Politisasi Bansos di Tengah Wabah

Oleh : Wulandari Rahayu, S.Pd
(Revowriter Tanah bumbu)

Sudah dua bulan 99pandemi covid 19 mewabah di negeri ini. Tidak bisa di pungkiri selama 2 bulan ini banyak masyarakat yang terdampak. PHK marak, harga pangan melonjak, banyak pedagang gulung tikar dan nilai tukar rupiah anjlok. Sehingga banyak pengamat mengatakan bahwa akan terjadi krisis moneter jika pandemi ini tidak segera berakhir. Data mencatat Sebanyak 1,2 juta pekerja, baik di sektor formal dan informal, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dampak pandemi virus Corona (Covid-19). (ekonomi.bisnis.com/16/04/2020). Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai anjloknya pertumbuhan ekonomi serta penerapan restriksi sosial dan mobilitas di berbagai wilayah sebagai akibat pandemi virus korona (covid-19) meningkatkan angka kemiskinan secara masif  (www.medcom.id /05/05/2020)

Melihat kondisi seperti ini berbagai macam organisasi menyalurkan bantuan kepada masyarakat terdampak. Namun tak dapat di hindari pula bahwa masih banyak masyarakat terdampak yang belum tersalurkan bantuan sehingga mengalami kelaparan. Seperti yang terjadi pada satu keluarga di Serang, Banten yang terpaksa mengonsumsi air galon selama dua hari dan mengonsumsi singkong karena tak kuasa lagi menahan lapar. Menurut penuturan suaminya, saat itu, dia dan almarhumah istrinya, Yulie Nuramelia, malu untuk meminta bantuan kepada tetangga mereka. Sampai akhirnya bantuan dari para relawan datang membawa sembako seperti beras, telur hingga minyak goreng.

Di saat hal seperti ini terjadi yang sangat di sayangkan adalah politisasi dalam bantuan sosial (Bansos). Hal itu seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus Corona (Covid-19) sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako.Dia mengungkapkan, pembukus itu belum tersedia karena produsen tas tersebut mengalami kesulitan import bahan baku. Sehingga, menyebabkan distribusi bansos terkendala meski paket sembako sudah tersedia. (www.merdeka.com/29/04/2020). 
Di lain daerah Foto Bupati Klaten Sri Mulyani yang menempel di paket bantuan sosial (bansos) penanganan virus corona (Covid-19) memantik polemik. Kasus ini membuka mata publik terkait politisasi bansos saat krisis di tengah pandemi. Warganet pengguna Twitter pun mengkritik keras dengan ramai-ramai mengunggah tagar #BupatiKlatenMemalukan. Tagar itu sempat memuncaki trending topic pada Senin (27/4).
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo berpendapat kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik. Di Indonesia, praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak pemerintahan Presiden SBY meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT).Kunto mengatakan politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi. "Istilahnya pork barrel, tong yang isinya daging babi dulu di Eropa. Jadi memberikan supply makanan kepada konstituennya, bahkan jauh hari sebelum pemilu. Tujuannya membangun favorability, kesukaan terhadap dia," tutur Kunto kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/4). Kunto mengatakan trik ini bisa disebut politik uang atau money politic, serupa dengan serangan fajar jelang pencoblosan ketika pemilu. Perbedaannya, pork barrel berbalut kewenangan pemerintah mengelola anggaran bantuan sosial

Analis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai politisasi bansos bertentangan dengan asas tata kelola pemerintahan yang baik karena mengabaikan transparansi.Dia berpendapat, pencitraan lewat bansos dilakukan karena pemerintah tidak transparan, sehingga seolah-olah bantuan itu diberikan langsung oleh sang kepala daerah atau kepala negara. (CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).

Memilukan sekali jika memang kondisi ini di manfaatkan oleh segelintir orang yang punya kepentingan untuk pencitraan. Padahal uang yang di pakai itu adalah uang pajak yang notabanenya dari rakyat. Dalam kondisi pandemi ini semakin terlihat jelas bagaimana wajah kapitalisme. Sistem kapitalis-demokrasi ini tak pernah berpihak kepada rakyat. Kita lihat nasib rakyat yang semakin tercekik malah di jadikan bahan pencitraan. Bantuan tak benar-benar ikhlas di berikan.

Berbeda dengan sistem islam yang tujuan kepemimpinannya adalah riayah suunil ummah (mengurusi urusan ummat), maka yang terjadi adalah seorang pemimpin dalam sistem islam bertanggungjawab penuh atas rakyatnya. Bisa kita lihat bagaimana kholifah umar bin khattab mengatasi kelaparan saat terjadi wabah. Pada masa paceklik dan kelaparan, Umar Radhiyallahu 'anhu hanya makan cuka dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan."
Dari sisi lain, sosok kholifah Umar bin Khattab dalam kepemimpinannya sangatlah sederhana. Di saat penguasa lain tinggal di istana dengan singgasana dan kehidupan yang mewah, Umar r.a hidup di rumah sederhana di antara gang-gang kecil dengan pakaian sederhana.
Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu sangat hati-hati dalam menggunakan fasilitas atau harta negara. Beliau mematikan lampu minyak di ruangan kantornya, ketika anaknya mengunjunginya di malam hari untuk membicarakan masalah keluarga. Umar sungguh khawatir dia menghabiskan minyak lampu yang berasal dari uang rakyat ketika sedang membicarakan masalah pribadi bersama anaknya. Pun saat melihat unta milik anaknya yang digembalakan di padang rumput milik umum tampak lebih gemuk dari unta milik orang lain. Umar meminta anaknya untuk menjualnya dan mengambil harga ukuran unta yang wajar, harga selebihnya diberikan kepada Baitul maal (kas negara).
Sosok kepemimpinan Umar Radhiyallahu 'anhu yang fenomenal bukan hanya karena faktor individu dan kepribadiannya saja namun lebih dari itu, kepribadian yang terbentuk pada diri umar bin khattab adalah tuntunan wahyu Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW serta system islam yang di terapkan umar r.a untuk menegakkan hukum-hukum islam. Sehingga umar r.a sangat takut dengan amanah kepemimpinannya itu. 
Keberhasilah kepemimpinan Umar bin khattab r.a itu tidak lepas dari  penerapan system islam yang kaffah dan sempurna sehingga terdapat rahmat dan keberkahan. Maka sesungguhnya kepemimpinan layaknya Umar bin Khattab r.a akan kembali terwujud tatkala hukum-hukum islam di terapkan secara sempurna sehingga kepemimpinan seorang emimpin bukan lagi karena pencitraan namun karena kepemimpinan itu adalah amanah dari Allah SWT sehingga tunduk kepada hukum-hukum Allah adalah tujuan dari kepemimpinannya. Wallahu’alam

Post a Comment

Previous Post Next Post