KBM di Rumah Banyak Siswa Tertekan, Kok Bisa?

Oleh: N. Vera Khairunnisa

Akibat melonjaknya kasus virus korona, sebagian daerah telah mengeluarkan beberapa kebijakan agar pandemi ini tidak terus meluas. Salah satu kebijakannya yaitu meniadakan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Meski di sekolah tidak belajar, tapi bukan berarti libur.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menegaskan, siswa tidak diliburkan, tapi belajar di rumah secara daring melalui sebuah kurikulum yang telah dipersiapkan pemerintah provinsi.

"Kurikulumnya setengahnya dalam dua minggu itu adalah kurikulum pendidikan tentang Covid 19 dengan interaktif dan teknologi. Jadi anak-anak itu belajar di rumah mengerjakan PR, tanya jawab via handphone dengan gurunya, sehingga akhirnya anak-anak ini menjadi agen edukasi Covid 19." (www. bbb. com, 17/03/20)

Bahkan hingga kini (29/03/20), sebagian daerah mulai memperpanjang waktu KBM di rumah. Sebab faktanya, pasien corona masih terus mengalami peningkatan.

Memindahkan KBM ke rumah dengan menggunakan sistem daring nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Akan ada banyak kendala ataupun kelemahan dibandingkan dengan jika KBM dilakukan di sekolah. Hal ini karena tidak semua sekolah, guru ataupun peserta didik terbiasa dan mampu dengan sistem belajar secara daring.

Beberapa kendala itu antara lain, pertama, ketidaksiapan sarana atau fasilitas. Kenyataannya, tidak semua peserta didik memiliki sarana yang mampu menunjang KBM secara daring. Misalnya saja, ia tidak punya HP atau laptop. Atau punya HP, tapi kapasitasnya terbatas. Di sisi lain, masih banyak orang tua yang bahkan untuk membeli beras pun kesulitan, sekarang harus berpikir untuk membeli kuota.

Kendala lainnya adalah ketidaksiapan SDM, baik dari pihak sekolah, maupun rumah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 51 pengaduan dari berbagai daerah yang mengeluhkan anak menjadi tertekan dan kelelahan karena beban tugas. (www. kompas. id, 26/03/20). Hal ini menunjukkan ketidaksiapan lembaga sekolah, sehingga tidak mampu mengukur kemampuan siswanya.

Banyaknya tugas yang diberikan guru, salah satu alasannya adalah agar anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, tidak ada kesempatan bermain-main dan berkumpul dengan teman-temannya. Tujuan utamanya agar mereka tidak terpapar virus korona. Nyatanya, pemberian tugas tanpa mengukur kapasitas, berdampak buruk. Belajar jadi tidak menyenangkan. Tujuan pendidikan pun belum tentu akan tercapai.

Selain itu, para orangtua yang sebelumnya tidak pernah terlibat dalam mengajar anak-anak mereka, kali ini mereka dipaksa untuk turut serta. Memantau atau bahkan membantu anak-anak dalam mengerjakan tugas. Faktanya, tidak semua orangtua mampu melakukan hal itu. Bisa karena terbatasnya ilmu, atau terbatasnya waktu. Sebab tidak sedikit para orangtua yang tetap harus bekerja di tengah kondisi seperti ini. Alhasil, anak-anak pun terbengkalai. KBM sama sekali tidak berjalan. Anak tidak diperhatikan, malah dibiarkan bermain gawai sendirian.

Beberapa kendala ini bisa menjadi pelajaran di kemudian, agar apapun kondisinya, pendidikan tetap bisa dilaksanakan. Sebab ini adalah hal yang mendasar. Proses mencetak generasi. Sehingga harus betul-betul dilakukan dengan serius dan penuh dengan perencanaan.

Sebetulnya, berbagai kendala itu tidak akan muncul, ketika negara kita mau menerapkan sistem Islam. Sebab, meski seolah hanya perkara teknis, nyatanya semua berhubungan dengan sistem. Misalnya saja, kendala pertama yakni tidak semua siswa mempunyai fasilitas yeng menunjang untuk sistem pembelajaran secara daring. Hal ini tidak mungkin terjadi ketika ekonomi kita merata. Hari ini, teknologi sudah sangat canggih. HP bukan lagi menjadi barang mewah. Namun tetap saja masih ada yang belum mampu membeli, terutama untuk jenis HP yang menunjang berbagai aplikasi.

Termasuk masih banyak yang berebut antara uang beras atau uang kuota. Ini bukti bahwa rakyat masih banyak yang miskin. Padahal negeri kita kaya raya. Kalau dikelola dengan baik menggunakan sistem ekonomi Islam, pasti mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya. Sehingga semua warga tidak akan kesulitan kalau sekedar membeli ponsel, apalagi kuota. Hanya saja karena eksistensi ideologi kapitalisme menyebabkan semuanya jadi serba sulit.

Kendala kedua, ketidaksiapan sekolah dan rumah. Hal ini juga tidak akan muncul, ketika negara mau menerapkan sistem pendidikan Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam yaitu untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islam serta menguasai sains dan teknologi. Para guru dan orangtua akan bersinergi untuk mewujudkan hal itu. Artinya, tugas mendidik bukan sekedar tugas sekolah atau guru. Bahkan orangtua adalah pendidik pertama dan utama untuk anak-anaknya. Sekolah hanya membantu.

Oleh karena itu, memindahkan tempat belajar ke rumah akan menjadi hal yang biasa dan siap dilakukan sebab pihak sekolah percaya, bahwa orangtua akan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Sehingga dalam kondisi seperti ini, pihak sekolah hanya berperan sebagai pemantau saja. Hal ini tentu menjadi ringan.

Sistem Islam tidak akan membiarkan para ibu meninggalkan tugas utama mereka dalam mendidik anak-anak, apalagi dengan alasan bekerja. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang selalu menuntut para ibu untuk bekerja, dengan alasan kesetaraan gender. 

Semoga di tengah pandemi seperti hari ini, para ibu banyak yang mulai menyadari peran utamanya. Proses belajar di rumah tidak lagi jadi masalah, anak-anak tidak lagi tertekan, sebab ada ibu sholehah dan pintar yang siap mengajarinya dengan sabar.

Post a Comment

Previous Post Next Post