IURAN BPJS SAH NAIK, BUKTI REZIM ABAI TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN

Oleh. Siti Juni Mastiah, SE.
(Anggota Penulis Muslimah Jambi)

Kondisi rakyat Indonesia saat ini ibarat pepatah “sudah jatuh, tertimpa tangga”. Ditengah pandemi yang sedang merebak, rezim mengesahkan kenaikan iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan pada 1 Juli 2020 seperti digariskan pada Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan dengan rincian Kelas I naik menjadi Rp. 150.000, kelas II menjadi Rp. 100.000, dan kelas III menjadi Rp 42.000. Beleid tersebut telah diteken oleh Presiden Jokowi pada Selasa, 5 Mei 2020. (Kompas.Com, 20/05/2020).

Pemerintah disebut hanya mencari celah untuk tetap dapat menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Sebelumnya keputusan kenaikan tarif tersebut dibatalkan Mahkamah Agung. Melalui aturan yang baru, pemerintah tidak menaikkan iuran hingga 100 persen, tetapi hanya terpaut sedikit dari kenaikan sebelumnya yakni 98 persen. Ini bentuk akal-akalan pemerintah.

Miris sekali, ketika rakyat sedang bertaruh nyawa menghadapi Covid-19, pemerintah dengan mudahnya menaikkan iuran untuk kesehatan. Dimana hati nurani penguasa ?, saat rakyat mengalami dampak besar akibat pandemi yang melumpuhkan perekonomian, seperti meningkatnya PHK, banyak rakyat yang kelaparan, bahkan tak memiliki tempat tinggal. Kesulitan hidup yang dialami rakyat seharusnya tidak menjadikan penguasa tega menaikan iuran BPJS Kesehatan.

Adapun kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini adalah untuk menutupi defisit anggaran penyumbang terbesar yang berasal dari kelompok peserta bukan penerima upah, yakni berjumlah sekitar 30 juta orang, ungkap Sri Mulyani, kepada Tempo.Co (16/05/2020).

Ketua Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini akan meningkatkan jumlah peserta nonaktif hingga 60 persen dari total peserta, terutama peserta mandiri. Hal itu, otomatis akan menurunkan pendapatan perusahaan, dan masyarakat semakin berjauhan dengan pelayanan kesehatan.

Bila ditelaah secara mendalam, paradigma dan konsep yang mendasari pelayanan kesehatan dari BPJS ini sudah salah sejak awal. Yakni didasari pada logika komersialisasi pelayanan kesehatan dan kelalaian negara bukan ketulusan

Keadaan ini membuktikan bahwa pemerintah tidak memiliki karakter negarawan, yakni sebagai pelindung, pelayan, dan pemelihara urusan rakyatnya. Bukannya malah membantu meringankan beban masyarakat, melainkan menambah beban hidup warga negaranya. Apa lagi dimasa pandemi ini, sehari-hari rakyat sudah terbebani dengan harga kebutuhan pokok, begitu juga dengan biaya kebutuhan lainnya, seperti air bersih, listrik, BBM, transportasi, dan lain sebagainya.

Pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan pokok umum dalam kehidupan masyarakat yang seharusnya dijamin oleh negara. Saat  pandemi ini masih berlangsung dan entah kapan akan berakhirnya, rakyat sangat membutuhkan fasilias kesehatan yang menjadi tanggung jawab negara. akan tetapi dengan pengesahan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini, menunjukkan bahwa negara hadir sebagai regulator atau pembuat aturan bagi kepentingan korporasi. Negara dengan rakyatnya ibarat seperti aktivitas “perdagangan antara penjual dan pembeli”. Negara menjual jaminan kesehatan, dan rakyat membayarnya sesuai dengan tingkatan kelas.

Inilah bukti penerapan negara kapitalis sekuler, yang sangat jauh berbeda dengan penerapan sistem Islam. Setidaknya ada dua aspek paradigma Islam yang penting terhadap persoalan defisit kronis BPJS Kesehatan dan krisis pelayanan kesehatan yang berlarut-larut.

Pertama, konsep bahwa kesehatan merupakan kebutuhan publik, bukan jasa untuk dikomersialkan. Artinya tidak dibenarkan bahkan haram jika pemerintah memiliki program yang bertujuan mengomersialkan pelayanan kesehatan, seperti BPJS Kesehatan, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), dan asuransi-asuransi yang apapun bentuk dan jenisnya adalah hasil dari institusi kapitalisme saat ini yang diharamkan Islam.

Kedua, negara Islam bertanggung jawab secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas terbaik, dengan tidak membedakan antara kaya dan miskin, serta antara muslim dan nonmuslim, mereka semua mendapat pelayanan yang sama. Islam hanya mengenal prinsip pembiayaan kesehatan berbasis baitul mal secara mutlak. Sumber-sumber pemasukan baitul mal dan pengeluarannya berdasarkan ketentuan Allah Swt, baik yang termaktub di dalam Al-Quran dan As-Sunnah-Hadist, maupun juga terdapat pada Ijma’ Shahabat dan Qiyas.

Salah satu sumber pemasukan baitul mal adalah harta milik umum berupa sumber daya alam dan energi dengan jumlah berlimpah, seperti Indonesia memiliki 128 cekungan migas, dan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua yang dikuasai oleh Amerika Serikat melalui Freeport McMoran, dan berbagai kekayaan alam lainnya.

Bersifat mutlak, maksudnya adalah ada atau tidak ada sumber pemasukan baitul mal dari  kekayaan alam, negara tetap melaksanakan pengadaan pelayanan kesehatan. Bila dari pemasukan rutin tersebut tidak terpenuhi untuk memnbiayai pelayanan kesehatan, maka negara Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer yang dipungut oleh negara dari orang-orang kaya.

Model pembiayaan seperti ini, tidak saja antidefisit, namun juga akan membebaskan pelayanan kesehatan dari cengkeraman korporasi, agenda hegemoni, dan industrialisasi kesehatan yang sangat membahayakan kesehatan dan nyawa jutaan orang.

Kejayaan Islam sudah mampu membuktikannya, salah satunya dipaparkan oleh sejarawan berkebangsaan Amerika, Will Durant, dia menyatakan “di Rumah Sakit Al Manshuri Kairo (683 H / 1284 M), pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka, dan sejumlah uang diberikan pada setiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja.” [W.Durant : The Age of Faith; op cit; pp 330-1]

Kehadiran sistem kehidupan Islam adalah kebutuhan yang sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia dan dunia saat ini. Sehingga segera terwujud pelayanan kesehatan gratis yang mudah diakses kapan saja, oleh siapa saja. Insya Allah kehadiran Islam akan mampu sebagai obat dan penyembuh berbagai persoalan dan “penyakit” yang ditimbulkan oleh sistem kehidupan sekuleris-kapitalis. Firman Alla Swt : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada Nya lah kamu akan dikumpulkan.” (T.QS. Al Anfal : 24). Wallahu’aalam.

Post a Comment

Previous Post Next Post