Ironis! Utang Tak Berbuah Untung

Oleh: Yuliatin 

Utang lagi, utang lagi, smpai kapan rakyat harus dibebankan utang? Nyatanya sampai detik ini rakyat masih  harus menanggung beban utang, mengapa? Karena pemerintah masih menjadikan utang sebagai solusi aktif untuk mengembalikan kestabilan perekonomian, jelas dari utang tersebut pasti dampaknya juga kepada masyarakat, misalnya pungutan-pungutan dana yang dibebankan kian tambah meningkat, seakan tidak ada alternatif lain lagi bagi pemerintah sebagai pengatur urusan rakyat untuk mengatasi masalah tanpa berutang.

Seperti yang telah dikabarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun, (vivanews.com, 16/06/20)

Jumlah yang sangat fantastis bukan? Mengapa harus mengambil jalan tempuh utang? Karena menurut Sri Mulyani total pendapatan negara hingga Mei 2020 turun 9,1%, Penerimaan pajak turun 10,8% menjadi Rp 444,6 triliun, sedangkan penerimaan bea dan cukai masih tumbuh 12,4% menjadi Rp 81,7 triliun.  Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat Rp 843,9 triliun, turun 1,4%. Belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 537,3 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp 306,6 triliun, (Katadata.co.id, 16/06/20).

Pendapatan yang diperoleh dari pungutan rakyat sangat wajar jika mengalami defisit, karena adanya pandemi covid-19 membuat rakyat mengalami kesulitan. Jangankan memenuhi kebutuhan sekunder, untuk kebutuhan primer yang sifatnya pokok saja sebagian besar masih diambang kekurangan.

Seharusnya pemerintah mampu mengambil alternatif lain untuk mengatasi masalah rakyat tanpa utang, misalnya mengelola hasil sumber daya alam sendiri, apalagi kekayaan alam yang ada di Negara kita melimpah ruah.

Alih-alih mengurangi utang, pemerintah tahun ini malah berencana menambah utang baru yang amat besar. Nilainya sangat ambisius yakni mencapai Rp1.006 triliun. Jumlah itu mencapai tiga kali lipat dari utang setiap tahun, dengan dasar  Perpu No 1 Tahun 2020 dan dengan dalih menghadapi wabah corona, (bisnisnews.id 13/05/20).

Lagi-lagi wabah corona dijadikan ajang aji mumpung yang dilakukan pemerintah sebagai dasar penambah utang, jumlahnyapun tidak sedikit malah berkali-kali lipat, sungguh sangat ironis.

Apakah utang ini bisa berakhir? Selagi sistem kapitalis yang dijadikan pegangan rasanya sangat sulit, sebab hanya asas manfaat yang dijadikan acuan, sekiranya menurut penguasa bermanfaat, tidak peduli efek jangka panjang menimbulkan kerugian, pasti utang tetap dijadikan jalan pintas penyelesain masalah. 

Utang LN (luar negeri) yang makin menumpuk dapat mengakibatkan Negeri ini kehilangan kedaulatannya dan bisa dijadikan alat penjajahan ekonomi. Mengambil kebijakan utang bisa berpotensi membuat  pemenuhan  kemaslahatan rakyat makin jauh dan bisa dikendalikan oleh kepentingan asing.

Katanya Negara ini menganut bentuk pemerintahan demokrasi, dengan kekuasaan yang berada ditangan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat), namun telah dirasakan bersama kondisi saat ini, bahwa hal tersebut hanya dijadikan jargon dan ilusi semata yang tak pasti.

Fakta yang ada kekuasaan berada  ditangan besi para penguasa dan para pemilik modal, buktinya dengan tega hati urusan pendapatan Negara pemerintah alihkan kepada para asing, seperti tambang emas yang ada di Papua, yang sampai saat ini masih dikelola PT Freeport. Hal ini memberi bukti bahwa kebijakan kapitalisme tidak pernah mampu mengatasi masalah utang. 

Berbeda dengan kebijakan Islam yang menggunakan aturan langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti kebijakan yang telah Rasullullah ajarkan, umat dapat hidup sejahtera, bahkan terbukti peradaban Islam mampu berjaya dan menunjukkan kegemilangannya selama 13 abad lamanya dan telah menguasai 2 per 3 dunia. Tidakkah kita rindu mengulang peradaban mulia itu?

Jika aturan islam yang dijadikan pegangan, utang sangat mampu dan bisa diselesaikan sebab para pemimpin Negara yang hanya berharap ridho Allah SWT akan mengupayakan dan berusaha menghasilkan pendapatan untuk Negara tanpa utang.

Pemimpin Negara Islam akan mengelola keuangan yang ada di Baitul Mal dengan baik sehingga bisa meminimalkan atau bahkan meniadakan adanya defisit keuangan. 
Baitul Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta
yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang
berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan,
barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya; di mana kaum
Muslim berhak memilikinya sesuai hukum syara’, yang tidak ditentukan
individu pemiliknya, walaupun ditentukan jenis hartanya; maka harta
tersebut adalah hak Baitul Mal kaum Muslim, (Sistem Keuangan Negara Khilafah, hal 17).

Sangat jelas bahwa keseluruhan harta milik Negara seperti fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan shadaqoh akan dikelola langsung oleh Negara, tanpa harus diserahkan dan dikelolakan oleh asing dan aseng.
Sudah sampai pada masanya jika suatu Negara ingin bebas utang, seluruh kebijakan harus beralih menggunakan prinsip dasar aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Wallahu'alam bishshowwab
Previous Post Next Post