MASA PANDEMI AKAN PANJANG AKIBAT KEBIJAKAN YANG MENCLA MENCLE

Oleh; Yani Ummu Farras Abiyyu, S.Pd.I (Aktivis Dakwah Makassar)

Pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atas pembukaan bandara serta sejumlah mall dan pusat perbelanjaan nampaknya akan memicu pandemi Covid-19 gelombang kedua. Pasalnya sejumlah kebijakan pemerintah berdampak meluasnya penyebaran Covid-19. 

Pembukaan sejumlah mall didasari oleh permintaan koorporasi yang mengeluh pendapatan usaha menurun selama masa pandemi. Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah mengakui meminta agar mall dibuka, PSBB dilonggarkan untuk fashion. (Kumparan.com, 8 Mei 2020).

Dan pemerintah pun mengabulkan permintaan para pengusaha itu dengan dalih mall akan ketat dalam menerapkan SOP Pencegahan Covid-19, seperti memakai masker, mencuci tangan, serta memberlakukan sosial distancing dan physical distanding. Namun kenyataan di lapangan, pengunjung mall membludak hingga berdesak-desakan, bahkan antri agar bisa masuk ke dalam mall. Alhasil SOP tersebut pun dilanggar oleh masyarakat dan pihak mall.

Terang saja pelonggaran PSBB di saat kondisi pandemi belum membaik akan mengakibatkan penyebaran virus secara masif. Penumpukan warga dalam jumlah yang banyak tak hanya terjadi di mall, beredar pula gambar di sosial media yang memperlihatkan penumpukan warga saat pembagian sembako dan bantuan uang tunai oleh Pegawai Kantor Pos dan Aparat Desa serta kepadatan kendaraan di jalan-jalan raya.

Tak hanya polemik penumpukan warga, kebijakan pembatasan transportasi pun kini longgar. Menteri Perhubungan membuka kembali jalur transportasi, termasuk Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa yang dilarang itu mudiknya, bukan transportasinya. Transportasi diizinkan untuk beroperasi. (Detik.com, 18 Mei 2020)

Muncul pula wacana sekolah akan kembali dibuka pada bulan Juli 2020 serta kebijakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang membolehkan para pekerja berusia di bawah 45 tahun kembali bekerja.  

Penetapan kebijakan Di Rumah Aja, Social Distancing, Physical Distancing, belajar dari rumah, Wok From Home (WFH) sejak Maret hingga sekarang, hingga pemberlakuan PSBB yang melarang Ibadah dilakukan di masjid serta pembatasan jumlah penumpang dalam kendaraan nampaknya akan sia-sia. Semua kebijakan itu diambil sebagai upaya mengurangi serta melawan Virus Corona. Dan saat masyarakat terpaksa bertahan dengan kebijakan pemerintah tesebut, pemerintah justru mengkhianati usaha masyarakat.

Pemerintah dengan kekuasaannya justru mengeluarkan kebijakan mencla mencle, hari ini terapkan kebijakan ini besok terapkan kebijakan itu. Akhirnya masyarakat pun mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Masyarakat banyak yang melampiaskan kekecewaan mereka dengan menuliskan komentar mereka di sosial media. Bahkan beredar tagar bertuliskan “Indonesia Terserah” yang di bawah oleh tenaga medis sebagai bentuk protes atas sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai justru memicu meningkatnya angka penyebaran virus corona.

Pada Rabu 6 Mei 2020 lalu, pemerintah menyatakan target penurunan kasus infeksi Covid-19 harus tercapai pada Mei 2020 dengan cara apapun. Tapi melihat kebijakan pemerintah yang membingungkan tesebut seakan memustahilkan target pemerintah tercapai. Yang terjadi justru angka kasus positif Covid-19 terus mengalami peningkatan. Data terbaru jumlah pasien terinfeksi virus corona mencapai 19.189. Tercatat ada 693 kasus baru pada Rabu 20 Mei 2020 yang melampaui level tertinggi sebelumnya, yakni 689 kasus pada 13 Mei lalu. (Tirto.id, 20 Mei 2020).

Sungguh tak terbayangkan, harus berapa lama lagi rakyat berada dalam pandemi. Wajar saja bila Presiden meminta agar warga bisa berdamai dengan Corona. Mungkinkah ini ada pernyataan yang menunjukkan bahwa pemerintah memang tak punya kemampuan membebaskan negeri ini dari pandemi?

Sejak awal kemunculan virus ini di Wuhan, pemerintah Indonesia sebenarnya menunjukkan ketidakseriusannya. Saat berita kemunculan virus ini di Cina, pemerintah merespon santai, bahkan terkesan dijadikan candaan. Mulai dari statement bahwa Corona tak akan hidup di suhu tropis, orang Indonesia dianggap kebal Corona karena suka minum jamu dan makan nasi kucing, hingga di tanggal 27 Januari, Presiden Jokowi memastikan tak ada indikasi masuknya virus corona ke Indonesia. Bahkan Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan angka kematian Corona masih di bawah 500 orang. Butuh berapa banyak lagi warga Indonesia yang tumbang karena Corona agar pemerintah mau serius bertindak?

Sebagai pengurus urusan masyarakat seharusnya pemerintah hadir untuk menjamin keselamatan rakyatnya. Apalagi di tengah pandemi seperti ini, satu kelalaian yang dilakukan pemerintah akan berdampak buruk bagi keselamatan jutaan rakyat Indonesia. 

Pandemi yang kini menjadi bencana dunia bisa berakhir tergantung penanganan yang dilakukan pemerintah. Rakyat tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri mengatasi pandemi ini. Negara harus berperan menerapkan kebijakan-kebijakan memutus rantai penyebaran virus. Tentu saja pemerintah harus bekerja sama dengan para ahli, berdiskusi bersama mereka serta menemukan solusi bersama. Demikian pula harus ada kejasama antara pemerintah pusat dan daerah dalam melayani rakyat di tengah krisis akibat pandemi ini.

Pemerintah juga hendaknya menjadikan pandemi ini sebagai muhasabah agar mau kembali kepada Islam, menerapkan Syariah Islam secara kaffah termasuk mengambil solusi Islam dalam mengatasi wabah seperti ini. Mengambil solusi-solusi dari selain Islam hanya akan memperlama masa pandemi ini. Pemerintah juga harus punya kesadaran bahwa mereka punya kewajiban melindungi rakyatnya, termasuk menjauhkan rakyatnya dari bahaya dan kematian. Sehingga akan membuatnya serius mencari solusi dan konsisten dalam menerapkan kebijakan. 

Tentu saja hal ini akan mustahil terwujud jika sistem pemerintahan yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan roda kekuasaannya masih menggunakan sistem Demokrasi. Sebab Demokrasi menafikkan peran agama dalam mengurusi rakyat, sekaligus menganggap dirinya adalah penguasa sedang rakyat wajib mentaati setiap kebijakan penguasanya suka ataupun tidak suka. 

Berbeda dengan Islam, yang memposisikan penguasa sebagai pelayan rakyat, sedang rakyat memiliki hak yang harus mereka dapatkan dan kewajiban penguasa memenuhi hak seluruh rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda; “Imam (pemimpin) itu adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertaanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. al-Bukhari)
Islam juga sangat memelihara nyawa seorang manusia, dan menjadikan terbunuhnya satu jiwa manusia sebagai perkara yang besar. Dari al-Barra’ bin Azib ra., dari Nabi Saw bersabda: “Hilangnya dunia, lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya satu orang muslim tanpa hak.” (HR. an-Nasa’i)

Atas dasar inilah maka sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah akan bersungguh-sungguh melakukan pemeliharaan terhadap jiwa, darah, harta bahkan kehormatan rakyatnya, baik muslim maupun non muslim. 

Di tengah pandemi seperti ini Khilafah akan memberlakukan kebijakan lockdown, yakni memisahkan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat. Warga yang tinggal di wilayah yang terjangkit tidak akan dibiarkan meninggalkan wilayahnya, sementara warga yang lain tidak diperbolehkan memasuki wilayah yang terjangkit, hal ini didasarkan pada Sabda Nabi Saw. Dengan begitu penyebaran penyakit menular tak akan meluas. Selama masa lockdown, Khilafah akan menjamin kebutuhan pokok warga yang diisolasi, sementara wilayah yang tidak terisolasi dapat beraktifitas seperti biasa tanpa harus dipersulit dengan berbagai kebijakan mencla mencle seperti dalam demokrasi saat ini. Memasukkan TKA Asing asal China ke Indonesia saat China menjadi negara terjangkit Covid-19 inilah kesalahan awal yang dilakukan oleh pemerintah bersistem Demokrasi!

Oleh Khalifah, wilayah yang tak terjangkit akan didorong untuk mengumpulkan kekayaan wilayah mereka kemudian didistribusikan ke wilayah yang diisolasi. Dengan begitu warga yang diisolir karena wabah takkan mengalami kelaparan.

Khilafah juga akan melibatkan para ilmuan dan ahli medis untuk menemukan obat untuk menyembuhkan warga yang terjangkit penyakit. Dan khilafah akan memfasilitasi proses penelitian itu sekaligus memberi layanan kesehatan terbaik bagi waega yang sakit, dengan harga murah bahkan gratis. Khilafah takkan melakukan kedzaliman sebagaimana yang dilakukan rezim saat ini, yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi. Sungguh ini adalah kebijakan yang dzalim yang lahir dari sistem yang rusak, yakni Demokrasi.

Bila ingin segera mengakhiri pandemi ini, dunia wajib kembali kepada Islam. Menerapkan Syariat Islam secara totalitas dalam bingkai Khilafah, agar kebijakan-kebijakan sederhana tapi efektif di atas dapat diberlakukan. Hanya Khilafah yang di butuhkan dunia saat ini.

Wallahu A’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post