Napi Bebas, Keamanan Tak Terjamin

Oleh : Maretika Handrayani, S.P 
(Aktivis Dakwah Islam)

Lengkap sudah penderitaan rakyat. Belum usai pandemi COVID-19  dan lambannya penanganan dari pemerintah, rakyat kembali harus menanggung kekhawatiran pasca dibebaskannya ribuan narapidana (napi) melalui program asimilasi dan integrasi Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di tengah pandemi COVID-19.  Pembebasan besar-besaran tersebut menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Kekhawatiran publik terbukti,dengan kembali ditangkapnya napi dibeberapa daerah karena berbuat pidana. Padahal, Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agar menjalani asimilasi di rumah. Nyatanya kebijakan itu tidak cukup ampuh mencegah terulangnya kriminalitas. 

Banyak pihak menilai bahwa program ini menuai masalah sebab pemerintah tidak menyiapkan sejumlah perangkat regulasi sekaligus persiapan yang matang untuk mengeliminasi dampak kebijakan percepatan pembebasan napi. Seperti yang diungkapkan oleh anggota komisi III DPR Nasir Djamil (Indozone.id.14/4/2020) bahwa para napi tersebut kembali melakukan tindak kriminal sebab tidak adanya ketrampilan dan keahlian apalagi di tengah himpitan ekonomi hari ini.

/Kebijakan Serampangan/
Membebaskan narapidana (napi) dengan alasan mencegah penyebaran virus Corona adalah kebijakan serampangan. Sama saja mempertaruhkan keselamatan dan keamanan masyarakat. Jika persoalannya adalah karena lapas kelebihan kapasitas maka seharusnya pemerintah mengupayakan tempat untuk menampung para napi sehingga memungkinkan physical distancing, menutup jam besuk sementara untuk menghentikan penyebaran virus Corona,dan langkah-langkah taktis lainnya. Bukan malah membebaskan napi yang justru berpotensi memunculkan persoalan kriminalitas baru.
Lapas yang kelebihan kapasitas menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem sanksi di negeri ini. Dengan semua pelaku kriminal di penjara mengakibatkan lapas penuh. Ditambah dengan adanya temuan beberapa lapas “elit’ yang kontras jumlah penghuninya dengan lapas-lapas biasa. Fakta diatas jelas kontraproduktif dengan semangat pemberantasan kriminalitas.

Berbeda dengan sistem sanksi dalam Islam misalnya potong tangan bagi pencuri, qishas bagi pembunuhan disengaja, rajam bagi pezina muhshan, jilid bagi pezina ghairu muhsan, selain memberikan efek jera juga menyelesaikan kasus kriminalitas hingga ke akarnya. Tidak akan muncul persoalan lapas kelebihan kapasitas dan akhirnya harus dibebaskan.

/Penjara dalam Pandangan Islam/
Islam memandang bahwa penjara adalah salah satu jenis dari ta’zir. Ta’zir adalah sanksi yang kadarnya ditetapkan oleh Khalifah. Sanksi dengan model pemenjaraan, telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin. Dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam dijelaskan, bahwa penjara adalah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Ini artinya, penjara adalah tempat dimana orang menjalani hukuman, yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Tidak peduli apakah dia miskin atau kaya; tokoh masyarakat atau rakyat biasa. Semua diperlakukan sama.

Dengan model penjara seperti di atas, tentu akan menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan. Efek jera inilah yang memiliki fungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, sanksi yang dijatuhkan akan mencegah pelaku yang bersangkutan atau orang lain untuk melakukan kejahatan serupa. Bahkan, setiap sanksi yang dijatuhkan oleh seorang qadhi atau hakim, juga berfungsi sebagai jawabir atau penebus dosa bagi para pelaku kejahatan. Sebab, setiap kejahatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja merupakan dosa, dan dosa akan berbalas siksa atau adzab. Karena itulah, sanksi dari hukum Islam akan mampu menebusnya. Berbeda dengan konsep penjara hari ini yang tidak berlandaskan aqidah Islam dalam bangunan sistem Islam. Maka tidak heran kriminalitas kembali dilakukan napi setelah keluar dari penjara.

/Negara Gagal Memberi Rasa Aman/
Pemerintah sejak awal kemunculan pandemi COVID-19 tidak menunjukkan kesungguhan dalam melindungi rakyat. Bukannya menyibukkan diri untuk mengatasi pandemi. Namun sebaliknya, jauh panggang dari api, rezim cuci tangan dari tanggung jawab mengurusi rakyat. Rezim memilih untuk membebaskan napi sebab dengan pembebasan 30.000 napi ada keuntungan yang diraih yakni menghemat pengeluaran negara sebesar Rp260 miliar. 

/Islam adalah Solusi/
Islam sebagai sistem hidup yang sempurna telah menetapkan penguasa adalah raa’in (pemelihara), tugasnya mengurusi rakyat dan memiliki peran menjaga keamanan rakyat. Negara harus berada di garda terdepan dalam menangani bencana termasuk pandemi COVID-19 ini. Lockdown atau karantina harus dilakukan oleh negara dengan tetap memfasilitasi hajat hidup publik dan menggratiskan fasilitas kesehatan. 

Sejarah telah mencatat keberhasilan institusi penerap syari’at Islam yaitu Khilafah dalam menghadapi wabah. Bagaimana langkah yang diambil oleh Khalifah Umar bin al Khaththab dan Gubernur Amru bin Ash yang telah mengaplikasikan hadits Rasulullah SAW dalam menghadapi wabah terbukti berhasil.

Islam pula telah melarang negara (pemerintah) mengambil keuntungan pada urusan rakyat yang menjadi tanggungannya, apalagi mempertaruhkan keselamatan dan keamanan rakyat di tengah bencana.

Sudah saatnya rakyat sadar dan mengambil aturan yang bersumber dari Islam dalam institusi Khilafah islamiyyah. Yang darinya lahir para pemimpin yang menyayangi rakyatnya dan mengurusi urusan rakyat dengan pemeliharaan yang benar yakni sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah saja. Yang darinya segala persoalan dapat terselesaikan hingga ke akarnya. Yang dengannya pula Allah berikan keberkahan di dunia dan keselamatan di akhirat.  Allahu a’lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post