Politisasi Bansos di Tengah Kelaparan Rakyat



Oleh : Neneng Sriwidianti
Pengasuh Majelis Taklim dan Member AMK

Rasanya sudah muak, melihat tingkah laku elit politik hari ini. Di tengah rakyat kelaparan karena terdampak virus Covid-19, bantuan sosial berupa paket sembako yang dinanti tersendat. Karena harus menunggu tas pembungkus untuk mengemasnya. Bukannya mengurus rakyat dengan cepat, tapi mereka lebih mengutamakan pencitraan. Apakah pemimpin seperti ini yang diharapkan?

Julian Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk masyarakat terdampak virus corona (Covid-19) sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako. Tas tersebut berwarna merah putih dan bertuliskan 'Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19'. Di atas itu juga terdapat logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona.

"Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus import," katanya kepada wartawan. (merdeka.com, 29/4/2020)

Inilah bukti bobroknya sistem kapitalis demokrasi. Alih-alih segera menyelesaikan masalah kelaparan rakyat, yang dilakukan malah pencitraan. Mereka sibuk memperindah tampilan biar dinilai baik oleh masyarakat. Sementara di sebagian wilayah, rakyat meregang nyawa.

Betapa tragisnya sistem ini, nasib rakyat jelata di tengah pandemi corona. Untuk mendapat santunan sedikit saja selalu harus ada drama. Kalaupun tanpa sorotan kamera, kantong sembako pun jadi alatnya.

Terlihat jelas, di antara penguasa tidak ada koordinasi yang terjalin baik. Yang terjadi justru saling hujat, saling cela, saling menyalahkan antara pusat dan daerah. Mereka disibukkan dengan pencitraan kelompoknya masing-masing.

Seorang pemimpin dalam Islam, mereka selalu hadir memberikan pertolongan kepada rakyat, saat dilanda musibah dan derita. Pemimpin dalam Islam, dia adalah tempat mengadu di dunia saat hak mereka sebagai warga negara belum diterima.

Pemimpin dalam Islam, mereka bekerja dengan ikhlas, tanpa ada unsur pencitraan, karena mereka tahu, Allah Swt. yang mengetahui isi hati. Ketakwaan yang ada pada diri seorang pemimpin menyebabkan dia bersikap seperti itu. Karena mereka yakin, suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyat yang dipimpinnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda :

"Imam (khalifah) raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya". (HR. Ahmad, Bukhari)

Khalifah Umar adalah contoh teladan bagi seorang pemimpin. Khalifah Umar memegang prinsip yang mulia, "Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan."

Ada contoh yang patut dijadikan pijakan di masa kekhilafahan Umar. Beliau rela mengikat dan mengencangkan ikat pinggangnya sampai berazam akan makan makanan yang biasa rakyat jelata makan, dan tidak akan memakan makanan mewah selama rakyat belum turut merasakannya.

Prinsip kepemimpinan ini hanya dapat dimiliki pada sosok negarawan religius, politikus sekaligus ulama. Pemimpin yang menjalankan kebijakan berdasarkan rekomendasi Kitabullah dan Sunah Nabinya. Tidak menyelisihi dengan aturan manusia sedikit pun dalam memerintah.

Tidakkah kita semua rindu, sosok pemimpin demikian pada era sekarang? Hanya dalam sistem khilafah, kita bisa merasakan kepemimpinan seperti Khalifah Umar bin Khattab.

Semoga Ramadan ini, dijadikan oleh penguasa untuk muhasabah diri dan taubat masal terhadap kemaksiatan yang telah mereka lakukan.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post