Kado Pahit Kenaikan Tarif Listrik


Oleh: Dian Novita K

Ditengah wabah yang masih mengganas, lagi-lagi rakyat disuguhi berbagai kebijakan yang menyengsarakan dan zalim. Mulai lambannya pemerintah menangani wabah, inkonsistensi berbagai kebijakan, seretnya bantuan kepada rakyat terdampak, kurangnya proteksi pada tenaga kesehatan hingga narasi damai dengan bahaya (Covid-19).

Beban hidup  semakin sulit karena rakyat mendapat hadiah  berupa melambungnya iuran BPJS, harga BBM yang tidak turun kala harga BBM dunia mengalami penurunan, wacana baru tentang tabungan perumahan rakyat (Tapera), maraknya kriminalitas, meningkatnya kasus KDRT akibat tekanan ekonomi.

Baru-baru ini masyarakat mengeluhkan soal tagihan listrik yang kian membengkak. Masyarakat memperkirakan adanya kenaikan tarif listrik secara diam-diam atau ada subsidi silang yang diterapkan untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA.

Merespons keluhan-keluhan tersebut, PT PLN (Persero) angkat suara. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril memastikan seluruh anggapan itu tidak benar. PLN tidak pernah menaikkan tarif listrik karena bukan kewenangan BUMN. Menurut Bob kenaikan tarif ini murni disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang dilakukan di rumah dibandingkan kegiatan sebelumnya pada era normal. (detikFinance, 5/06/20)

Sebagai solusi, PLN telah menyiapkan skema perlindungan lonjakan tagihan untuk mengantisipasi lonjakan drastis yang dialami oleh sebagian konsumen, akibat pencatatan rata-rata tagihan menggunakan rekening tiga bulan terakhir. Yaitu lonjakan yang melebihi 20% akan ditagihkan pada bulan Juni sebesar 40% dari selisih lonjakan, dan sisanya dibagi rata tiga bulan pada tagihan berikutnya.(CNBC Indonesia, 06/06/20)

Meskipun pemerintah beralasan bahwa kenaikan tarif listrik karena banyaknya penggunaan selama masa PSBB, harusnya tetap mempertimbangkan kondisi masyarakat. Saat ini masyarakat dalam  kondisi sulit, karena tingginya biaya hidup dan tidak sedikit yang terkena PHK sebagai dampak pandemi. Namun solusi yang diberikan pun akhirnya membuat masalah baru yang semakin ruwet.
Pada dasarnya kenaikan tarif dasar listrik bukanlah hal baru, bahkan hampir terjadi tiap tahun. Hal ini disebabkan oleh liberalisasi sektor ketenagalistrikan. Tepatnya sudah dimulai sejak UU Ketenagalistrikan No. 20 tahun 2002 disahkan. Salah satu pasalnya mengatur soal unbundling vertikal, yang memisahkan proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha, yaitu pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan tenaga listrik.

Komersialisasi (liberalisasi) ini dilanjutkan dengan sahnya Undang-undang No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Dan diperkuat oleh UU kelistrikan terbaru, yang diluncurkan dan implementasinya diperkuat dengan Perpres 44/2016. Adanya peluang pihak  swasta untuk berkolaborasi dan berinvestasi pada bidang usaha ini, membuat negara minim peran dan hanya  sebagai regulator yang membuat kebijakan antara para investor/ swasta dengan para konsumen/rakyat. Negara hanya bertindak sebagai mediasi yang membuat kebijakan dan mengatur pasar para investor tanpa turun langsung menanganinya.

Jika kita menilik lebih jauh lagi, dalam konstelasi sistem kapitalisme, kenaikan TDL merupakan hal wajar. Hal ini adalah dampak dari proses swastanisasi dan privatisasi yang merupakan pesanan IMF yang tertuang dalam Letter Of Inten yang ditandatangani tanggal 31 Oktober 1997. Pada butir 41 dinyatakan bahwa Pemerintah RI berjanji untuk memprivatisasi sektor pelayanan publik
Setelah itu dibuatlah skenario untuk meloloskan pesanan IMF tersebut melalui Kementerian Pertambangan dan Energi yang kemudian menerbitkan “Buku Putih” pada Tahun 1998, yang isinya adalah roadmap liberialisasi ketenagalistrikan melalui tahapan Unbundling, Profitisasi dan Privatisasi. Jadi walaupun namanya masih PLN, tapi kebijakan penentuan harga listrik dilakukan oleh swasta.

Kekayaan alam Indonesia berupa pertambangan yang melimpah pun justru jatuh pada tangan-tangan para kapitalis. Sehingga rakyat harus membayar mahal kebutuhan energi listrik ini. Besarnya peluang para kapitalis untuk menanamkan investasinya membuat negara kewalahan dan menihilkan peran sebagai penguasa utama. Mahalnya mahar kampanye pun membuat kedaulatan negara tergadaikan kepada para cukong kapitalis. Berujung pada pembuatan UU yang sarat akan kepentingan asing dan aseng. Bahkan ditengah keputusasaan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19, pemerintah pun tetap menaikkan tagihan listrik dengan berbagai dalih dan alasan.
Dari kasus diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa problem utama penyebab naiknya tarif listrik adalah kebijakan ekonomi pemerintah neoliberal yang berasaskan kapitalisme sekuler. Kebijakan yang menihilkan peran negara secara langsung dalam menangani dan mengelola SDA telah membawa kemudharatan bagi seluruh rakyatnya. Akibatnya rakyat harus membayar mahal fasilitas negara yang seharusnya bisa didapat secara gratis.
Demikianlah jika sebuah negara menganut dan menerapkan sistem kapitalis sekuler. Kedaulatan yang harusnya ada di tangan syariah justru diserahkan kepada manusia dengan asas koorporasi. Menafikan peran Allah Swt sebagai pencipta dan pembuatan aturan merupakan bentuk kemaksiatan yang besar.

Syariah Islam Menuntaskan
Sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu sektor strategis dan utama dalam kehidupan masyarakat. Artinya sektor primer ini harusnya dikelola langsung oleh negara tanpa ada campur tangan asing maupun swasta dalam hal pengelolaan, mekanisme distribusi, penyediaan sarana prasarana hingga pengembangan teknologinya.

Hal ini sejalan dengan konsep Islam. Dimana khalifah sebagai wakil umat, harus turun langsung menangani dan mengelola kebutuhan primer rakyat berupa kebutuhan sandang, papan, pangan, keamanan, kesehatan, pendidikan, transportasi, komunikasi termasuk didalamnya sektor ketenagalistrikan tanpa melibatkan pihak swasta apalagi asing/aseng. Rasulullah saw bersabda,
“Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembalaan, air, dan api.” (HR Ibn Majah)
Melalui konsep inilah, Islam mengharamkan negara mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum tersebut, apalagi diserahkan kepada pihak swasta asing. Jika pun rakyat sampai harus membayar listrik, hal itu hanya sekadar untuk menutupi biaya operasional atau biaya produksi tanpa harus membayar biaya keuntungan (Ab-durrahman al-Maliki, as-Si-yasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla). 

Sebagai contoh, bukti majunya peradaban Islam ialah pada masa Khalifah Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibu kota Andalusia, pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Ada sebuah masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, yang setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak.(al-waie.id, 1/12/2017)

Oleh karena itu, negara  seharusnya tidak menjadikan listrik sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan sekehendak tuan pada rakyatnya, apalagi memberi kesempatan kepada pihak swasta/asing untuk menguasai sektor  tersebut. Sebab hal tersebut bisa mengalihkan tanggungjawab negara kepada rakyat sebagai pihak yang wajib mengelola listrik. Terlebih, jikalau benar ada tindakan penggelembungan tagihan listrik, hal itu sudah tentu merupakan kebijakan zallim dan sangat merugikan rakyat. 
Wallahu 'alam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post