Butanya Mata Keadilan di Negeri Demokrasi


Oleh : Ummu Dinar

Setelah kurang lebih tiga tahun mengendap tanpa ada kejelasan. Akhirnya kasus penyiraman air keras yang dialami oleh penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menemui titik terang. Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus ini memutuskan hukuman satu tahun penjara bagi kedua pelaku penyiraman.


Sebelumnya diberitakan, dua terdakwa kasus penganiayaan berat Novel Baswedan, Rahmat Kadir dan Ronny Bugis, dituntut satu tahun penjara. Jaksa menilai Rahmat dan Ronny terbukti melakukan penganiayaan berat terhadap Novel dengan menyiramkan air keras.


Tuntutan terhadap kedua terdakwa dibacakan secara bergantian di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Jaksa meyakini Rahmat dan Ronny bersalah melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(detiknews.com,11/06/2020)


Putusan jaksa ini telah menuai banyak kritik dari berbagai pihak, karena dinilai sangat irasional. Kejanggalan vonis satu tahun penjara dinilai sangat ringan bagi kasus selevel ini. Bagaimana tidak, Novel Baswedan adalah seorang penyidik senior di lembaga KPK. Yang termasuk dalam kategori penegak hukum di negeri ini.


Sedangkan kedua pelaku sendiri yaitu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir adalah anggota polisi aktif. Yang seharusnya mereka adalah para pelindung dan pelayan masyarakat. Namun justru apa yang dilakukan oleh kedua tersangka sangat bertolak belakang dan mencederai nama baik POLRI.


Tiga tahun dicari, satu tahun dibui. Itulah kalimat yang pas menggambarkan vonis hukuman pelaku penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan.


Alasan jaksa memutuskan hukuman 1 tahun penjara pun tak kalah kontroversial. Sebab para pelaku mengaku tak sengaja menyiram air keras ke muka Novel, padahal niatnya hanya ingin memberi pelajaran dengan menyiram ke badan, namun malah mengenai muka.


Salah satu tokoh yang mengkritik keputusan ini adalah Da'i Kondang Haikal Hasan atau yang sering disebut Babe Haikal. Beliau membandingkan hukuman yang diterima oleh pelaku penyiraman kepada Novel Baswedan dengan orang yang melakukan kejahatan yang sama. Rata-rata dari mereka dijatuhi hukuman penjara lebih dari 1 tahun. Ada yang 10, 12 bahkan 20 tahun penjara.


Selain janggal dan tak adil, vonis hukuman yang dijatuhkan pun semakin membuka mata kita bahwa mencari keadilan dan kejujuran dalam sitem demokrasi hanyalah ilusi.


Kasus ini menyempurnakan bukti bahwa semua aspek kekuasaan dalam sistem Demokrasi (legislatif, eksekutif dan yudikatif) telah menunjukkan kegagalan nya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Keputusan yang diambil dinilai hanya memenangkan kepentingan penguasa saja. Sebab banyak dugaan bahwa tindakan penyiraman itu dilakukan sebab korban sedang menyelidiki beberapa kasus besar yang melibatkan para petinggi negeri.


Bukan menjadi hal yang aneh bila sistem peradilan saat ini terlihat compang-camping. Pasalnya apa yang menjadi landasan hukum saat ini merupakan produk hasil akal manusia yang sangat terbatas. Tanpa bimbingan wahyu maka akal akan memutuskan sesuai hawa nafsu.


Berbeda halnya dengan Islam. Hanya sistem Islam yang diadopsi oleh negara yang mampu wujudkan keadilan untuk semua kalangan. Karena negara Islam dibangun berdasarkan aqidah, bahwa Allah lah sang Maha Pencipta sekaligus pembuat hukum.


Mengenai kasus semacam penyiraman air keras hingga menyebabkan cacat permanen. Dalam sistem Islam termasuk kategori tindakan kriminal dengan sanksi Jinayat. Jinayat merupakan tindakan pencideraan terhadap jiwa hingga hilangnya nyawa.


Sanksi yang akan diberikan adalah hukum qisas. Namun jika keluarga korban memaafkan, maka pelaku diwajibkan membayar Diyat (kompensasi). Diyat untuk nyawa adalah sebanyak 100 ekor unta atau sebesar 1000 Dinar. Untuk pencideraan badan nilainya disesuaikan dengan kerusakan fungsi organ serta jenis anggota badan yang diciderai.


Begitulah kehebatan dan keagungan sistem sanksi dalam Islam, menjamin terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post