Mewujudkan Ketahanan Pangan Ala Islam

Oleh : Dewi Sartika 
(Pemerhati Umat) 

" Orang bilang tanah kita tanah surga kayu dan batu jadi tanaman" penggalan lagu tersebut kini sepertinya sudah tidak berlaku lagi. Pasalnya, negeri yang notabene negara agraris tetapi faktanya banyak bergantung pada negara lain, seperti halnya kebutuhan akan bawang putih masih bergantung pada impor luar negeri. 

Memang, faktor geografis menjadikan tumbuhan ini sulit untuk hidup di wilayah Indonesia hanya beberapa daerah saja dapat memproduksi bawang putih, Tercatat dalam rentang waktu 2013-2017 hanya NTB, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang menduduki kasta teratas dalam urusan produksi Bawang Putih. Walaupun demikian produksi yang dihasilkan sangat jauh dari harapan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Sedangkan kebutuhan bawang putih mencapai 400 ribuan ton/tahun. Hal ini lah yang menjadi alasan pemerintah Indonesia doyan impor bawang dari luar negeri. Bawang putih menjadi komoditi yang rutin menguasai impor pada tanaman hortikultura Indonesia. Dalam rentang 2013-2018 rata-rata volume impor bawang putih mencapai 501.944,5 ton/tahun dan memiliki tren naik setiap tahunnya. Puncaknya volume impor tertinggi pada tahun 2018 yang tercatat 582.995 ton. Bahkan, dari seluruh stok bawang putih yang ada pada tahun 2018 sebanyak 93,68% di antaranya diperoleh dari impor. Suara.Com

Untuk menekan laju impor, maka pemerintah malakukan swasembada pangan terkhusus pada bawang putih. Pemerintah menargetkan 2021 swasembada bawang putih akan tercapai. Namun, pemerintah menyadari cara melakukan swasembada bawang putih tidaklah mudah ada beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya: Harus adanya lahan yang luas, setidaknya dibutuhkan sekitar 73.000 hektar sementara berdasarkan identifikasi lahan yang sesuai untuk penanaman bawang putih, 600.000 hektar.

Pemerintah harus mendorong, memotivasi petani agar mau menanam bawang putih. Ini dikarenakan para petani kurang tertarik untuk menanamnya, karena hasilnya yang kurang memuaskan sehingga petani enggan untuk meliriknya. Selanjutnya, pemerintah mewajibkan importir bawang putih menanam 5% dari total bawang yang diimpor sebagai syarat agar melakukan impor. Demikian kebijakan yang dilakukan pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa Kegagalan sistem kapitalis yang menempatkan negara sebagai regulator setengah hati dalam wujudkan Swasembada bawang putih. Ini makin buruk daerah kapitalis pasar (mafia pangan) adalah persoalan yang mustahil untuk diselesaikan. Dalam hal impor tidak terlepas dari mafia pangan.

Hal ini berbeda dalam sistem Islam dalam mengatasi persoalan Swasembada pangan terkhusus bawang putih dimulai dari produksi, distribusi dan pengendalian harga. Untuk produksi, maka sistem Islam akan memastikan bahwa produksi pangan harus bisa memenuhi dan bisa berlanjut. Mengenai pangan negara wajib mencarikan lahan untuk petani agar bisa menanam bawang putih dan juga wajib mendorong petani memberikan dukungan untuk menanam bawang putih dengan  mencarikan varietas unggul sebagai bibitnya.

Pemerintah juga harus melakukan penelitian, serta menjelaskan tentang bagaimana cara penanaman yang baik, sehingga, hasil produksinya maksimal. Pun juga, peran negara sangat diperlukan dalam menunjang hasil pertanian seperti mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah yang mati dengan memberikan tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah, memberikan bibit unggul, pupuk, serta sarana berupa alat alat produksi yang canggih secara cuma-cuma.  Sehingga sektor pertanian menjadi unggul dan mampu mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri. Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian.

Dalam hal distribusi, negara wajib mengontrol distribusi hasil dari para petani kekonsumenya agar tidak ada permainan sehingga dapat mengganggu pendistribusianya. pun juga soal pun juga soal penstabilan harga.  Ada dua cara untuk menjaga harga pangan tetap stabil.

Pertama, menghilangkan mekanisme pasar yang tidak sesuai dengan syariah seperti penimbunan, dan intervensi harga. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang penimbunan makanan,” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Jika pedagang, importir atau siapa pun yang menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar.

Kedua, Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak,” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi). Jika terjadi ketidakseimbangan (harga naik/turun drastis), Negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.

 Umar Bin al-Khaththab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Gubernur Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada Gubernur Amru bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Jika suplai dari daerah lain tidak mencukupi barulah negara mengambil kebijakan impor dari negara lain. Demikian rincinya islam dalam mengatur persoalan yang dihadapi oleh negara termasuk masalah ketahan pangan. Wallahu A'lam Bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post