No title

By : Mimin Nur IndahSari
Sedati Sidoarjo

Debu tebal mengepul di udara hingga rakyat Madinah menyangka itu badai yang menerbangkan pasir. Nyatanya ada tujuh ratus kendaran penuh muatan milik Abdurrahman bi Auf yang memenuhi jalan-jalan dan menggungcangkan kota Madinah. Semua itu dipersembahkan di jalan Allah Azza wa Jalla dengan membagikan seluruh muatan beserta 700 kendaraan kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Kebiasaaan para sahabat Nabi yang tidak gemar menimbun harta tapi justru gemar mendermakan hartanya yang menjadi bagian dari syari’at islam, sungguh sangat membantu mengatasi ketimpangan ekonomi sekaligus menaikkan daya beli rakyat Madinah secara merata. 

Paradigma Salah

Begitu agungnya peradaban Islam pada masa itu. Namun apabila kita amati hari ini, nyaatanya masih jauh. Bahkan, selama tiga bulan lebih lamanya Indonesia menghadapi pandemi covid-19. Justru banyak sektor yang mengalami kerugian bahkan badai PHK akibat pandemi ini seperti sektor industri, pariwisata, pertanian, perdagangan, logistik dan sektor lainnya. Bahkan, ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Ilham Masita menilai pemulihan daya beli masyarakat menjadi kunci sukses kebangkitan sektor logistik. Dia mengatakan kunci menumbuhkan kembali daya beli masyarakat tergantung pada kebijakan pemerintah yang dilansir dari Bisnistempo.co (07/06/2020).

Kita sama-sama memahami bahwa kenaikan daya beli masyarakat menunjukan adanya penurunan angka kemiskinan sekaligus menunjukkan adanya kesejahteraan masyarakat. Demikian juga sebaliknya ketika ada penurunan daya beli masyarakat dalam kondisi pandemi saat ini, tentu saja hal itu menunjukkan bahwa angka kemiskinan justru semakin besar. 

Hal ini pun diakui oleh Presiden Joko Widodo bahwa daya beli masyarakat menurun di tengah pandemi covid-19. Oleh karena itu, pemerintah mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat dengan menyalurkan bantuan sosial (Bansos) berupa sembako atau uang tunai. Selain melalui Bansos, Jokowi mengatakan stimulus bagi masyarakat untuk menjaga daya beli mereka juga diberikan melalui Program Keluarga Harapan (PKH), dana desa, dan program padat karya tunai yang dilansir dari Kompas.com (13/05/2020).

Lalu, apakah kebijakan tersebut sudah tepat ketika kita mengetahui bahwa koefisien gini (ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan) mencapai 83 persen, dengan nilai asset 115.000 penduduk Indonesia, kekayaan mereka yang mencakup 45 persen dari keseluruhan aset kekayaan penduduk Indonesia yang dilansir dari Kompas.com (23/10/2019). 

Itu artinya, selama ini (sebelum adanya pandemi) tidak ada kebijakan yang serius dalam upaya pemerataan pendistribusian harta agar tidak terjadi ketimpangan yang begitu besar antara si kaya dan si miskin. Buktinya, dari total kekayaan seluruh rakyat Indonesia (267 juta penduduk), 45 persen kekayaannya hanya dinikmati oleh segelintir orang yakni hanya 0,043 persen penduduk Indonesia.  

Apabila kita cermati, Indonesia mengadopsi sistem kapitalisme. Prinsip utama dalam sistem kapitalisme adalah kepemilikan tanpa batas (kebebasan berkepemilikan). Jadi seseorang bisa memiliki apapun dengan cara apapun. Di sisi lain, sekulerisme yang menjadi tumpuan sistem kapitalisme ini justru mencetak orang-orang yang jauh dari norma agama yang mana mereka menjadikan untung rugi sebagai pertimbangan dalam beramal. Sehingga wajar ketika kita menemui banyak orang sekuler yang justru berlomba-lamba dalam menumpuk kekayaan. 

Adapun peran Negara dalam paradigma kapitalisme hanyalah sebagai regulator, sehingga wajar apabila kita dapati hari ini kondisi dimana tidak ada perhatian khusus dari Negara dalam persoalan distribusi kekayaan (harta) diantara masyarakat untuk mensejahterahkan setiap kepala rakyatnya. Sayangnya, target yang dikejar oleh pemerintah justru bagaimana menaikkan nilai pendapatan perkapita meski dengan ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang besar begitu nyata. 


Distribusi Khilafah
Adapun Islam adalah aqidah yang bersumber dari wahyu, yakni aturan dari sang pencipta kehidupan (Allah). Allah telah memberikan aturan kehidupan yang begitu sempurna termasuk di dalamnya yakni persolan distribusi, baik itu kebijakan distribusi pemasukan APBN (Baitul Mal) maupun pengembalian distribusi dalam bentuk sistem jaminan sosial yang diterapkan oleh Negara dalam sistem Khilafah Islam. 

Salah satu contoh kecil pendistribusian pemasukan baitul mal tentang kewajiban zakat mal. Sebagaimana yang dilansir oleh  Databoks.katadata.co.id (09/04/2020), bahwa pemilik Bank Central Asia (BCA), Budi dan Michael Hartono yang masih menyandang predikat sebagai orang terkaya di Indonesia. Kekayaannya sebesar US$ 37,3 miliar yang setara dengan Rp 600,5 triliun dengan kurs Rp 16.100. Itu artinya, apabila bliau seorang muslim maka dalam satu tahun ada kewajiban zakat mal sebesar 2,5 persen yakni Rp 15 trilyun. 

Tak cukup itu saja, aqidah islam yang menjadi tumpuan sistem Khilafah Islam, justru mampu mencetak orang-orang yang beriman dan bertakwa yang mana mereka menjadikan pahala dan dosa sebagai pertimbangan dalam beramal. Maka wajar apabila kita dapati sosok milyarder yang dermawan sebagaimana Abdurrahman bi Auf dan para sahabat Nabi lainnya. 

Adapun peran Negara dalam Islam tentu memiliki paradigma yang benar dalam memandang kewajiban seorang penguasa. Bahwa seorang pemimpin Negara (penguasa) harus memastikan kesejahteraan rakyatnya perkepala. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khathab yang melakukan pendistribusian pendapatan Negara menjadi tiga bagian;

Pertama, pendistribusian zakat untuk delapan golongan yang wajib menerima zakat (At-Taubah:60). 

Kedua, pendistribusian jizyah, kharaj dan pajak 10% (bea cukai impor dari Negara Kafir) yang digunakan untuk menggaji khalifah, para pegawai, tentara, keluarga Nabi Muhammad SAW, Istri-istri para mujahid, anak-anak, dan lain-lain. 

Ketiga, pendistribusian harta fa’i dan rampasan sesuai dengan surat Al-Anfal:41). 

Bahkan setelah Umar bin Khathab mendapatkan kepastian bahwa masing-masing individu akan menerima bagiannya masing-masing, ia berkata, “Wahai orang-orang Islam, pembagian harta ini diluar gaji atau jatah kalian. Jika para gubernur memberikan jatah tersebut kepada kalian setiap bulannya, maka ini adalah yang aku harapkan. Jika tidak melakukan hal ini, maka beritahulah aku. Aku akan memecatnya dari jabatan dan menggantikannya dengan yang lain”. Yang dikutip dalam buku Biografi umar bin al-khathab  (karya Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi).

Inilah bukti sejarah bagaimana sistem Khilafah Islam mampu mensejahterahkan rakyatnya perkepala sekaligus mencetak generasi yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk dipersembahkan di jalan Allah Azza wa Jalla. 

Post a Comment

Previous Post Next Post