Terowongan Silaturahim Bukan Solusi

Oleh: Anggun Permatasari

Presiden Joko Widodo mengatakan bakal ada terowongan bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal ke Gereja Katedral, Jakarta Pusat. Terowongan itu dibangun untuk mempermudah silaturahim antar umat beragama. (https://amp-tirto-id)

Laman republika.co.id mengabarkan bahwa rencana tersebut disambut baik oleh Kepala Humas Masjid Istiqlal, Abu Hurairah dan Ketua Komisi Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Paulus, Jerry Sumampow.

Wacana pembangunan terowongan antara Istiqlal dan katedral dinilai Jerry Sumampow sebagai simbol toleransi. Pasalnya, jemaat gereja sering memarkir kendaraannya di halaman masjid Istiqlal, jadi mereka kerepotan kalau harus menyeberang atau memutar balik terlebih dahulu.

Diharapkan, kehadiran terowongan memberikan efektivitas waktu dan tenaga lebih maksimal untuk ibadah.

Namun, agenda ini cukup menuai pro-kontra di ruang publik. Ide pembangunan terowongan terasa janggal karena bukankah akan lebih baik silaturahim dilakukan secara terbuka. Sebab, umumnya, terowongan dibangun sebagai jalan atau tempat arahasia.

Dilansir dari beranda tempo.co, "Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan pembangunan terowongan Istiqlal-Katedral yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral tidak mengurangi urgensi pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan."

Pernyataan Haili seolah mewakili apa yang dipikirkan masyarakat. Mampukah keberadaan terowongan silaturahim ini menjadi solusi jurang komunikasi antarumat beragama? 

Berdasarkan rentetan kasus antarumat beragama yang terjadi saat ini, disadari atau tidak, diakui atau tidak, umat Islamlah yang sering dirugikan. Faktanya, saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataan sulitnya menunaikan perintah agamanya secara sempurna. Bahkan keteguhan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya dilabeli radikal atau anti Pancasila.

Syariat Islam sangat menjunjung toleransi antar umat beragama. Bahkan, tidak ada paksaan untuk memeluk islam. Namun, toleransi yang digembar-gemborkan saat ini justru menggiring umat Islam pada kesalahan yang bisa membatalkan syahadatnya.

Kesalahan itu contohnya adalah mendatangi tempat ibadah kepercayaan selain Islam, mengucapkan selamat dan ikut merayakan hari besar agama lain dan memakai atribut atau simbol agama lain.

Allah swt. berfirman dalam surat Al-Kafirun ayat 5-6, "Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.

Oleh sebab itu, sia-sialah pembangunan terowongan silaturahim ini. Karena secara syariat, umat Islam dilarang mengunjungi tempat ibadah agama lain. Umat sangat mencemaskan program pembangunan terowongan silaturahim yang dijadikan sebagai ikon toleransi beragama adalah wujud keberpihakan pemerintah pada liberalisasi beragama.

Tidak dapat dipungkiri, opini yang digencarkan rezim saat ini menghalau umat Islam untuk melaksanakan titah Illahi secara kaffah. Toleransi yang kebablasan membuat umat Islam justru alergi terhadap syariat Islam yang sempurna dan paripurna dalam al-quran dan assunah.

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).

Wajar apabila umat mengkhawatirkan wacana tersebut merupakan bagian dari kampanye pluralisme agama.

Seperti kita ketahui bersama, saat ini Indonesia sedang dilanda krisis multidimensi. Berbagai permasalahan seakan berlomba menjumawa. Kemiskinan yang mengakibatkan kelaparan, gurita korupsi di tubuh pemerintahan, mewahnya biaya pendidikan, mahalnya harga kesehatan, narkoba, hingga kasus intoleransi antar umat beragama.

Yang mengherankan, saat ini justru pemerintah sibuk memengurusi masalah toleransi beragama dengan menjadikan umat muslim sebagai kambing hitam. Sehingga permasalahan inti yaitu kemerosotan ekonomi terpendam. Narasi radikalisme digiring dan ditujukan kepada umat Islam yang istiqomah. Dan yang membuat miris, bidikan itu hanya ditujukan kepada umat Islam.

Contohnya, kasus wanita yang membawa anjing masuk masjid. Wanita tersebut dibebaskan hanya karena pura-pura stres. Sedangkan, para pegawai yang menolak mengenakan atribut natal dicap intoleran. Juga banyak kasus penghinaan terhadap Nabi Saw. dan simbol-simbol agama di jejaring sosial namun pelakunya tetap dibiarkan dan tidak dikenakan sanksi. 

Seperti yang kita ketahui, saat ini negara sedang menggiatkan proyek moderasi agama (liberalisasi beragama). Bahkan, tafsir alquran-pun tidak luput dari proyek ini. Tentunya hal ini bisa menyesatkan umat islam karena memadukan antara haq dan batil.

Sejatinya sikap intoleransi antarumat beragama tumbuh subur akibat diterapkan sistem demokrasi liberal. Kebebasan yang kebablasan menjadi biang kerok terjerumusnya umat Islam kedalam lembah kesesatan. Pembiaran dan kebijakan yang dikeluarkan negara merupakan tersangka utama semakin maraknya kasus perpecahan antarumat seagama dan antar umat beragama.

Padahal, dalam hukum Islam telah jelas mengatur hubungan dengan orang yang berbeda keyakinan. Toleransi dalam Islam batasannya sudah jelas, sayangnya batasan-batasan itu sendiri dianggap sebagai sikap intoleran oleh khalayak.

Sejarah mencatat bahwa Islam adalah agama paling toleran di muka bumi. Islam telah mengajarkan dan mencontohkan sikap toleransi sejak masa Rasulullah saw. Tuntunan Islam begitu menghargai dan menghormati pemeluk agama lain.

Dalam syariat Islam, penyimpangan hal pokok (ushul) tidak boleh ditoleransi, tetapi wajib diluruskan. Namun, perbedaan dalam cabang (furu’) harus dihargai dengan jiwa besar dan lapang dada. Itu merupakan tugas khalifah yang akan mempersatukan perbedaan di tengah-tengah umat. 

Perlakuan adil dalam Negara Khilafah terhadap non-Muslim bukan hanya konsep belaka, namun, direalisasikan dalam bentuk kebijakan hukum. Hal ini diterapkan bukan berdasarkan pada tuntutan toleransi ala masyarakat Barat, melainkan semata-mata karena menunaikan syariah Islam. 

Daulah Islam di Madinah yang dipimpin Rasul saw. dahulu mencerminkan kepiawaiannya dalam mengelola keberagaman. Umat Islam, Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski mereka hidup dalam naungan sistem kekhilafahan Islam, masyarakat non-Muslim mendapatkan hak-hak yang serupa sebagai warga negara.

Jaminan keamanan diberikan negara kepada non-Muslim, mereka bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Nabi Muhammad saw. pernah menyuapi orang Yahudi yang suka mencelanya, beliau juga menjenguknya saat sedang sakit. Nabi Saw. juga melakukan transaksi jual-beli dengan non-Muslim dan saling menghargai dengan tetangga non-Muslim.

Saat ini, sikap ambigu negara yang bahkan sangat anti dengan hukum yang datangnya dari Islam merupakan pemicu terjadinya intoleransi itu sendiri. Oleh karena itu, peran negara dalam menegakkan hukum berkaitan kemajemukan masyarakat di Indonesia untuk mencapai kerukunan beragama sangat penting.

Dan hal demikian sangat mustahil terwujud apabila sistem yang diadopsi adalah sistem yang menghamba kebebasan. Kesadaran umat dan kebangkitan umat diperlukan untuk kembali kepada alquran assunah. Dengan sendirinya, in syaa Allah kerukunan antar umat akan terjalin mesra secara terbuka tanpa harus dibangun terowongan bawah tanah. Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post