Ilusi Dibalik Pemberdayaan Perempuan

By : Suci Nur Rahmawati

Tak dapat dipungkiri, di era global saat ini banyak perempuan yang ikut berperan mencari uang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ironi, tapi memang itu menjadi hal yang sangat wajar. Kondisi saat ini memperlihatkan banyak laki-laki yang mengasuh anak di rumah, menyetrika, mencuci, dan melakukan tugas-tugas “Keibuan” dalam rumah tangga karena kurangnya lowongan pekerjaan untuk para laki-laki. Selain itu, didukung juga oleh pernyataan Bapak Suhariyanto selaku Kepala Badan Pusat Statistik (BPS)  yang menjelaskan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki cenderung lebih stagnan secara year-on-year. Sedangkan untuk perempuan, mengalami peningkatan yang lumayan signifikan. Peningkatan tersebut terjadi dari yang sebelumnya 50,89 persen pada bulan Agustus 2017 menjadi 51,88 persen pada bulan Agustus 2018. 

Jargon “Perempuan Berdaya” nampaknya menjadi salah satu motivasi perempuan era hari ini untuk semakin melejitkan potensi dalam dunia karir. Belum lagi mendapat dukungan  dari Presiden Joko Widodo yang disampaikan di depan para pemimpin negara anggota G20 pada hari Sabtu, 29 Juni 2019 mengatakan bahwa akses pendidikan dan pemberdayaan perempuan merupakan elemen penting untuk mencapai target Sustainable Development Goals. Hal tersebut malah menambah motivasi para perempuan untuk terus berkontribusi terhadap perekonomian dengan bekerja. Mereka selalu mengagung-agungkan jargon mereka “Perempuan harus mandiri secara ekonomi, jangan bergantung pada laki-laki atau suami”. Seolah itu menjadi mantra yang mampu membius kaum perempuan melupakan hakikat ia diciptakan. Walhasil, predikat ibu rumah tangga tak menjadi pilihan era perempuan masa kini. 

Nampaknya, kenyataan ini menjadi angin segar bagi para penggerak kesetaraan gender. Kesetaraan gender sendiri pertama kali adalah istilah yang diperkenalkan oleh kaum feminis dari barat yang menginginkan kebebasan dan kemandirian, bebas dari dominasi laki-laki dan mandiri dalam menentukan sikap dan mengelola hak milik mereka baik kekayaan maupun diri (tubuh) mereka sendiri. Salah satu visi yang ingin diraih yakni, perempuan harus berdaya dalam aspek perekonomian. 

Logika pejuan kesetaraan gender beranggapan, peningkatan partisipasi perempuan dalam bisnis, ekonomi, dan politik otomatis akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional di era digital sebagaimana yang dilansir dari dw.com. Tak mengapa perempuan berdaya dalam peningkatan perekonomian, namun nampaknya dampak yang dihasilkan tak boleh disepelekan. Apalagi di tengah era pilar kebebasan sekarang, perempuan bebas memilih apapun pekerjaannya. Tak jarang, pekerjaan mengeksploitasi tubuh misalnya dalam balutan modelling, menjadi dambaan entah itu berupa iklan media massa atau cetak. Belum lagi masuknya perempuan dalam bisnis PSK. perempuan punya tafsir sendiri bekerja itu yang seperti apa. Belum ada standar tetap dalam menentukan pekerjaan yang benar. Mereka tidak memikirkan pekerjaan yang akan mereka ambil, asal bisa mencapai tujuan yang diinginkan. 

Padahal fakta sekarang menunjukkan bahwa seringnya seorang perempuan bekerja  akan menimbulkan bangunan rumah tangga yang tidak kokoh. Seorang istri akan sibuk dengan pekerjaannya hingga melupakan kewajibannya untuk melayani suami, meskipun itu dalam perkara kecil seperti tidak menyiapkan makanan untuk dihidangkan. Selain itu komunikasi antara suami istri otomatis akan berkurang, yang itu bisa berdampak pada perceraian. Anak juga akan terkena imbasnya, orang tua yang selalu sibuk tidak sempat untuk mengurus, mendidik, dan mengajarkan anaknya sesuatu yang baik. Padahal orang tua terutama ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Miris, akibat kurangnya kasih sayang dan kontrol dari orang tua mengakibatkan rusaknya generasi muda, kriminalitas dimana-mana, dan free sex karena pergaulan bebas merebak. 

Padahal di dalam Islam sudah terdapat paket lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pemberdayaan perempuan itu sendiri. Sehingga tidak perlu mengambil ide kesetaraan gender sebagai wadah pemberdayaan perempuan, yang itu malah menghancurkan hakikat perempuan yang harusnya dihormati, dihargai, dan dilindungi hak-haknya dalam sebuah negara. Serta menyalahi fitrah keutamaannya sebagai ibu rumah tangga yang baik (al-umm warabatul bait). Apa yang sudah diatur dalam islam mengenai perempuan, pasti akan memberikan kebaikan bagi mereka yang mau tunduk dan patuh terhadap aturan Allah. Islam memperbolehkan perempuan untuk bekerja, namun ada hal-hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu. 

Namun terwujudnya penerapan Islam dalam hal memberdayakan perempuan tidak akan sempurna ketika era kebebasan sekarang masih menjadi pandangan kehidupan kita. Idealnya, para perempuan harus memahami hakikat utamanya sebagai ibu generasi peradaban. Sehingga, perempuan tidak terjerumus dalam narasi pemberdayaan era sekarang yang diorientasikan pada pencapaian karir semata. Selain itu, pengontrolan masyarakat pun juga perlu ditingkatkan. Keduanya pun perlu disinergikan dalam aturan kebijakan yang diatur dalam negara yang berfungsi untuk mengurusi masyarakat.

Post a Comment

Previous Post Next Post