Napi Bebas, Bukan Solusi Cerdas

Oleh: 'Aafiah Lasemi 
(Pemerhati Masalah Sosial)

Anda masih ingat dengan Bang Napi yang muncul setiap akhir acara berita seputar kriminal "Sergap" disalah satu stasiun tv swasta? Ada dua hal yang selalu diucapkannya. Pertama nasihat, "Ingat! Kejahatan bukan semata-mata karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan!" Lalu, ditutup dengan dua kata penting: "Waspadalah! Waspadalah!"

Sudah beberapa minggu terakhir ini rakyat diperintahkan untuk berdiam di rumah saja. Dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid 19 semua diminta patuh untuk melaksanakan, meski tanpa subsidi makanan dari  pemerintah. Namun, hal ini tidak sejalan dengan kebijakan yang diambil oleh Kemenhumkam berkaitan dengan hal tersebut.

Dilansir dari CNNIndonesia, Rabu, 08/04/2020 , Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia  telah mengeluarkan dan membebaskan 35.676 narapidana, termasuk anak binaan melalui program asimilasi dan integrasi. Kementerian yang dipimpin oleh Yasonna H. Laoly menggalakkan program ini guna mengantisipasi penularan virus corona (Covid-19) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas.

Kemenkumham juga mengklaim telah menghemat anggaran negara untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hingga Rp260 miliar. Penghematan itu terjadi setelah 30 ribu narapidana dan anak mendapatkan asimilasi di rumah serta hak integritas berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat( Tirto.id, 01/04/2020).

Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi Direktorar Jenderal Pemasyarakatan Yunaedi juga menambahkan bahwa pembebasan narapidana dan anak selain bisa menghemat juga bisa mengurangi angka overcrowding.

Bebaskan Napi Memantik Kritik

Wacana remisi atau pembebasan bersyarat bagi para koruptor di tengah pandemi disesalkan oleh 
sejumlah pihak. Sikap pemerintah terkesan mencari kesempatan (peluang) untuk meringankan hukuman para koruptor melalui wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai bahwa Yasonna sengaja memanfaatkan wabah Covid-19 sebagai justifikasi untuk merevisi aturan, hingga adanya  akal-akalan untuk mengaitkan kasus corona yang terjadi saat ini dengan upaya revisi agar narapidana kasus korupsi bisa cepat keluar sel.

Menurutnya lagi, wacana revisi ini bukan kali pertama. Pernah juga terlontar saat Yasonna menjabat sebagai Menkumham pada periode perta ma, 2015. Donald menilai, hal  tersebut tidak didasari oleh alasan kemanusiaan, melainkan  meringankan hukuman  koruptor (Kompas.com, 5/4/2020).
Memanfaatkan wabah corona untuk membebaskan napi dengan status kejahatan serius seperti korupsi merupakan langkah yang tidak tepat. Sangat lucu dan tidak masuk akal, masyarakat yang hidup bebas diminta masuk berdiam di rumah sedangkan yang di dalam penjara dibebaskan. Bukankah harusnya napi lebih aman di dalam penjara dan tidak berkeliaran? 

Jika yang menjadi alasan adalah kondisi lapas over kapasitas, maka  seharusnya negara bisa mencari tempat untuk menampung para napi atau cukup melakukan protokol kesehatan, physical distancing di lapas tersebut. Bukan malah membebaskan para napi yang berpotensi meningkatkan kriminalitas di masa krisis ekonomi seperti sekarang. 

Bahkan, seharusnya over kapasitas membuat pemerintah berpikir ulang tentang sanksi yang tegas dan efektif bagi pelaku kejahatan. Yakni memberikan sanksi yang membuat mereka tidak mengulangi kesalahannya kembali. Inilah fakta bahwa pemerintah tidak serius mengatasi masalah kriminalitas khususnya korupsi.  Mirisnya, kebijakan tersebut bukanlah solusi cadas, melainkan menyelesaikan masalah dengan  masalah. Ini telah terbukti,  seorang napi bebas asimilasi  baru  5 hari  tertangkap lagi karena ganja 2 kg (KumparanNews 8/4/2020). 

Perlu kita sadari bahwa semua ini berawal dari penerapan sistem Kapitalis Sekuler hari ini. Di mana kebijakan selalu disandarkan pada asas manfaat dan keuntungan bagi kelompok  tertentu saja. Landasan untung rugi dalam setiap keputusan kebijakan adalah harga mati tanpa mempertimbangkan dampak buruk dan ketimpangan keadilan bagi masyarakat kebanyakan. Semua hanya bicara maslahat untuk golongan yang berdoku dan sekutu. 

Adapun rakyat hanya menjadi sarana dan disapa saat ada maunya saja. Namun ketika butuh ulurannya, rakyat dipandang sebelah mata. Sungguh, rakyat kini sudah bosan berkali-kali dibohongi dan tidak diurusi. Disaat rakyat membutuhkan bantuan justru napi koruptor yang diperhatikan. 

Maka sekali lagi, pembebasan koruptor bukti pemerintah tidak bekerja untuk rakyat, tapi melayani  pesanan  para elite perampok uang rakyat. Di saat para  tenaga medis dan rakyat meregang nyawa, pemerintah masih sempat berupaya meraup tujuan pribadi semata dengan mencari  keuntungan 260 miliar dari pembebasan napi.

 Kembali ke Solusi  Pasti

Sesungguhnya, satu-satunya sanksi yang bisa memberi jaminan dengan tegas adalah Islam. Kasus pembunuhan, begal, termasuk korupsi bisa diselesaikan secara tuntas dan minim biaya. Baginda Rasul SAW adalah teladan terbaik bagi kita dalam menyelesaikan suatu perkara, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri termasuk koruptor. Beliau bersabsda: 

“Sesungguhnya yang merusak/membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka dulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka membiarkannya, tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari)

Dalam Islam, pelaksanaan hukum sesungguhnya memberi dua fungsi yaitu sebagai pencegah dan efek jera bagi pelakunya. Adapun para pelaku kriminal tindak pembunuhan, begal dll juga akan diterapkan hukuman yang tegas dan cepat. Begal membunuh tanpa mengambil harta, maka dia harus dibunuh. Namun jika disertai perampasan harta, dia dibunuh dan disalib. 

Maka sebenarnya pembebasan napi koruptor dan napi dengan kasus yang berbeda-beda tidak perlu terjadi. Karena pencegahan di awal telah ditempuh oleh sistem Islam. Setidaknya  Islam bisa  menimalisir tindak kriminal. Termasuk alasan penyebaran virus corona tidak akan membuat  repot pihak lapas untuk melakukan physical distancing, karena penerapan hukum Islam mampu mencegah orang untuk tidak masuk penjara apalagi sampai lama dan  berulang .

Oleh karena itu, sudah saatnya  umat ini beralih kepada aturan yang bersumber dari Wahyu Ilahi yang telah terbukti memuaskan akal dan menjaga manusia untuk bisa menjalani hidup yang sesuai dengan fitrahnya. Tercatat dalam kepemimpinan Khalifah Umar ra yang berhasil mengatasi wabah sebelum menjadi pandemi. Dengan lockdown dan jaga jarak, juga  Gubernur Amru bin Ash adalah tamsil keberhasilan mengatasi wabah. Tidakkah kita merindukan sosok teladan umat yang  orientasi hidup hanya  kepada kehidupan akhirat, dia sangat mencintai rakyat yang jadi gembalaanya. Wallahu a’lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post