Oleh:
Annisa S. Zahro
Kurang lebih 80 kepala keluarga (KK) warga
Desa Sukarapih Kecamatan Sukasari pemilik lahan yang tergerus proyek Tol
Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan) menanti pembayaran pelepasan hak. Salah
seorang pemilik lahan, Jajang Saputra mengatakan ada 136 bidang tanah yang
pendataannya sudah selesai, tapi belum ada pembayaran dari pengelola jalan tol.
Sudah lebih dari 14 hari sejak pemberkasan selesai, belum ada penyelesaian
ganti rugi kepada warga pemilik lahan yang tergerus pembangunan jalan tol.
“Aneh dan merasa bingung. Kami berharap segera ada pembayaran ganti rugi
mengingat sudah terlalu lama molornya. Kami ingin segera mencari lahan
pengganti,” ujarnya (kabar-priangan.com, 28/2/2020). Warga terus berharap akan
ganti rugi lahan tesebut, tapi nihil. Hingga saat ini ganti rugi lahan
terlambat. Yang menyebabkan harga tanah pun menjadi rendah. Bukannya keuntungan
yang diperoleh rakyat, tapi kerugian.
Persoalan atau permasalahan terkait
infrastruktur tidaklah menjadi masalah apabila sistem ekonomi yang digunakannya
merupakan sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, sebuah negara akan
mengelola seluruh kekayaannya sehingga mampu membangun infrastruktur yang dibutuhkan
untuk kemaslahatan rakyat. Dalam pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ámmah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) berdasarkan Islam,
menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus
berhutang.
Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan
sistem ekonomi kapitalis seperti sekarang, yang bertumpu pada investor asing
sehingga tidak hanya sibuk dengan berapa investasi yang dibutuhkan, tapi
darimana dan berfikir keras mengembalikan investasi bahkan menangguk keuntungan
yang diperoleh dari investasi tersebut. Sistem ekonomi kapitalis tidak
berprinsip bahwa pengadaan pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban yang
harus dilakukan negara untuk kemaslahatan terhadap rakyat.
Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur
yang masuk kategori milik umum harus dikelola oleh negara dan dibiaya dari dana
milik umum. Bisa juga dari dana milik negara, tetapi negara tidak boleh
mengambil keuntungan dari pengelolaannya. Walaupun ada pungutan, hasilnya harus
dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain. Ini
termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban
negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit,
jalan-jalan umum, dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi
masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka. Dalam hal
ini, negara tidak mendapat pendapatan sedikit pun.
Ada empat hal pembangunan infrastruktur
publik dalam Islam.
Pertama, dalam sistem ekonomi dan politik Islam,
pembangunan infrastruktur merupakan tanggungjawab negara, bukan ajang dalam
mencari keuntungan atau ajang untuk melancarkan hubungan diplomatik dengan
negara lain.
Kedua, sistem ekonomi Islam membahas secara
rinci dan tuntas masalah kepemilikan (milkiyyah), pengeloaan kepemilikan (tasharruf), termasuk distribusi barang dan
jasa di tengah-tengah masyarakat (tauzi’) juga memastikan berjalannya politik ekonomi (siyasah
iqtishadiyyah) dengan benar. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara
akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelenggaraan
negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya,
baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan,
kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan
wilayah dalam negara Islam didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi
kebutuhan transportasi. Sebagai contoh, ketika Baghdad dibangun sebagai
ibu kota, dibangunlah masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area
komersial, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah antara
laki-laki dan perempuan, pemakaman umum, dan tempat pengolahan sampah. Dengan
demikian warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya seperti menuntut ilmu atau berkerja karena semua dapat ditempuh
dengan perjalanan kaki yang wajar.
Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur
berasal dari baitul mal tanpa memungut biaya sepeserpun dari masyarakat.
Dengan demikian jelaslah bahwa hanya sistem
ekonomi dan politik Islam yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi
rakyatnya. Sistem ekonomi dan politik Islam dapat terlaksana secara paripurna
dalam bingkai Khilafah Rasyidah.
Post a Comment