dalam demokrasi penuh intrik dan gimmick  politik alias tipu-tipu. Demokrasi dengan slogan dari, oleh dan untuk rakyat, hanyalah jargon yang tak mungkin terealisasi.

Kasus Novel kian menguak betapa buruknya penerapan prinsip keadilan dalam sistem demokrasi. Hukum buatan manusia memang memiliki sifat yang lemah dan terbatas, sebagaimana karakter pembuatnya. Hukum buatan manusia juga membuka peluang direkayasa sesuai kepentingan. Pada akhirnya nilai keadilan menjadi tidak pasti. Adil menurut siapa, tergantung siapa yang menilai dan siapa yang punya kepentingan.

Efektifitas Sistem  Sanksi dalam Islam

Berbeda dengan pandangan demokrasi,  keadilan dalam pandangan Islam ditunjang oleh prinsip berikut. Pertama, meniadakan perspektif kacamata manusia dan menyandarkan penilaian Allah Ta’ala sebagai pembuat hukum. Saat hukum Allah  diterapkan, akan terwujud keadilan yang jauh dari politik kepentingan. Sedangkan peran manusia hanya seebagai pelaksana atau penegak dari sistem sanksi itu. 

Kedua, kerusakan salah satu organ tubuh manusia dikategorikan sebagai sanksi jinayat. Penyerangan terhadap Novel  hingga hilangnya fungsi dari organ penglihatan termasuk dalam perkara  jinayat. Sanksinya adalah dengan diyat atau denda yang kadarnya yang ditetapkan syariat Islam. Untuk  satu biji mata dikenakan ½ diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. Dalam riwayat Imam Malik dalam Muwattha’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda, “Pada satu biji mata, diyat-nya 50 ekor unta.”

Selain itu, sistem sanksi dalam islam mengandung efektifitas yang tinggi. Karena pelaksanaan hukuman  ini memiliki fungsi sebagai zawajir dan jawabir. Zawajir artinya pencegah, dimana hukum tersebut diterapkan untuk mencegah individu  dari tindakan kejahatan. Sanksi berat yang dijatuhkan bagi pembunuh yang melakukannya dengan sengaja, akan membuat orang  tidak akan berani melakukan tindakan kriminal ini, karena ia akan bertemu dengan kematian. Hal itu merupakan penerapan dari firman Allah swt,

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al- Baqarah ayat 179).

Penegakan sistem dengan  fungsi sebagai jawabir bermakna sebagai  penebus. Dikarenakan,  ‘uqubat atau sanksi dalam islam dapat menembus sanksi akhirat. Artinya, sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia. Hal ini sebagaimana yang dikhabarkan dalam hadist Rasulullah saw:

“Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja yang menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggar kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman di dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka akan memaafkannya.” (H.R Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit).

Sistem Hukum Islam sebagai penebus inilah yang tidak akan ditemui dalam sistem Kapitalis saat ini. Sebaliknya, sistem hukum kapitalis seluler akan menjauhkan visi kehidupan di akhirat dari urusan sistem sanksi atau pidana, urusan kemasyarakatan yang lain. Maka tidak heran jika Sistem Hukum Islam diterapkan, orang yang pelaku kriminal akan  menyerahkan diri dengan kesadarannya. Karena mereka meyakini ada siksa di akhirat jauh lebih berat bila ketimbang  hukuman dunia.

Dua fungsi sebagai pencegah dan penebus ini membuktikan betapa Islam menempatkan penjagaan terhadap nyawa, jiwa, anggota badan, harta, rasa aman, dan keadilan. Begitulah prinsip keadilan dan penegakan hukum dalam Islam. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam skala negara, keadilan bakal terealisasi dan kedholiman menghilang. Penerapan Islam oleh negara inilah yang akan merealisasikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lamu.

Post a Comment

Previous Post Next Post