Negara Defisit, BPJS Kembali Dilirik

Oleh : Ayu Permanasari, SE 
(Aktifis Dakwah Bekasi, Founder Kuliah Islam Online MQ Lovers)

Drama BPJS dimulai kembali. Naik turun iuran BPJS kali ini disertai tindakan Presiden yang mempermainkan hati rakyat dengan menerbitkan peraturan presiden pengganti putusan Mahkamah Agung. Naiknya iuran BPJS ini ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo pada hari Selasa, 5 Mei 2020. Sebelumnya iuran BPJS naik melalui Perpres Nomor 75 tahun 2019 yang dikeluarkan akhir Desember 2019. Pada bulan April kenaikan ini dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung Nomor 7P/HUM/2020.

Dalam rangka penyelesaian defisit nantinya peserta aktif BPJS harus membayar iuran yang naik hampir dua kali lipat.  Iuran yang ditentukan dalam Perpres No. 64 Tahun 2020 adalah Rp. 150.000 untuk Kelas 1, Rp. 100.000 untuk Kelas 2, dan Rp. 25.500 untuk kelas 3 (biaya ini sebesar Rp. 42.000 dikurangi subsidi pemerintah Rp. 16.500). Ketentuan ini akan berubah pada tahun 2021 dengan naiknya iuran kelas 3 sebesar Rp. 35.000 setelah pemerintah mengurangi subsidinya. 

Kenaikan ini tentu memunculkan kekecewaan bagi banyak pihak karena semakin menambah penderitaan rakyat di tengah banyaknya PHK. Abetnego Tarigan selaku Pelaksana Tugas Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak lepas dari pertimbangan kesulitan yang dihadapi pemerintah di tengah pandemi virus corona (cnnindonesia.com, 14/05/2020). Solidaritas rakyat dibutuhkan agar negara dapat meningkatkan pelayanan kesehatan dan menjamin keberlangsungan BPJS Kesehatan.

Alasan di balik defisit BPJS tidak tepat karena BPJS diperkirakan akan mendapatkan sekitar Rp. 5 Triliun dari pemerintah sebagai dana penanggulangan covid-19 dan angka yang sama dari pajak rokok (tirto.id, 13/05/2020). Berdasarkan RKAT 2020 BPJS akan memperoleh pemasukan sekitar Rp. 132 Triliun pasca putusan MA. Dari sini BPJS masih surplus berdasarkan proyeksi pengeluaran tahun ini yang mencapai Rp.133 Triliun. 

Menurut Ketua Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menaikkan iuran BPJS sebenarnya kurang efektif karena efeknya sangat terasa pada kelompok mandiri yang berjumlah 32 juta orang. Tingkat kepatuhan kelompok ini hanya 54%. Dengan adanya kenaikan iuran kelompok mandiri bisa menunggak sampai 75% sehingga target anggaran BPJS tidak tercapai. Seharusnya pemerintah mengevaluasi kinerja JKN terkait dengan direksi BPJS Kesehatan.

Keputusan menaikkan iuran BPJS selama ini tidak pernah bisa menyelesaikan permasalahan defisit BPJS. Pasalnya BPJS defisit adalah lagu lama yang tidak pernah terselesaikan. Pemerintah secara bertahap menaikkan iuran BPJS tapi tidak ada peningkatan pelayanan kesehatan disebabkan tagihan rumah yang sakit yang sering terlambat dibayar.  Peserta BPJS selalu menjadi konsumen marginal di rumah sakit. Belum lagi masalah tenaga medis yang hanya memperoleh kompensasi yang sedikit yaitu antara Rp. 6000-Rp. 10.000 per pasien. Justru iuran rakyat akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir elite pejabat dan bisa saja masuk ke pos lain yang sejatinya tidak digunakan untuk pembiayaan BPJS sendiri.

Fakta di atas menunjukkan masalah defisit BPJS tidak pernah selesai walaupun iuran peserta dinaikkan. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan lebih baik pemerintah membatalkan kenaikan ini karena semakin membuat rakyat tidak patuh pada pemerintah. Jika keputusan ini dipaksakan dapat terjadi pengabaian sosial (social disobedience).

Permasalahan pelayanan kesehatan oleh BPJS sesungguhnya berakar pada paradigma kapitalis yang menyerahkan pelayanan kesehatan pada swasta. Negara hanya berfungsi sebagai pengatur atau wasit yang hanya mengawasi ketika ada pelanggaran. Dalam hal ini BPJS adalah asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menjalankan bisnis kesehatan. Ketika BPJS kesehatan defisit rakyatlah yang harus menanggungnya. Karena BPJS adalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada rakyat dalam pelayanan kesehatan. Negara hanya sebagai pengawas yang mengatur keberlangsungan pelayanan kesehatan.

Di lain sisi, Islam memandang kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. "Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia semuanya (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa kesehatan, keamanan, dan makanan posisinya sejajar sebagai kebutuhan pokok rakyat.

Posisi negara dalam hal ini adalah pelayan rakyat sehingga negara wajib menyediakan layanan kesehatan bagi rakyat tanpa terkecuali. Negara sebagai pelayan rakyat tidak memperlakukan perbedaan antara si kaya dan si miskin. Jaminan kesehatan diberikan setara karena Islam tidak mengenal jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dalam hal pelayanan publik. Perbedaan kelas hanya dikenal dalam sistem kapitalis karena sistem kapitalis membolehkan siapa yang kuat menguasai harta kekayaan tanpa batas. Yang berharta akhirnya akan mendapatkan layanan kesehatan terbaik dan sebaliknya rakyat miskin memperoleh layanan yang kurang bahkan bisa jadi tidak bisa mengakses layanan kesehatan karena ketiadaan biaya. 

Dalam hal pembiayaan kesehatan negara memberikan pelayanan kesehatan secara gratis pada warganya. Sumber pembiayaan bisa berasal dari kekayaan negara dan wajib masuk dalam anggaran negara. Jika negara lalai maka negara berdosa. Biaya kesehatan tidak seperti asas gotong royong yang diterapkan oleh BPJS. Asas gotong royong dalam BPJS sepertinya baik tetapi sesungguhnya kebijakan yang menipu karena negara lepas tangan dan rakyat dibiarkan membiayai kebutuhan kesehatannya sendiri. Akibatnya ketika BPJS defisit rakyat yang harus menanggung. Padahal bisa saja negara mengalihkan biaya infrastruktur atau biaya pemindahan ibu kota tapi hal itu tidak akan pernah dilakukan jika masih terjadi privatisasi kesehatan.

Pelayanan kesehatan pada masa Islam dapat dilihat mulai zaman Rasulullah. Pada saat Rasulullah menjadi pemimpin negara ada seorang sahabat bernama Ubay bin Kaab yang sedang sakit. Seketika itu juga Rasulullah mengirimkan dokter padanya untuk melakukan tindakan medis. Disebut juga pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab beliau mengirimkan seorang dokter kepada kakek Zaid bin Aslam yang sedang sakit. Sang dokter pun memeriksa dan menyarankan pola makan diet makanan untuk mengatasi penyakitnya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa negara memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada rakyat yang membutuhkan. Selain itu pada zaman Umar dapat diketahui bahwa ilmu kesehatan sudah didasarkan pada pengaturan pola makan dalam penyembuhan penyakit. Semua dilakukan oleh negara dengan dasar aqidah yaitu memelihara jiwa manusia. Karena celakanya nyawa seseorang berat timbangan dosanya di mata Allah. 

Pada akhirnya semua kebijakan di atas hanya bisa dilakukan jika diterapkan hukum Allah di muka bumi. Telah terbukti bahwa hukum buatan manusia dapat dipermainkan dan diganti sesuai dengan kepentingan seperti halnya perpres yang membatalkan putusan MA. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)

 Aqidah Islam dan hukum Allah akan membuat pemimpin negara menjalankannya semata-mata hanya untuk meraih ridho Allah. Inilah solusi terbaik yang akan menyelesaikan carut marut permasalahan kesehatan di Indonesia. Wallahuallam.

Post a Comment

Previous Post Next Post