Pajak, Alat Pemalak Rakyat di Negeri yang Subur


Oleh : Rati Suharjo
Pegiat Dakwah dan Member Akademi Menulis Kreatif


Ada suatu peribahasa, gemah ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharja, yang artinya wilayah yang penduduknya hidup makmur, aman sentosa, dan penuh kedisiplinan. Peribahasa tersebut sepertinya kalau diumpamakan di negeri ini maka akan sangat pantas.

Di mana negeri Indonesia memiliki tanah yang subur, beriklim tropis, bahkan mempunyai ladang tambang emas, perak, tembaga, minyak, gas, batu bara, nikel, perkebunan, pertanian, perikanan, dan yang lainnya. 

Seperti tambang emas Freeport saja menghasilkan 240 kilo gram per hari (CNBC, 26/8/2019) dan masih diperkirakan  cadangan emas dan tembaga yang jumlahnya mencapai 22 Ton. Dan ladang minyak yang berada di Blok Cepu Blora  Jawa tengah menghasilkan sebanyak 225 ribu barel per hari (CNBC,10/8/2019). Belum lagi jumlah yang lainnya.

Ironisnya negara dengan kekayaan melimpah tersebut seharusnya masyarakatnya hidup sejahtera, namun negara ini justru mengalami masalah yang sangat besar, yaitu terjerat hutang. Dan adapun rakyatnya hidup dalam penderitaan, seperti pengangguran, kemiskinan, dan biaya kehidupan yang semakin mahal. 

Menurut badan pusat statistik jumlah kemiskinan Indonesia naik. Daerah perkotaan  6.69% dan daerah pedesaan 12,85% (Sindonews.com, 1/10/2019). Menurut data tersebut penduduk tergolong miskin adalah yang mempunyai pendapatan 1,9 juta untuk keluarga yang berjumlah 4 atau 5 orang. Jadi setiap orang mempunyai jatah 400 ribu untuk sebulan (liputan 6, 15/7/2019). Kalau diukur biaya hidup  seperti saat ini sepertinya setiap penduduk menghabiskan 1 juta. Itu artinya penduduk Indonesia pada saat ini hidup dalam garis kemiskinan. 

Penyebab dari semua permasalahan ini adalah bahwa bangsa ini menerapkan kebijakan ekonomi neoliberalisme, sehingga segala kekayaan alam tersebut tidak menyejahterakan rakyatnya akan tetapi menyejahterakan pemilik modal, yaitu para kapitalis. Maka untuk mengentaskan permasalahan tersebut agar rakyat hidup sejahtera, pemerintah membuat kebijakan dengan penarikan pajak.

Negara yang seharusnya mengelola sumber daya alam dari hulu sampai hilir untuk menyejahterakan rakyatnya justru membuka peluang selebar-lebarnya untuk dikuasai kapitalis atas nama UU investasi. Indonesia pun hanya mendapatkan keuntungan beberapa persen saja. 

Penghasilan dari pengelolaan sumber daya alam tersebut belum bisa  melunasi utang negara, yang sampai saat ini telah menumpuk sebanyak 4779 Triliun. Jangankan melunasi, untuk membayar bunganya saja pemerintah mengambil dana dari APBN, dimana dana APBN tersebut sebagian besar berasal dari pajak. 

Seperti  dilansir oleh liputan 6.com, 7/1/2020, bahwa menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak sepanjang 2019 mencapai Rp1.332,1 triliun. Angka ini baru sekitar 84,4 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp1.577,6 triliun.

Karena anggaran dana APBN belumlah mencukupi, maka Menteri Keuangan menggalakkan lagi untuk mencari tambahan, yaitu memperlakukan minuman yang digemari masyarakat terkena bea cukai.


Seperti dilansir oleh Vivanews, 22/2/2020, bahwa Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengusulkan ke DPR akan memperlakukan harga minuman yang digemari oleh masyarakat Indonesia seperti, minuman berpemanis yaitu teh kemasan, minuman berkarbonasi, dan kopi konsentrat.

Bukan hanya itu saja kantong plastik alias kresek, serta mobil atau sepeda motor yang mengahasilkan emisi karbondioksida (CO2) juga akan dikenakan bea cukai. Menurut Sri Mulyani, penerimaan dari bea cukai tersebut mencapai Rp22 Triliun. Akhirnya pernyataan yang disampaikan oleh Sri Mulyani pun mendapat respon dari parlemen dan mengiyakan walaupun kapan realisasinya belum jelas ditentukan.

Jadi, ketika menerapkan ekonomi kapitalis, kesejahteraan rakyatnya tidak menjadi tujuan. Justru rakyat dijadikan alat untuk membiayai negara.

Berbeda dengan  negara Khilafah Islamiyyah. Dalam Islam segala sumber daya alam termasuk kepemilikan umum tidak boleh diprivatisasi, tetapi dikelola oleh negara. Dan hasilnya untuk kebutuhan negara dan untuk melayani rakyatnya dalam pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya. 

Kepemilikan umum sendiri meliputi, laut, sungai, mata air, lapangan, hutan, gunung, masjid, dan sebagainya. Maka khalifah tidak boleh mengalihkan kepemilikan tersebut, baik untuk individu maupun kelompok. 

Sebab, khalifah diberi hak oleh syara' untuk mengelola milik negara semaksimal mungkin agar pendapatan baitul mal atau APBN bertambah dan dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin sehingga milik negara tidak sia-sia. Pemilikan negara ini bukan berarti negara berubah menjadi pedagang, produsen, atau pengusaha. Tetapi, negara menjadi pengatur pengelola sumber daya alam dan hasilnya dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rakyat.

Tanah pertanian misalnya. Negara bisa memperkerjakan petani atau karyawan untuk memproduksikan lahan-lahan pertanian yang tidak digarap. Sehingga negara mendapatkan keuntungan dari tanah tersebut. Atau negara memberikan tanah pertanian kepada para penduduk desa yang tidak memiliki lahan pertanian. Sehingga dalam hal ini negara membantu warganya agar tidak menganggur.

Selain dari kepemilikan umum, APBN atau baitul mal mendapatkan sumber pendapatannya dari anfal, ghanimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, harta usyur, harta yang tidak ada warisanya, harta orang-orang murtad, pajak (dharibah), harta zakat, harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya. 

Ada pun penarikan pajak dilakukan apabila baitul mal dalam keadaan kosong. Itu pun jika seandainya daulah sudah melakukan segala penarikan dari harta kharaj, jizyah, usyur, fai, ghanimah, dan yang lainnya.


Sebab, jika kas negara kosong otomatis akan menimbulkan kemudaratan bagi kaum muslimin. Dan selain penarikan pajak, daulah mencari sumbangan suka rela kepada kaum muslim.

Ada pun kebutuhan dan anggaran yang harus didanai oleh baitul mal ada atau tidaknya kas negara. Dan menjadi wajib bagi negara untuk menarik dana kepada kaum muslim atau pajak adalah:

1. Pembiayaan jihad yang menyangkut pembentukan pasukan yang kuat, latihan militer, membeli peralatan yang canggih yang mampu menggetarkan musuh. Sehingga dakwah Islam bisa disebarkan ke seluruh dunia. Itupun jika khalifah mendeklarasikan jihad. Sebab jihad itu wajib, baik dengan jiwa maupun harta.

Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur'an surat at- Taubah ayat 41
Allah Swt berfirman:

اِنْفِرُوْا خِفَا فًا وَّثِقَا لًا وَّجَاهِدُوْا بِاَ مْوَا لِكُمْ وَاَ نْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ ذٰ لِكُمْ خَيْرٌ لَّـكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

"Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

2. Pembiayaan industri militer maksudnya adalah negara khilafah harus membangun industri persenjataan baik senjata ringan, berat ataupun canggih. Sebab, kalau tidak mempunyai dan membeli senjata kepada negara kafir, maka orang kafir tidak akan takut kepada kaum muslim dan bisa jadi orang-orang kafir membuat persyaratan yang sejalan sesuai dengan kepentingannya.

Kewajiban membangun industri tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur'an surat al- Anfal ayat 60 :

وَاَ عِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَا طِ الْخَـيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰ خَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ ۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمُ ۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْ ۗ 

"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)."

3. Pembiayaan untuk memberi nafkah orang-orang fakir, miskin, dan ibnu sabil.

4. Gaji tentara, pegawai, hakim, guru, dan aparat-aparat lain yang menjalankan pekerjaan untuk kepentingan kaum muslim.

5 Pembiayaan untuk sektor-sektor vital yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jika tidak menimbulkan bahaya misalnya pengadaan dan perawatan jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, pengadaan saluran air minum, dan lain-lain.

6. Pendanaan untuk keadaan darurat seperti bencana alam.

Itulah kebijakan negara Khilafah Islamiyyah dan kebijakan ini sudah diterapkan selama 13 abad lamanya. Untuk itu jika kita menginginkan kebijakan seperti khilafah, maka hilangkan demokrasi. Dan mari terapkan aturan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah. Karena hanya dengan sistem tersebut umat muslim dan nonmuslim akan hidup aman dan sejahtera.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post