Menyoal Hari Perempuan Internasional

Oleh : Ari Susanti, S.Si
Muslimah Bangka Belitung

Tanggal 8 Maret, dunia memperingatinya sebagai Hari Perempuan Internasional. Hari Perempuan pertama kali digelar sebagai perayaan nasional di New York pada 28 Februari 1909. Sejumlah negara Eropa merayakannya pada 8 Maret 1914 untuk mendukung perjuangan kaum perempuan dalam menentang diskriminasi dan ketidakadilan.  Hari Perempuan ini menjadi perayaan global ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional pada 1975, melalui Konferensi pertama tentang perempuan yang berlangsung di Mexico City.  Fokus dari perayaan ini adalah pemberdayaan perempuan di semua bidang.  Untuk tahun 2019  dirayakan dengan seruan meningkatkan pembelaan terhadap hak hak perempuan dan kesetaraan gender. (Tempo.co, Jumat 8 Maret 2019).  Di tahun 2020 ini, peringatan Hari Perempuan Internasional mengusung tema #EachforEqual, yang berarti setiap individu harus memiliki semangat untuk menantang stereotip, melawan prasangka dan merayakan pencapaian perempuan.   

Tidak hanya diperingati setiap tahun.  Perjuangan kaum perempuan demi membela hak-haknya serta demi mewujudkan adanya kesetaraan gender, juga bukanlah sebuah perjuangan yang tanpa dukungan kekuatan adidaya.  Di tahun 1980, PBB melanjutkan dengan Konferensi Perempuan ke II di Kopenhagen yang menguatkan isi konvensi tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW). Pada tahun 1985 di Nairobi terselenggara Konferensi PBB tentang Perempuan ke III, yang lebih memantapkan tujuan yang ditetapkan pada tahun 1975, tentang “Kesetaraan, Pembangunan dan Perdamaian.”  Pada tahun 1990, PBB menggelar Konferensi Vienna yang menyetujui program GAD (Gender And Development) dengan strategi PUG (Pengarus Utamaan Gender).  Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (Internasional Conference Population and Development-ICPD) tahun 1994 di Kairo, juga menjadi bagian penting dalam pemberdayaan perempuan.
  Konferensi menghasilkan program aksi bertema “Empowerment of Women” atau di Indonesia dikenal sebagai : Pemberdayaan Perempuan.  Disusul pada tahun 1995 PBB kembali mengadakan Konferensi Perempuan ke IV di Beijing Platform for Action – BPFA.  
Sekalipun demikian, persoalan perempuan tak jua kunjung mereda.  Mengutip dari Liputan 6.com, 8 Maret 2020, Direktur Jendral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti masih sulitnya akses pelayanan kesehatan mendasar bagi perempuan serta masih menderitanya perempuan dari penyakit yang dapat dicegah dan diobati.
  
Tidak hanya itu, Komnas Perempuan, mencatat terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP), sepanjang 2019, dari 1.417 kasus menjadi 2.341 kasus, atau naik 65% dari tahun sebelumnya. Kasus tersebut meliputi inses (pernikahan sedarah) 770 kasus, kekerasan seksual sebanyak 571 kasus dan kekerasan fisik sebanyak 536 kasus. (Tempo.co, Jumat 6 Maret 2020).  Sementara itu, dalam data pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan terkait kasus kekerasan terhadap perempuan lewat siber, yakni 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus), artinya naik sebanyak 300%. (mediaindonesia.com, 8 Maret 2020).

Benarkah Diskriminasi Pangkal dari Persoalan Perempuan?

Benarkah perbedaan gender atau diskriminasi menjadi sebab munculnya persoalan perempuan?  Boleh jadi jawabannya benar.  Fakta diskriminasi terhadap perempuan memang terjadi.  Menurut pengamatan aktivis pembela perempuan, diskriminasi ini disebabkan beberapa faktor. Yaitu adanya pengaruh tata nilai sosial budaya yang masih menganut faham patriarki, yaitu keberpihakan yang berlebihan kepada kaum laki-laki daripada perempuan.
  
Adanya produk hukum dan peraturan yang belum responsif gender serta adanya pemahaman ajaran agama yang mendudukkan posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Fakta adanya masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan karena faktor-faktor di atas memang benar adanya. Hanya saja, fakta ini terjadi pada sejarah peradaban beberapa bangsa sebelum kedatangan Islam.  Bahkan fakta diskriminatif masih berlangsung sampai sekarang, saat kaum muslim tidak lagi menerapkan Islam dalam kehidupan, khususnya dalam mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan.  Jauh sebelum datangnya Islam, fakta diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan digelar dalam beberapa episode kehidupan manusia.  Peradaban Yunani Kuno, Romawi Kuno, India Kuno, Yahudi (kitab Taurat yang telah diselewengkan), Nashrani (kitab Injil yang telah dimodifikasi), masyarakat Eropa baik sebelum atau sesudah masa renaissance, masyarakat Arab pra-Islam telah mengukir nasib perempuan yang tidak berdaya.  Ketika itu, semua peradaban tersebut memandang perempuan tidak lebih dari warga negara kelas dua atau sebagai barang pemuas hawa nafsu yang dapat diperjualbelikan.
  
Tak heran dengan pandangan seperti itu terjadi diskriminasi terhadap perempuan.  Meski kemudian terjadi perubahan paradigma pada ajaran Yahudi dan Nashrani (kitab perjanjian baru) terhadap perempuan, namun perlakuan diskriminasi dan kekerasan tetap saja tak terbendung.  Nampaknya perubahan paradigma ini tidak membuahkan hasil.  
Islamlah yang pertama kali mengubah nasib buruk perempuan, saat masyarakat Arab mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru dilahirkan.
  
Kelahiran bayi perempuan adalah aib bagi ayahnya.  Saat itu pula, perempuan menjadi harta warisan suami bagi anak laki-lakinya.  Sungguh tidak ada penghormatan terhadap perempuan kala itu.  Kemudian Islam datang membawa perubahan pada nasib perempuan
  
Kemuliaan dan kehormatan perempuan tetap terpelihara sepanjang kaum muslim meyakini dan menerapkan Islam dalam kehidupan.
Pangkal dari ketidakadilan yang diterima oleh perempuan bukanlah karena keberpihakan yang berlebihan pada kaum laki-laki.  Juga bukan karena adanya produk hukum dan peraturan yang mendudukkan posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan.  Para feminis yang juga kaum liberalis memiliki pandangan yang demikian terhadap persoalan perempuan. Sehingga solusi untuk perempuan agar terbebas dari ketertindasan dan kesewenang-wenangan adalah dengan berupaya keras mewujudkan pembelaan terhadap hak-hak perempuan dan kesetaraan di berbagai bidang kehidupan. Padahal akibat dari pandangan ini, muncul berbagai konflik,  persoalan disharmonisasi dalam keluarga dan masyarakat.  Akibat dari pandangan ini, perempuan didorong untuk menjadi manusia bernilai dan berharga dengan cara meninggalkan posisi dan peran terhormatnya untuk mengejar materi.  Perempuan-perempuan meninggalkan rumah dan mengharuskan dirinya untuk bertahan dalam persaingan publik bersama laki-laki demi mengejar status sosial.  Para perempuan diharuskan menjadi  seperti laki-laki diluar rumah, dan terpaksa harus menemui kenyataan bahwa mereka kerap kali mendapat perlakuan yang merendahkan diri mereka sendiri.

Pangkal persoalan yang mendera kaum hawa adalah rusaknya pemahaman (aqidah) yang merupakan  simpul besar (uqdatul qubra) pada diri manusia.  Jika simpul besar ini terurai, maka terurailah simpul-simpul  (persoalan-persoalan cabang) manusia.  Aqidah sekulerisme yang melahirkan liberalisme telah merasuki benak-benak kaum muslim.  Bagi mereka tujuan hidup bukan lagi untuk beribadah kepada Allah.  Tujuan hidup mereka adalah meraih sebesar-besarnya kenikmatan hidup yang bersifat materi, karena itulah bahagia menurut mereka.  Akibat berikutnya dari kerusakan aqidah adalah ditinggalkannya aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.  Dalam tatanan keluarga, perintah mentaati suami dianggap sebagai sesuatu yang mengekang perempuan.  Terhadap hukum poligami yang Islam membolehkannya, dan bisa dijadikan solusi bagi persoalan-persoalan manusia, masyarakat masih memandangnya sebagai sebuah aib sekaligus tindakan dzalim  suami terhadap istri.  Fungsi negara sebagai perisai/pelindung rakyat sehingga menjadi kewajiban negara dalam memastikan terpenuhinya segala kebutuhan baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan setiap rakyat warga negaranya juga tidak akan terwujud mana kala negara masih dengan sistem kapitalis demokrasinya.  Hal inilah yang membuat seolah-olah perempuan mau tidak mau harus memberdayakan dirinya secara ekonomi.  

Diperingatinya  Hari Perempuan Internasional setiap tahun, justru akan memperparah penderitaan yang dialami perempuan di  dalam sistem kapitalis demokrasi hari ini.  Hanya dengan  kembali kepada Islam Kaaffah lah bukan hanya perempuan tapi seluruh umat manusia di dunia akan mendapatkan kesejahteraan dan keberkahan hidup yang hakiki. Wallaahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post