Menyikapi Hadis Daif



Oleh : Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Akademi Menulis Kreatif

Hadis daif (lemah) yang dimaksud adalah:

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ 

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Doanya adalah doa yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.”

Selama ini banyak umat Islam yang meyakini bahwa hadis diatas adalah sahih. Hal Ini disebabkan karena  seringnya disampaikan oleh sebagian ulama, kiai dan ustaz, sewaktu kutbah atau ceramah pada bulan Ramadan. Ternyata derajat hadis tersebut daif (lemah). Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Perawi hadis ini adalah ‘Abdullah bin Aufi. Hadis ini dibawakan oleh al- Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437. Dalam hadis ini terdapat Ma’ruf bin Hasan,  dan dia adalah perawi yang daif (lemah). Juga dalam hadis ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih daif dari Ma’ruf bin Hasan. 

Dalam riwayat lain, perawinya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr. Hadisnya dibawakan oleh al- ‘Iroqi dalam Takhrijul Ihya’ (1/310) dengan sanad hadis yang daif (lemah). 

Kesimpulan: Menurut Syaikh al- Albani dalam Silsilah Ad Da’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang daif (lemah). 

Ironisnya, dikatakan bahwa tidur orang yang berpuasa adalah ibadah, merupakan sabda Rasulullah saw. Oleh sebab itu banyak orang-orang yang akhirnya bermalas-malasan di bulan Ramadan bahkan mereka lebih senang tidur daripada melakukan amalan, karena termotivasi dengan hadis tersebut. Biasanya yang menjadi korban anak-anak muda yang menjalani ibadah puasa sekadarnya. Orang semacam ini akan merugi karena tidak paham tentang hakikat Ramadan.

Bagaimana cara menyikapi hadis daif yang menyebutkan "tidur orang yang berpuasa adalah ibadah?"

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama bahwa kaedah setiap amalan yang statusnya mubah (seperti makan, tidur dan berhubungan suami istri) bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk melakukan ibadah.

Sebagaimana an- Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) mengatakan,

أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ 
“Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”

Juga disebutkan di dalam hadis lain dari Umar ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

  إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى 
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam ahli hadis)

Intinya, semua perbuatan harus ada niat dan  tergantung dari niat nya. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia, bahkan bisa jadi berdosa, karena bermaksiat meninggalkan kewajiban salat fardu. 

Namun, jika tidurnya adalah diniatkan agar kuat dalam melakukan salat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah. Semisal qailulah.

[1]. Qailulah termasuk ibadah yang disunahkan.

Sebagaimana disimpulkan oleh Imam Syarbini rahimahullah,

يسن للمتهجد القيلولة، وهي: النوم قبل الزوال، وهي بمنزلة السحور للصائم.

Disunahkan bagi orang yang ingin melakukan salat tahajud, untuk berqailulah, yaitu tidur sebelum Zuhur. Qailulah itu manfaatnya seperti sahur bagi orang yang puasa.

Dan ini dinyatakan oleh mayoritas ulama (Jumhur).

[2]. Ada yang mendefinisikan,  Qailulah adalah istirahat di pertengahan siang, meski tidak harus dengan tidur.

Kapan Waktu Qailulah?
Ada dua pendapat ulama dalam hal ini : sebelum Zuhur dan setelah Zuhur.

Pertama, sebelum Zuhur. Diantara yang memegang pendapat ini adalah Imam Syarbini rahimahullah, dalam pernyataan beliau di atas.

Kedua, setelah Zuhur. Pendapat yang paling rajih wallahua’lam, adalah pendapat ke dua ini, yaitu waktu qailulah adalah setelah masuk waktu Zuhur atau setelah melaksanakan salat Zuhur. Sebagaimana di jelaskan oleh sahabat Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu,

ما كنا نقيل ولا نتغذى إلا بعد الجمعة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم

Dahulu kami di zaman Nabi saw. tidaklah berqailulah atau makan siang kecuali setelah jumatan. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sungguh jelas sekali, bahwa setiap perbuatan harus dengan niat. Agar tidur kita bernilai ibadah harus diniatkan qailullah. Sebab, perbuatan dikatakan ihsan (baik) jika memenuhi dua syarat yaitu pertama, niatnya harus benar, karena Allah. Kedua, caranya harus benar pula sesuai syariat Islam. Perbuatan inilah yang mendatangkan pahala.

Dengan keistimewaan Ramadan, bulan penuh keberkahan. Semoga Allah menganugerahi setiap perbuatan kita ihsan sehingga bernilai ibadah. Segala puji bagi Allah dengan segala nikmat, dan segala kebaikan menjadi sempurna. Dengan demikian mendatangkan pahala, sehingga masuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post