Pentingkah Membangun Terowongan Silaturahmi?

Oleh : Afika Khairunnisa

Kejutan! Taraaaaaa!. Kali ini umat kembali dibuat heran dengan ide pemerintah yang penuh kejutan. Terowongan silaturahmi. Ya! Itulah yang bakal direncanakan dalam waktu dekat ini. Presiden Jokowi mengatakan pembangunan terowongan bawah tanah yang menghubungkan antar 2 rumah ibadah yang berbeda yaitu Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral adalah sebagai simbol silaturahmi antar kedua umat beragama. Istana juga menyebut bahwa terowongan itu memiliki pesan toleransi. Tujuan dibangunnya terowongan tersebut untuk mobilisasi jemaah dari Istiqlal ke Katedral atau sebaliknya, dan juga dianggap sebagai ikon unik melambangkan toleransi.

Pro dan kontra tentu saja ada. Bagi yang  pro maka akan menganggap rencana Pak Jokowi sangat baik karena bisa menjadi obat intoleransi di Indonesia. Bagi yang kontra, seperti Muhammadiyah dan PBNU mempertanyakan urgensitas pembangunannya.  Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, pembangunan terowongan itu sebaiknya ditinjau ulang. Menurutnya, masyarakat saat ini tak membutuhkan "silaturahmi" dalam bentuk fisik yaitu berupa terowongan. Melainkan, kata dia, masyarakat membutuhkan silaturahmi dalam bentuk "infrastruktur sosial". Infrastruktur sosial disini maksudnya adalah keberpihakan pemerintah membangun toleransi autentik dan hakiki bukan toleransi basa basi yang penuh kebasian. Adapun menurut Said Aqil, pembangunan terowongan itu tidak perlu. Harus memiliki nilai. Ia mempertanyakan urgensitas pembangunannya. Lantas jika begini, pentingkah membangun terowongan ini?

Memang penuh kejutan idenya pemimpin. Kejanggalan dan keanehan mewarnai ide ini. Betapa tidak? Mengapa hal ini yang harus di urus? Sementara banyak hal penting lain yang harus di urusi. Tanpa ada terowongan, secara simbolis pun lokasi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang berhadap-hadapan sudah menggambarkan toleransi itu sendiri. Penggunaan tempat parkir masjid atau gereja jika salah satu rumah ibadah itu beragenda juga sudah menandakan betapa toleransi itu dijunjung tinggi. Jadi, pesan toleransi sudah terlaksana sejak dulu. Tidak perlu bikin terowongan dengan alasan toleransi, apalagi sampai pencitraan membuat ikon unik yang seolah-olah melambangkan toleransi. Apakah ada makna terselubung dibalik ini? Mengapa harus membuat ikon unik yang bertema seperti ini? Apakah agar para wisatawan asing akhirnya tertarik dengan ikon ini? Atau apa karena terlalu pekanya, hal tidak perlu semacam ini harus mendapat perhatian dari Presiden? Sementara hal-hal yang seharusnya mendapat perhatian lebih tidak berada dalam pemikiran Presiden? Seperti urgensi membayar utang negara, membersihkan korupsi di lembaga pemerintah, berkeadilan dalam memandang kasus intoleransi antar umat beragama, kenaikan harga dan tarif layanan publik, kemiskinan, problem pendidikan, lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Semua problem itu sangat perlu dipikirkan solusi jangka panjangnya. Bukan memikirkan terowongan bawah tanah.

Tentang dana terowongan, lebih baik kas negara diprioritaskan pada program dan kebijakan yang pro rakyat. Yang tidak urgen seperti ini malah menunjukkan keborosan. Sudahlah utang negara menumpuk, tak usah ditambah keruwetannya dengan anggaran yang tidak perlu. Masih banyak persoalan negeri ini yang butuh diselesaikan. Jadi, kami rasa, membangun silaturahmi bisa dilakukan dengan mewujudkan toleransi yang asli bukan sekadar basa basi. Toleransi hakiki yang saling menghormati antar umat beragama. Bukan mencampuradukkan agama. Bukan pula mengembuskan narasi intoleran pada satu kelompok mayoritas lalu mengelu-elukan kaum minoritas. Mayoritas tertindas oleh minoritas. Begitulah yang seringkali dirasakan oleh umat Islam di negeri ini.

Adapun mengenai penting tidaknya terowongan dibangun, maka perlu dilihat tujuannya. Kalaulah tujuannya untuk mempermudah mobilisasi jemaah, kira-kira butuh berapa menit yang dibutuhkan jemaah berjalan dari parkiran ke katedral atau sebaliknya? Apakah butuh bermenit-menit hingga berjam-jam? Tidak kan? Artinya, pembangunan terowongan itu memang tidak diperlukan dan tidak penting. Buang-buang tenaga, waktu, dan pikiran saja.

Jika dikatakan akan di gunakan untuk menyambung tali silaturahmi, maka apakah pemerintah sadar bahwa didalam islam sendiri memiliki batasan syar'i untuk berhubungan dengan non muslim? Diperbolehkannya hal tersebut adalah dalam hal muamalah seperti jual beli, berbisnis dan semacamnya. Sama sekali bukan dalam hal ibadah. Lalu untuk apa sebenarnya pembangunan terowongan tersebut? Dan mengapa harus terowongan? Sungguh tak bisa dipercaya.

Bahkan, terlebih lagi mengenai dana Pembangunan terowongan bawah tanah ini tentulah tidak murah. Hal ini akan menguras kantong keuangan negara ditengah krisis yang melanda. Ini merupakan pemborosan yang benar-benar tidak bermanfaat, kecuali bagi mereka para pemilik kepentingan. Lebih baik kas negara diprioritaskan pada program dan kebijakan yang pro rakyat. Yang tidak urgen seperti ini malah menunjukkan keborosan. Sudahlah utang negara menumpuk, tak usah ditambah keruwetannya dengan anggaran yang tidak perlu. Masih banyak persoalan negeri ini yang butuh diselesaikan.

Sudah jelas, toleransi yang sesungguhnya adalah bagaimana sikap kita untuk tidak mengganggu ibadah umat agama lain atau tetangga yang sedang melaksakan hari raya mereka. Maka pembangunan terowongan tersebut justru menjadi bukti toleransi yang kebablasan!

Sebagaimana dalam surat Al-kafirun ayat 6 mengenai toleransi dalam Islam :
"Bagimu agamamu dan bagiku agamaku"

Sehingga adanya pembangunan terowongan tersebut justru bisa berdampak pada keguncangan dalam aqidah umat Islam, karena semakin intensifnya "hubungan" antara kaum muslimin dengan non-muslim. Sungguh kekacauan negeri yang tidak disadari seperti ini akan terus berlanjut jika kita terus saja tunduk kepada sistem kufur kapitalisme-sekuler. Tanpa disadari ini bisa terjadinya pluralisme beragama. Yaitu pada akhirnya menganggap semua agama itu sama saja. Pembangunan terowongan antara Istiqlal dan katedral sebagai  symbol toleransi beragama adalah wujud keberpihakan pemerintah pada liberalisasi beragama.

Maka waspadalah bahwa Kebijakan ini bisa disusul semakin maraknya kebijakan dan kampanye pluralisme agama. Menggambarkan bahwa negeri muslim terbesar ini sedang menggiatkan proyek moderasi agama (liberalisasi beragama) yang bisa menyesatkan umat islam dengan pencampur adukan antara haq dan batil. Ya bisa saja!, begitulah tanggapan penulis.

Dan mari kita lihat dalam kacamata Islam. Bahwa di dalam Khilafah sendiri tempat ibadah antar umat beragama tidak boleh berdekatan. Hal ini ditujukan demi kenyamanan saat beribadah, sehingga tidak terjadi guncangan aqidah bagi umat islam sendiri khususnya. Sebab, Indonesia tak butuh simbol-simbol seperti terowongan toleransi, tapi sesuatu yang lebih konkret; sesuatu yang dapat menekan praktik intoleransi dan diskriminasi di tengah masyarakat, bukan hanya simbol saja, tetapi pendiskriminasian terus berjalan secara masif, seperti mempersulit umat Islam untuk mengikuti ajaran agamanya sendiri. Lantas, ide ini sungguh langkah yang kurang tepat dan tidak sama sekali memperkecil pendiskriminasian. Dan tentu saja banyak masalah lain yang lebih penting dari pada ide pembangunan terowongan silaturahmi ini.
Nah, dengan begini pentingkah membangun terowongan silaturahmi?

Post a Comment

Previous Post Next Post