Jelang Tahun Ajaran Baru, Bagaimana Nasib Pendidikan Anak?

Oleh: Ernawati, A.Md 
(Anggota Forum Muslimah Kota Banjarbaru)

Wacana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) yang merencanakan pembukaan kembali sekolah di zona hijau Covid-19 pada pertengahan Juli 2020 mendatang diminta dikaji ulang. Pasalnya hal tersebut dinilai terlalu berisiko di tengah pandemi.  

Adanya keresahan di masyarakat, terutama para orang tua dan guru sangatlah beralasan. Terlebih data penambahan orang yang terinfeksi virus masih terus bertambah, terakhir total positif Covid-19 telah menembus angka 23.851 kasus dan yang meninggal 1.473 (Rabu/27/5). Penambahan kasus perharinya di Indonesia masih tinggi, masih ratusan angkanya bahkan per 21 Mei angkanya menembus 973 kasus. Khusus data anak yang positif Covid-19 pun cukup tinggi. 

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melakukan pendataan secara mandiri per tanggal 18 Mei 2020 dan didapatkan data pasien dalam pengawasan (PDP)  sebanyak 3.324 anak dan 584 anak terkonfirmasi positif Covid-19. Sementara ada 129 anak berstatus PDP meninggal dan 14 anak meninggal akibat Covid-19. Kasus kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia berkisar 1,1 persen dari total kematian dengan kisaran usia 0 – 14 tahun. Untuk di Asia Tenggara Indonesia disusul Filiphina 1,7 persen dari total kematian yaitu 15 anak dengan kisaran usia 0 – 19 tahun. Di dunia rata-rata untuk kasus kematian anak masih di bawah satu persen bahkan ada yang nol persen untuk kematian. 

Dengan memperhatikan data ini, tentu kekhawatiran sejumlah pihak sangat beralasan. Bahkan ketua IDAI, Aman Bhakti Pulungan mengatakan angka kematian anak di Indonesia sudah tinggi akibat penyakit pneumonia. Kalau anak terinfeksi Covid-19, besar kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri penyebab pneumonia. Aman meminta pemerintah memperhatikan faktor itu, karena Indonesia bisa lost generation (kehilangan generasi muda) kalau keadaan ini dibiarkan. (Kompas.com) 

Terkait dengan kekhawatiran dan berbagai respon dimasyarakat, KPAI berencana akan mengadakan survei dengan menyasar orang tua, guru dan anak sebagai respondennya untuk mengetahui pandangan masing-masing pihak soal rencana pembukaan kembali sekolah. Survei itu baru akan dilakukan pada akhir Mei awal Juni 2020.

Namun baru-baru ini, survei uji coba telah dilakukan oleh Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti melalui akun facebook pribadinya. Survei dibuat pada Jumat (22/5/2020) sekitar pukul 12.00 WIB. Kepada Kompas.com, Retno menyampaikan hasil survei uji coba yang dibuatnya setelah enam jam diunggah dan mendapat 87 respons dari nitizen yang merupakan guru, orang tua dan tenaga kesehatan. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia, diantaranya Batam, Bengkulu, Jambi, kota Padang, Bukit Tinggi, kota Medan, Tapanuli Utara, kota Bogor, kabupaten Bogor, kota Bandung, kabupaten Bandung, kabupaten Magetan, kota Surabaya, kota Makassar, Bolmok Utara, dan lain-lain, jelas Retno (23/5/2020) 

Dari hasil survei uji coba yang dilakukannya itu, 71 persen responden menyatakan tidak setuju terhadap rencana pembukaan ini karena berbagai alasan. Mayoritas mereka tidak setuju karena melihat angka positif Covid-19 di Indonesia masih sangat tinggi. Mereka lebih mementingkan keselamatan anak dan guru. Dan tidak memilih untuk mengambil risiko untuk berdamai dengan virus sebagaimana disampaikan pemerintah. 

Berdamai dengan corona atau istilah trennya New Normal Life adalah konsep yang ditawarkan atau lebih tepat dipaksakan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19. PBB mencanangkan konsep ini dalam artikel tanggal 27 April 2020 pada lamannya yang bertajuk: “A New Normal: UN Lays out roadmap to lift economies and save jobs after Covid-19.” Dinyatakan bahwa “kondisi normal lama" tidak akan pernah kembali, sehingga pemerintah harus bertindak menciptakan ekonomi baru dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak."
(www.un.org>coronavirus) 

Terlihat jelas bahwa solusi yang ditawarkan berpijak pada ekonomi, karena saat ini dunia diatur dengan sistem kapitalis sekuler. Sifatnya sebagai konsep kapitalistik tentunya hanya bermuatan nilai materi sebagai satu-satunya nilai yang diakui, meski kesehatan dan keselamatan jiwa jutaan orang taruhannya. Tidak heran jika masyarakat berpendapat negara menerapkan herd immunity (kekebalan kelompok), dengan membiarkan masyarakat beraktifitas kembali meski dengan melaksanakan protokol kesehatan, karena tidak ada jaminan masyarakat akan aman dari virus ini. Konsep herd immunity mengharuskan virus menginfeksi sedikitnya 70 persen populasi. Orang yang memiliki daya tahan yang kuat akan bertahan sedangkan yang lemah akan menjadi korban. Konsep ini benar-benar menihilkan nilai moral dan kemanusiaan.

Tentunya kekhawatiran masyarakat terhadap keselamatan jiwa anak adalah perkara yang wajar. Dan meminta agar pemerintah mengkaji ulang terkait kegiatan belajar mengajar di sekolah. Di sebagian kalangan masyarakat lebih memilih keselamatan jiwa anaknya sekalipun harus mengorbankan pendidikan anak mereka. Sebagian masyarakat pun mempertanyakan konsep New Normal ini untuk diterapkan di Indonesia, tepatkah atau ada solusi lain?

Hanya Khilafah Pelindung Generasi

Islam memandang eksistensi anak dan generasi muda sangatlah penting dalam membangun dan menjaga sebuah peradaban. Maka Islam sangat memperhatikan anak dan generasi muda begitu detil dan komprehensif. Perhatian Islam kepada anak berupa jaminan hak keberlangsungan hidup anak yang meliputi: hak nafkah, penyusuan, pengasuhan, kesehatan, pendidikan, larangan aborsi dan perlindungan dari kekerasan dan hal-hal yang membahayakan fisik, akal dan mental anak. 

Ada pula jaminan terhadap penjagaan nasab (keturunan), yaitu berupa perwalian, mahrom dan waris. Islam juga memberikan perhatian terhadap penjagaan fitrah anak sebagai hamba Allah, dengan menjaga aqidah mereka melalui pengaturan adopsi, pernikahan dan sanksi terhadap prilaku murtad. Dengan aturan dan piranti hukum yang terperinci tersebut, maka nasib anak-anak dan generasi muda sungguh akan terjaga. Mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang memiliki fisik yang kuat, mental yang sehat dan kepribadian yang tangguh dan mulia. 

Islam pun mengatur sinergis antara tanggungjawab orang tua, masyarakat dan negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya akan kebutuhan pokok yang dijamin pemenuhannya oleh negara kepada seluruh warga negara. Kebutuhan itu meliputi: pendidikan di sekolah, pelayanan kesehatan dan keamanan. Hal ini merupakan pelaksanaan kewajiban negara kepada rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.  
“Imam (pemimpin, kepala negara) adalah bagaikan penggembala, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya" (HR Ahmad, asy-Syaikhan, at-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Ibnu Umar)

Maka, negara di dalam Islam (khilafah), tidak akan mengabaikan hak-hak warga negaranya dari anak-anak sampai yang dewasa, semua akan diayomi dan diperhatikan, karena pertanggungjawaban pemimpin tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Khalifah dalam mengayomi dan mengelola urusan rakyatnya hanya akan berpegang kepada syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah. Dan tidak akan membebek kepada negara barat ataupun timur dalam mengambil kebijakan strategis. 

Ketika terjadi wabah penyakit di wilayah kekhilafahan, maka khalifah akan mengatasi dengan merujuk pada syariah yaitu mengkarantina wilayah tersebut. Khalifah akan memenuhi segala kebutuhan seluruh warganya yang dikarantina supaya tidak melakukan pergerakan sehingga tidak terjadi penularan ke wilayah lainnya. Untuk yang sakit ditangani dengan optimal dengan mengerahkan tenaga kesehatan terbaik dengan menyiapkan segala fasilitas pendukung sehingga wabah dapat tertanggulangi dengan segera dan seminimal mungkin sampai jatuh korban. 

Untuk pendanaan, khalifah menggunakan sistem baitul maal yang bersumber dari fai', ghanimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai bentuknya; pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat. Khalifah tidak perlu mencari investor asing maupun aseng, karena sumber dana baitul maal sangat mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Tentunya sistem ekonomi yang dijalankan adalah sistem ekonomi Islam yang berbasis emas dan perak, bukan berbasis utang dan riba. 

Dengan demikian, seluruh rakyat termasuk anak-anak dapat terjamin kesehatan dan keamanan jiwanya. Sehingga aktifitas di luar wilayah karantina bisa berjalan normal. Sementara di wilayah karantina akan ada penyesuaian, seperti anak akan tetap mendapatkan pendidikan dengan metode digital. 

Sejarah mencatat bagaimana para khalifah di masa Islam memiliki kebijakan yang pro rakyat dan benar-benar mensejahterakan. Dan ini akan terulang kembali, sebagaimana janji Allah SWT dan bisyarah Rasullullah SAW. 

Wallahu a'lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post