Diksi Perang Damai, Bukti Inkonsistensi



Oleh : Etti Budiyanti
Member AMK dan Komunitas Muslimah Rindu Jannah

Kepala negara kembali melontarkan diksi yang membingungkan. Setelah sebelumnya diksi pulang kampung dan mudik, kini terlontar diksi berdamai dengan Corona sampai vaksin ditemukan. Parahnya, diksi ini malah muncul tidak lama setelah pernyataan perang melawan virus Corona, yang disampaikannya dalam pertemuan virtual KTT G20 pada Maret lalu. 

Saat itu, Jokowi secara terbuka mendorong agar pemimpin negara-negara dalam G20 menguatkan kerja sama dalam melawan Covid-19, terutama aktif dalam memimpin upaya penemuan antivirus dan juga obat Covid-19. Bahasa Jokowi kala itu, 'peperangan' melawan Covid-19.

Menyikapi dua diksi kontradiktif tersebut, yaitu damai dan perang, pengamat komunikasi politik, Kunto Adi Wibowo, menilai pesan terbaru itu adalah pesan tersirat kepada masyarakat Indonesia agar dapat lebih berdisiplin lagi dalam menjaga diri. 

Dia berhipotesis bahwa Jokowi menggunakan diksi 'damai' untuk memperlihatkan selama ini pemerintah tidak hanya diam dalam melawan Covid-19. Namun, hal itu kemudian dimaknai berbeda oleh masyarakat.

"Istilah berdamai itu seakan-akan melegitimasi perilaku masyarakat yang tidak patuh PSBB," kata Kunto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (8/5).

"Berdamai di sini seakan-akan, 'Ya sudahlah pemerintah sudah berusaha. Ini saatnya berdamai, fokus ke ekonomi'. Itu persepsi saya yang kedua," ujar pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad tersebut. 

Kunto malah memandang pesan 'damai' dari Jokowi itu bisa memicu potensi berbahaya terkait Covid-19, apalagi menjelang Hari Raya Idulfitri 1441 H. Kunto berkaca pada penerapan PSBB saat ini saja, masih banyak masyarakat yang mencoba untuk membandel dengan kebijakan pemerintah. Sehingga dia menilai pemilihan kata 'damai' di tengah situasi saat ini pun menjadi tidak tepat. Masyarakat kini seolah merasa lebih leluasa kembali untuk beraktivitas tanpa memahami maksud ucapan Jokowi itu secara utuh.

Diksi berdamai dengan Corona ini menyiratkan kegalauan sikap pemerintah. Tentunya ini menunjukkan visi pemerintah yang tidak jelas. Berpihak pada rakyat ataukah kepada segelintir pengusaha. Diksi ini pun sekaligus menegaskan inkonsistensi kebijakannya. 

Melalui akun resminya, Jokowi meminta masyarakat bisa berdamai dengan Corona hingga ditemukan vaksin. Perang melawan virus Corona harus diikuti dengan roda ekonomi yang tetap berjalan. Dengan status PSBB masih bisa beraktivitas meski ada beberapa penyekatan di beberapa hal. 

Selayaknya, jika pemerintah mengajak rakyat berdamai dengan virus Corona, harus diikuti pula dengan kebijakan yang tepat, jelas dan benar. Bahkan perlu memerintahkan Kemenristek, Kemenkes dan lembaga lainnya untuk melakukan koordinasi dan kerja sama, hingga vaksin Covid-19 segera ditemukan. Tak perlu menunggu ditemukan negara lain. 

Sayangnya, kebijakan pemerintah justru memangkas anggaran Kemenristek sebanyak 40 triliun. Sikap pemerintah ini menunjukkan bahwa pemerintah berlepas tangan dari tanggung jawab penanganan wabah dan cenderung mengambil kebijakan Herd Immunity (kekebalan mayoritas alamiah).  

Ketika mayoritas penduduk divaksinasi, virus tak mampu tersebar karena terblokir kemampuannya menginfeksi. Namun, apabila mayoritas masyarakat dibiarkan terpapar virus tanpa vaksinasi, maka hal ini akan membahayakan bagi keberadaan populasi manusia. Rata-rata algoritma kekebalan kelompok Herd Immunity harus mencapai 50-67% populasi. Artinya jika jumlah penduduk 271 juta, harus ada 182 juta terinfeksi dan harus kehilangan 16 juta jiwa dari 182 juta jiwa. 

Sikap pemerintah ini merupakan cerminan pemimpin dalam sistem kapitalisme. Pemimpin dalam sistem ini tidak akan serius dalam mengurus urusan rakyatnya. Namun, akan serius dalam mengamankan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Padahal dalam pandangan Islam, pemimpin adalah laksana penggembala (ra’in). Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).

Mindset amanah inilah yang membuat khalifah dalam khilafah, sangat serius mengurus rakyat. Menjaga keselamatan rakyat, apalagi jika terjadi wabah seperti saat ini. 

Untuk menjaga keselamatan rakyat akibat wabah, khalifah tidak akan pernah ragu dalam menetapkan lockdown sebagai solusi sebagaimana perintah syariat. Tak ada tawar-menawar dalam urusan syariat. Tetapi, kebijakan ini dibarengi dengan upaya penjaminan kebutuhan masyarakat terdampak. 

Tak hanya itu, khalifah akan mengupayakan untuk meminimalisasi korban. Khalifah akan mencari bagaimana mekanisme penyebaran penyakit tersebut. Sehingga akan ditemukan berbagai upaya antisipasi pencegahan berbasis bukti. Dengan upaya optimal ini, khilafah mampu menangani wabah.

Pada masa Rasulullah saw. dan para sahabat, ketika suatu wilayah terkena wabah penyakit menular, solusi yang bisa dilakukan hanyalah isolasi sembari diurus keperluan mereka. 

Pada mulanya, para ahli menduga bahwa pandemi cukup diatasi dengan kebersihan dan gaya hidup sehat. Namun, ternyata meski sudah melakukan hal tersebut, masih banyak yang terinfeksi. 

Akhirnya, para ilmuwan didukung dana negara melakukan berbagai upaya penelitian. Ditemukanlah vaksinasi. Vaksinasi inilah yang digunakan Sultan untuk menangani wabah smallpox (cacar) yang melanda khilafah Utsmani pada abad-19, tepatnya tahun 1846. Sultan memerintahkan penyediaan fasilitas kesehatan berupa vaksinasi untuk anak-anak muslim dan nonmuslim.

Itulah salah satu pelayanan jaminan kesehatan dan keselamatan nyawa yang diberikan khalifah kepada rakyatnya. Bukan dengan bermain diksi. Dari perang menjadi damai. Sungguh, justru membuktikan inkonsistensi. 

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post