Misteri Karamnya Bahtera Rumah Tangga

Oleh : Lela Albidari, S.Pd

Momen sakral ijab qabul menjadi momen bersejarah bagi setiap pasangan suami istri. Tak terasa airmata haru menetes tanpa mampu dibendung. Momen lima menit berharga itu telah mampu merubah “kamu”, “aku”, menjadi “kita”. Dimana segala yang dulunya terlarang, kini menjadi halal sudah. Terbayang kenikmatan dan keindahan membina biduk rumah tangga bersama. Berbagai rencana, bulan madu, mimpi-mimpi mulai dirajut bahu membahu untuk diwujudkan. Janji setia untuk sehidup sesurgapun terpatri dalam lubuk hati kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara. Hari-hari bertabur rayuan dan pujian kepada masing-masing pasangan.  Nasi hangat, sayur segar dan sajian cemilan homemade hingga kerlingan mata manja sang istri selalu membuat sang suami tak tahan berlama-lama berada diluaran, rindu ingin bertemu membuncahkan rasa.

Satu tahun, 2 tahun, 10 tahun, suasana rumah sudah mulai riuh dengan hiruk pikuk anak-anak. Rumah tak lagi serapi dulu. Begitupun dengan istri yang kini telah merangkap peran menjadi ibu dengan sederet anak-anak yang usianya berdekatan. Rambut tak lagi mengkilat dan harum, mandi tak sampai 5 menit, bajupun masih daster yang itu-itu saja dari pagi sampai suami pulang kerja di penghujung malam. Lantai rumah lengket dengan remah-remah makanan anak-anak, mainan berserakan hingga ke kamar mandi, hingga segelas kopi panas untuk sang pujaan hatipun terlewatkan karena sibuk membereskan rumah dan menemani anak-anak mengerjakan PR. 

Di sisi lain, suamipun tak kalah ambyar. Ia pulang dengan gontai, lembur hampir setiap hari tapi tetap koyak sana sini akibat limbung memenuhi nafkah keluarga. Potongan upah ini itu yang dilakukan perusahaannya telah membuatnya pusing 7 keliling darimana dia harus menambal segala kekurangan. Pulang kerja, disuguhi istri yang penampilannya tak lagi menggairahkan, tubuhnya beraroma nano-naon, mulai dari bau bawang hingga bau pesing, sementara di kantor ia disuguhi aroma segar strawberi rekan-rekan wanita dengan tampilannya yang aduhai. Belum lagi rengekan anak-anak dan keluhan istri tentang utang ke warung dan tagihan ini itu membuatnya semakin malas untuk hanya sekedar rebahan istirahat di rumah setelah penat seharian.
Di sinilah ibu butuh ruang untuk menghela nafas, bukan nyinyiran, bukan “judgement” dari suami yang mengira ia tak melakukan apa-apa sepanjang hari. Ibu butuh apresiasi, hanya butuh elusan lembut dikepalanya oleh kekarnya tangan sang pujaan hati disertai bisikan lembut yang menguatkan dan menghangatkan hati. Ia butuh hadiah-hadiah kecil dan jalan berdua menghirup udara segar bersama si cinta yang memastikan ia sama berharganya dengan peran suaminya mencari nafkah di luaran sana. 

Namun apa jadinya jika kedua hatinya tak lagi bertaut. Frekuensi keduanya tak lagi sejalan atau setidaknya bersandingan. Masing-masing menjauh, tenggelam dalam kekecewaan, menekuri kekurangan masing-masing. Keduanya rapuh, suami tak seperkasa dulu dalam memberikan yang terbaik untuk keluarganya, posisinya sebagai pemimpin seringkali tergeser tersebab penafkahan yang tak lagi layak. Istripun kepayahan menempatkan peran sebagai manajer rumah tangga karena gempuran ekonomi, godaan kenikmatan hidup, hingga jeratan feminisme telah menariknya dari kefitrahannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

Berbagai badai ujian menerpa bahtera rumah tangga. Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi alarm karamnya bahtera rumah tangga. Pertama, kesulitan ekonomi yang dirasakan oleh hampir semua keluarga, beban suami terlalu berat. Ia harus menanggung beban yang seharusnya bukanlah tanggungjawabnya. Tanggungjawab kesehatan dan pendidikan yang seharusnya secara finansial menjadi tanggungjawab negara kini harus ditanggung lelaki kita sendirian. Hari ini mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak tidaklah mudah. Di sisi lain, mudah sekali menghabiskan upah yang tidak seberapa itu. Popok bayi, susu si kakak, beras yang tidak lagi hanya cukup 1 kg sehari, nutrisi yang seimbang untuk seluruh keluarga, biaya pendidikan yang mahal, biaya kesehatan yang tak lagi terjangkau, pencabutan subsidi gas melon, hingga tarif dasar listrik yang selalu naik berkala ditambah dengan sistem token yang memaksa sang ayah untuk tidak menunda belanja token listrik jika tak ingin rumahnya gelap gulita. 

Dari sini diakui atau tidak biduk rumah tangga sudah masuk level siaga. Walau bagaimanapun ketahanan finansial menjadi faktor yang sangat penting untuk membentuk ketahanan keluarga. Keadaan ini akan memberikan efek domino yang serius, mulai dari pertengkaran kecil, mal nutrisi, menurunnya kualitas hidup, hingga memaksa sang istri turun tangan membantu perekonomian keluarga. Ia akhirnya dipaksa untuk menjadi setengah ibu, dimana ia tentu saja tidak dapat memaksimalkan perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Dunia luar hari ini tak sebersahabat dulu, apalagi untuk makhluk halus bernama perempuan. Banyak ranjau, godaan, hingga ancaman akan mengintai para perempuan jika ia harus menjadi wanita karir. Pergeseran kepemimpinan dalam keluarga, perselingkuhan, pelecehan seksual, hingga eksploitasi perempuan sangat rentan terjadi dalam kondisi ini.

Kedua, benteng ketaqwaan yang telah lama hilang. Gempuran sekulerisme dan kapitalisme telah menumbuhkan jiwa asosial dan less emphaty dalam anggota masyarakat termasuk keluarga. Islam yang seharunya menjadi pijakan kini telah digantung hanya sebatas ritual. Hak dan kewajiban suami istri tak lagi dipahami dengan benar. Anggota keluarga kering secara ruhiyah. Hilang ketakutan sekaligus kerinduan kepada Allah dan RasulNya. Penghuni rumah sudah lama kehilangan rasa sabar dan syukur atas kondisi yang ada. Anak-anak lepas kontrol dari pengawasan orangtua yang sibuk dengan dirinya sendiri. Tak ada lagi sapa dan elusan hangat, tak ada suara riuh anak-anak mengaji dan bersenda gurau. Mereka dibiarkan mengoreh jati diri mereka sendiri hingga terjerembab dalam lembah nistapun orangtua kadang masih tidak sadar. Kejadian pembunuhan seorang remaja psikopat menjadi pelajaran bagi kita tentang hilangnya suasana ketaqwaan di dalam rumah. 

Suami sebagai pendidik istri dan anak-anaknya telah melepaskan perannya. Gadget dan medsos telah membuat seluruh anggota keluarga tersedot perhatiannya, bahkan seringkali menjadi ajang untuk mendulang pengakuan akan eksistensinya. Kenapa? Karena di rumah, tak ada lagi cinta, kasih sayang dan perhatian yang bisa ia reguk. Istripun demikian, ia mulai lepas kontrol asik mojok di dunia maya dengan sang mantan. Curhat berjam-jam menumpahkan kegundahan rumah tangga dan kekeringan cinta hingga jatuh dalam kesenangan semu yang berujung pada zina dan perselingkuhan. 

Akhirnya, pergaulan bebas, LGBT, perselingkuhan menjadi imbas dari kondisi ini. Bahkan layangan gugatan cerai menjadi ending cerita yang memilukan. Terbukti sepanjang tahun 2019 hampir setengah juta janda baru diselendangkan kepada para istri. Mirisnya mayoritas gugatan dilayangkan oleh pihak istri. Berdasarkan data dalam naskah akademik RUU Ketahanan Keluarga saja, angka perceraian mengalami tren peningkatan. Misalnya, pada 2016 angka perceraian mencapai 365.654, pada 2017 meningkat menjadi 374.516, dan pada 2018 mencapai 408.202. 
Ketiga, Hilangnya peran negara. Memang akhir-akhir ini Ali Taher dari fraksi PAN dan sejumlah anggota DPR lain telah mengusulkan draft RUU Ketahanan keluarga sebagai reaksi atas maraknya keretakan rumah tangga. RUU yang terdiri dari 146 pasal ini diharapkan dapat mengatur secara komprehensif dibandingkan UU yang lain. Ada yang menilai positif ada juga kaum feminis yang menilai UU ini terlalu binal mengatur urusan privat setiap rumah tangga disamping mengembalikan negeri ini kepada hukum primordial patriarki.

Terlepas dari pro kontra RUU ini, ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pasal 25 menjelaskan tentang kewajiban suami istri dimana suami bertugas menjalankan kehidupan berkeluarga termasuk menjaga keutuhan, keamanan dan kesejahteraan termasuk mencari nafkah dan menyelesaikan masalah keluarga. Sementara istri bertugas mengatur rumah tangga, menjaga keutugan keluarga dan memperlakukan suami dan anak serta memenuhi hak-hak mereka sesuai norma agama, etika sosial dan ketentuan perundang-undangan.

Pasal ini hanya akan menjadi seonggok pasal saja tanpa kekuatan menyelesaikan masalah keluarga. Kenapa? Karena akar masalahnya tidak hanya sekedar suami istri tidak paham hak dan kewajibannya. Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini justru menjadi faktor utama luruhnya tatanan keluarga. Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, kebutuhan hidup semakin tidak terjangkau, istri terdesak mencari nafkah dan meninggalkan perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, anak-anak terjerembab dalam pergaulan bebas karena terfasilitasi media yang tak lagi ramah anak, hilangnya peran negara dan menyediakan pendidikan berkualitas yang akan melahirkan para calon ayah dan ibu yang tangguh, munculnya generasi cengeng dan banci, telah menjadi tersangka utama hancurnya benteng pertahanan keluarga.

Islam adalah agama yang paripurna. Bahkan urusan ranjangpun Islam turun untuk membantu manusia agar dapat mereguk indahnya mahligai rumah tangga hingga ke jannahNya. Islam akan memastikan setiap keluarga bahagia dan memahami betul hak dan kewajibannya. Di samping Islam akan memberikan pemahaman yang benar melalui sistem pendidikannya tentang konsep hidup, tujuan pernikahan, konsep qadla qadar, serta konsep qonaah dan rasa syukur. Islam juga akan menerapkan sistem komprehensif yang akan menunjang kokohnya bahtera rumah tangga. Baik itu sistem ekonomi, pendidikan, sosial, peradilan, politik, dan pemenuhan kebutuhan dasar lain. 
Sistem ekonomi yang benar dan mensejahterakan akan membantu para ayah dalam meringankan tugasnya, termasuk memenuhi hak-hak publik yang mendasar seperti pendidikan dan kesehatan, yang gratis lagi berkualitas. Lingkungan masyarakat akan dibuat sekondusif mungkin dengan menghilangkan konten-konten negatif termasuk media informasi. Negara memiliki kewenangan penuh dan menyaring informasi dan aplikasi apa saja yang dinilai buruk dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam, yang tersisa hanya konten Islami yang produktif. 

Setiap keluarga akan fokus meraih kebahagiaan hakiki, tidak teralihkan dengan kegiatan yang tidak penting. Keharmonisan keluarga terjalin, suami semakin paham dengan kepemimpinannya, istri merasa tenang dan terlindungi sehingga dapat fokus mengurus rumah tangga dan mencetak generasi cemerlang lewat sentuhan tangan lembutnya. Ia tak lagi tergiur iming-iming kaum feminis tentang kesetaraan gender karena ia merasa mulia dengan perannya. Anak-anakpun merasakan keutuhan keluarga, dengan hadirnya kedua orangtua membersamai bertumbuhnya mereka.

Walhasil, hanya Islamlah yang memiliki konsep paripurna dalam menyelamatkan bahtera rumah tangga. Ia telah terbukti ribuan tahun dalam mencetak keluarga-keluarga berkualitas. Menyelesaikan masalah rumah tangga tak hanya sebatas UU melainkan diterapkan aturan yang berasal dari Pencipta manusia itu sendiri, dan Islam sajalah yang memiliki itu. Wallahu A’lam bishshowwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post