Dilema Di Tengah Corona

Oleh : Yuni Maryani

Musibah bertubi-tubi tak henti menerpa negeri bernama Indonesia. Bencana korupsi-korupsi besar di tengah kemiskinan rakyat kecil pemberitaannya luput entah kemana. Bencana akibat kemaksiatan yang merajalela, banjir & gempa yang tak tahu penyelesaiannya seperti apa, menguap begitu saja. Hingga kini musibah-musibah tersebut seolah menjadi cerita biasa. Kini semua bencana tersebut tersingkirkan popularitasnya oleh pandemi virus corona atau Covid -19, yang berasal dari Wuhan,China. Sejak awal penyebarannya di Wuhan, China, Indonesia mengklaim dirinya steril dari paparan Covid-19 ini. Namun, Covid-19 ini menunjukkan ketangguhannya dengan berhasil menembus negeri tropis ini. Dari awal penyebarannya begitu cepat, di Indonesia sendiri data terakhir yang diperoleh hingga Selasa, 24 maret 2020 kemarin tercatat ada 686 orang. Dari jumlah itu, korban meninggal mencapai 55 orang, dengan jumlah yang sembuh 30 orang. (www.cnnindonesia.com).

Sementara pemerintah dari pusat sampai daerah dinilai lamban dan tidak siap dalam penanganan terhadap wabah ini. Bagaimana tidak, alih-alih melakukan strategi pencegahan sejak dini pernyataan pemerintah justru terkesan meremehkan penyebaran virus tersebut serta lambat merespon meski persoalan sudah di depan mata. Hal yang lebih mencengangkan lagi, pemerintah ternyata sibuk mengurusi dampak penurunan ekonomi akibat wabah dibandingkan mengurusi nasib rakyatnya. Seperti yang dikemukakan bupati Bandung H.Dadang M.Naser yang mengungkapkan "Isu Covid-19 berimbas pada penurunan pendapatan”. Karena ada imbauan untuk penutupan tempat pariwisata, keramaian, hotel dan restoran (Soreangonline.com). 

Disamping itu, Bupati kabupaten bandung pun dinilai belum transparan mengenai peta sebaran kasus virus corona di kabupaten Bandung. Padahal informasi tersebut sangat diperlukan agar masyarakat lebih waspada dan lebih siap dalam melakukan antisipasi. Sementara di kalangan masyarakat bawah dilema menyeruak antara hidup dan mati. Masyarakat bawah yang banyak bergantung pada upah harian tak punya pilihan lain. Social distancing sekedar himbauan pemerintah untuk belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah terpaksa tak diindahkan. Masalahnya, ketika harus berdiam diri di rumah, mereka harus kehilangan pendapatan. Para pejuang nafkah tetap harus berjibaku di antara kebutuhan perut dan ancaman terpapar virus.

Sungguh miris, pemimpin yang seharusnya menjadi junnah (pelindung) bagi rakyat justru mati fungsinya dalam sistem sekuler-kapitalis yang diemban negeri ini. Wajar seperti itu adanya, dengan ide sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) pemerintah menjauhkan diri dari syari'at Islam. Syariat Islam yang mewajibkan untuk Lockdown bagi wilayah yang terpapar wabah, justru dianggap anggap melumpuhkan perekonomian. Penguasa saat ini hanya fokus kepada untung rugi material dibandingkan serius dalam menangani wabah ini.  Padahal syari'at Islam sejatinya begitu sempurna menyediakan solusi pandemi. Namun seperti jauh panggang dari api, manusia-manusia yang disetir kapitalis justru isi benak mereka tak lebih dari hawa nafsu yang serakah menuntut dipenuhi tak peduli halal dan haram. Sejumlah nyawa yang melayang setiap harinya hanya dianggap angka-angka statistik semata, dipandang tanpa hati nurani.

Rakyat dapat merasakan saat ini sulitnya mendapatkan masker untuk melindungi diri di tengah wabah, negeri ini malah mengekspornya ke Tiongkok (Batampos.co.id,rabu 18 maret 2020). Belum lagi penimbunan oleh pihak tertentu menyebabkan kelangkaan & harga masker yang melonjak. Lagi-lagi rakyat yang jadi korban.

Pemeriksaan Covid-19 yang harganya mahal justru diprioritaskan untuk para pejabat dan anggota dewan. Rakyat menengah ke bawah mengalami kesulitan untuk menyuplai gizi seimbang untuk meningkatkan imunitas tubuh. Korban terus berjatuhan tanpa tahu kapan berakhir. Belum lagi penguasa yang tidak memiliki mental mengurus rakyat dalam kondisi genting seperti ini lebih memilih herd immunity tanpa vaksin dibandingkan melakukan Lockdown. Itu artinya, membiarkan rakyat mati perlahan, dan bersiaplah kuburan massal akan menjadi pemandangan yang memilukan. 

Babak belur dengan keadaan harusnya rakyat menyadari ada yang salah pada sistem yang bukan berasal dari Allah yaitu sekuler-kapitalis yang menyebabkan kehancuran dalam segala aspek kehidupan. Sementara dalam sistem Islam yang diterapkan oleh negara khilafah dari penguasa hingga rakyat semua meyakini bahwa wabah adalah musibah, maka selayaknya musibah ini semakin menguatkan keimanan kepada Allah swt dan berserah diri kepada-Nya, bertaubat serta terus meningkatkan taqarrub kepada Allah swt, di samping terus memaksimalkan ikhtiar. Bercermin pada sejarah melihat kembali bagaimana Rasulullah saw menghadapi wabah.Beliau saw bersabda:
"Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah tersebut. Sebaliknya jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu (HR. Al-Bukhari).

Dari hadits tersebut maka negara Khilafah akan menerapkan kebijakan karantina dan isolasi khusus yang jauh dari pemukiman penduduk apabila terjadi wabah penyakit menular. Inilah yang kita kenal saat ini dengan kebijakan Lockdown, yaitu mematikan seluruh aktifitas masyarakat dan mengunci mereka di dalam rumah-rumah mereka untuk melelahkan virus sehingga tidak ada lagi yang tertular. Pemerintah pusat tetap memberikan pasokan bahan makanan kepada masyarakat yang terisolasi. Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Selama isolasi, diberikan petugas medis yang mumpuni dan mampu memberikan pengobatan yang tepat kepada penderita. Petugas isolasi diberikan pengamanan khusus agar tidak ikut tertular.

Begitulah Islam dengan kesempurnaanya menyelesaikan segala permasalahan termasuk wabah. Setelah melihat semua fakta memilukan yang terjadi, masihkah kita ragu dengan kesempurnaan Islam dan enggan menerapkannya?

Wallahu'alam bish-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post