Dana Haji dan Batal Haji Nasibmu Kini?

Oleh : Hasna Johan
(Pemerhati kebijakan Publik)

Kemenag Fachrul Razi telah mengambil keputusan bahwa jamaah haji tahun 2020 batal berangkat. Alasannya sampai saat ini pemerintah kerajaan Arab Saudi belum memutuskan ada tiadanya musim haji pada 1441 H, namun pemerintah telah menetapkan untuk meniadakan keberangkatan haji tahun 2020.

Ada kesan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait pembatalan haji tahun  2020 ini sungguh sangat disayangkan oleh semua pihak. Khususnya para jamaah yang akan berangkat pun dibuat sangat kecewa, pasalnya daftar tunggu kita yang lama membuat penundaan ini semakin menambah panjang daftar tunggu keberangkatan. Akibatnya bisa mempengaruhi sanksi dan kuota yang akan di berikan pemerintah Saudi di waktu mendatang bisa jadi berkurang. 

Ketidaksiapan Kemenag dalam menangani haji di masa pandemi ini, menuai respon dari Ormas Islam terbesar di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama). Menurut Said Aqil selaku Ketua Umum PBNU, pelaksanaan haji merupakan agenda tahunan bangsa ini. Sejatinya Masalah Pandemi ini tidak menjadi kendala dalam pelaksanaan haji dan pemerintah mampu mencarikan solusi atas mekanisme keberangkatan dikala pandemi.

Kritikan pun datang dari Anggota komisi VIII DPR Muhammad Fauzi yang merasa kecewa terhadap  keputusan Kemenag yang tidak berkoordinasi dengan DPR. Padahal sesuai ketentuan UU, seharusnya setiap keputusan terkait haji dibicarakan dengan DPR.

Dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengku Faisal Ali menyatakan "Saya kira pemerintah Indonesia ini agak terlalu cepat mengambil tindakan dengan meniadakan haji, daftar tunggu kita lama sekali walaupun pemerintah Arab Saudi mengizinkan, misalnya hanya untuk 5 ribu jamaah atau 10 ribu jamaah, saya rasa pemerintah harus meresponnya", ujarnya.
Jatah tersebut bisa disiasati dengan memberangkatkan jamaah yang masih berusia muda. Jumlah jamaah asal Aceh saja yang terdampak pembatalan keberangkatan haji berjumlah 4.187 orang. Mereka yang termasuk sudah melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).(CNN Indonesia)

Namun di tengah banyaknya kritikan dan saran dari berbagai pihak tidak dijadikan sebagai sebuah pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh Kemenag. Kemenag juga menambahkan bagi jamaah yang batal berangkat saat ini boleh mengambil dana haji miliknya atau ikut keberangkatan di tahun berikutnya, sementara bagi yang ingin mengambil dana miliknya dipersilahkan. Adapun yang tidak jadi berangkat dan tidak mengambil dana hajinya dapat melaporkan dananya ke Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang nantinya bisa dikelola oleh negara.       
BPKH  mengaku tengah mengelola dana haji sebesar Rp 135 triliun dalam bentuk Rupiah dan Valuta asing per Mei 2020. Informasi yang beredar di masyarakat ihwal dana haji sebesar US $ 600 juta setara dengan Rp 8,7 triliun dipakai untuk memperkuat Rupiah di tengah pandemi virus Corona. Informasi yang beredar dana haji tersebut dipakai usai ibadah haji tahun 2020 dibatalkan.

Kebijakan bukan untuk rakyat
Pemerintah telah menggunakan sebagian besar dana tersebut untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana tersebut digunakan untuk kepentingan investasi nasional dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

SBSN sendiri adalah surat berharga yang berlabelkan syariah, namun tetap ada unsur ribawi dan haram hukumnya. Dengan demikian pemerintah sedang memakai dana ibadah haji untuk utang yang berbasis ribawi.

Wacana lain yang berhembus bahwa dana haji juga akan dialokasikan sebagai modal untuk menambah bangunan serta memperbaiki fasilitas dan kualitas hotel dan restoran yang ada di Arab Saudi.

Bukannya memberikan pelayanan yang memuaskan kepada para  jamaah pemerintah malah ingin mengambil untung dari dana masyarakat yang tertahan karena tidak diberangkatkan.

Mengapa dana haji yang menjadi incaran pemerintah sebagai salah satu cara untuk menguatkan rupiah? Apakah harus memakai dana haji untuk pengelolaan fasilitas hotel? Dana haji memang sangat menggiurkan untuk digunakan apalagi nilainya yang tidak sedikit namun penggunaan dana tersebut hanya akan menimbulkan masalah baru bagi para jamaah haji nantinya.

Polemik pembatalan keberangkatan haji di negeri ini berasal dari asasnya yang sekuler dalam tata kelolanya. Sehingga, penyelenggaraan haji hanya dilihat dari aspek ekonomi bukan pelayanan penguasa dalam memfasilitasi warganya dalam beribadah. Maka sangatlah mungkin dana haji sebesar Rp 8,7 triliun dianggap lebih bermanfaat untuk menguatkan nilai rupiah daripada memberangkatkan jamaah dalam kondisi pandemi Corona ini.

Sekulerisme yang bertemu dengan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan materi di atas segala-galanya. Dana haji diutak-atik karena bermaslahat untuk memperkuat rupiah, sedangkan para ulama yang mengajarkan Islam dikriminalisasi, sungguh ironi.

Solusi Islam dalam penanganan haji
Sepanjang 14 abad sejarah peradaban Islam, sudah 40 kali penundaan keberangkatan haji karena wabah, perang hingga konflik politik. Dan untuk pertama kalinya ibadah haji ditutup pada 930 M saat ada pemberontakan kelompok Qarmatiah terhadap kekhilafahan Abbasiyah.

Penundaan haji karena wabah juga pernah terjadi pada 1831 ketika wabah cacar dari India yang membunuh 75 persen jamaah haji di Mekkah. Wabah kembali melanda Mekkah tahun 1837 sehingga ibadah haji 1837-1840 ditiadakan. (dikutip dari kitab Al Hidayah wan-Nihayah karangan Ibnu Katsir).Jika Arab Saudi kali ini memutuskan untuk menutup Mekkah karena wabah, ini bukanlah yang pertama dan jumhur ulama membolehkannya.

Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abdul Hamid II, Beliau membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji.    Pembuatannya pun bukan bersumber dari dana jamaah haji, melainkan dari pos pemasukan negara yaitu fa'i, pengelolaan kepemilikan umum dan sedekah.

Selain sarana dan prasarana yang harus di perhatikan pemerintah, kuota  haji dan umroh pun bisa berdasarkan dalil bahwa kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Khalifah akan memprioritaskan jamaah yang belum pernah pergi ke Mekkah.

Selanjutnya kuota pun bisa berdasarkan hadis bahwa kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Sehingga bagi yang belum mampu tidak perlu mendaftar karena belum terkena taklif hukum. Pengaturan seperti ini akan meminimalisasi potensi antrean yang panjang.

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali 'Imron: 97)

Dengan demikian hanya Islamlah satu-satunya solusi bagi seluruh permasalahan umat. Maka kembali kepada Syari'at Islam dalam melaksanakan pemerintahan tentu tidak akan menimbulkan permasalahan dan polemik yang berkepanjangan, baik bagi jamaah haji serta dana haji yang di kelola secara amanah. Wallahu a'alam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post