Kewajiban Mengikuti Sistem Pemerintahan yang Diajarkan Nabi Muhammad SAW

Oleh : Afika Khairunnisa
(Aktivis Dakwah Kampus)

Baru-baru ini kembali terhembus pernyataan yang semakin membuat umat Islam tercengang hebat. Pernyataan itu muncul dari kalangan intelektual. Pasalnya ini terkait dengan sistem pemerintahan yang di emban oleh Nabi Muhammad SAW dulu. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad Saw haram hukumnya. Ia juga menyatakan  Kita tak perlu negara Islam, tapi negara islami, New Zealand islami itu, Jepang islami," katanya lagi. "Keduanya, Malaysia dan Indonesia ingin membangun masyarakat islami, tapi bukan teokrasi islam," jelas Mahfud. Ia menegaskan hal itu pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (25/1). (NU ONLINE).

Pernyataan Menkopolhukam bahwa haram mencontoh negara Rasulullah adalah pernyataan berbahaya yang bisa mencederai/ merusak iman seorang muslim. Betapa tidak? Dengan pernyataan ini maka orang-orang awam yang tak mau bertabayyun akan senantiasa menjadikan pernyataan pak menkopolhukam sebagai sabda yang harus dituruti. Sehingga menjadi dalih bagi mereka untuk pada akhirnya menyimpan maklumat bahwa meniru sistem pemerintahan nabi adalah haram. Tentu saja ini pernyataan sesat dan menyesatkan. Belum lagi kelar kasus "Bu Sinta" terkait ketidakwajiban berhijab, sekarang malah muncul kasus lebih parah lagi bahkan terkesan terang-terangan. Yaitu pengharaman meniru sistem pemerintahan Rasulullah. Astaghfirullah. Dan menyatakan bahwa umat diperintahkan mendirikan negara Islami bukan negara Islam adalah juga pandangan menyesatkan karena tidak memiliki landasan dalil syar'i.
Logika Mahfudz MD ini tentu sangat ngawur. Pasalnya, Nabi Muhammad saw. telah mencontohkan dengan lengkap melalui Sunnahnya berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya sistem pemerintahan. Fakta-fakta baru pun mampu diselesaikan oleh Islam dengan seluruh perangkat hukumnya yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.

Lantas bagaimana kedudukan sunnah nabi didalam Islam?
Sunnah Nabi Muhammad saw.—yakni perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau—adalah salah satu sumber hukum Islam yang sangat penting dan termasuk masalah pokok (ushul).

As-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang nilai kebenarannya sama dengan al-Quran karena sama-sama berasal dari wahyu. Allah SWT berfirman:
"Tidaklah yang dia (Muhammad) ucapkan itu menuruti kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada dirinya)" (TQS an-Najm [53]:3-4).

Maknanya, apa pun yang disampaikan Nabi Muhammad saw. (al-Quran dan as-Sunnah) bersumber dari wahyu Allah SWT. Bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Allah SWT pun menegaskan:
"Aku (Muhammad) tidaklah mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepada diriku " (TQS al-An’am [6]: 50).

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan Sunnah Nabi Muhammad saw. sebagai sumber hukum Islam adalah pasti (qath’i).

Oleh karena itu seorang Muslim wajib mencintai dan mengamalkan Sunnah Nabi saw. Termasuk Sunnah Nabi terkait sistem pemerintahan. Sunnah Nabi Muhammad saw. harus didahulukan di atas ucapan manusia, adat, kebiasaan termasuk kesepakatan manusia. Karena itu seorang Muslim harus berhati-hati, jangan sampai menolak Sunnah Nabi Muhammad saw., termasuk sistem pemerintahan yang beliau praktikkan, karena sikap demikian merupakan salah satu tanda riddah (murtad) (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65).

Wajibnya Mengkuti Sistem Pemerintahan Warisan Nabi Muhammad saw.
Sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad saw. adalah Khilafah. Sistem Khilafah wajib diikuti. Nabi saw. bersabda:
"Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi. Sebab sungguh siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada Sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan"  (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya berkata:
"Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah. Lalu al-‘Irbadhi berkata, “Suatu hari Rasulullah saw. mengimami kami shalat subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’”

Kemudian beliau bersabda dengan hadis di atas. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban, juga al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala Shahihayn dan ia berkomentar, “Hadis ini sahih.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra.

Dalam hadis di atas Rasul saw. berpesan, “Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan kewajiban bertakwa secara mutlak; dalam hal apa saja, di mana saja dan kapan saja.

Kemudian beliau bersabda, “Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada Sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.”

Sunnah dalam hadis ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadis ini, Nabi saw. memerintah kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkah beliau dan Khulafaur Rasyidin. Perintah ini tentu mencakup masalah sistem kepemimpinan. Sebab konteks pembicaraan hadis ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya, hadis ini merupakan perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.

Seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib.

Dalil-dalil tentang kewajiban mengadakan khilafah dan menegakkannya bisa dilihat rinciannya sebagai berikut:
1. Dalil Alquran

Allah SWT berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [TQS al-Baqarah [2]: 30].

Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah.” Bahkan, dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].

Dalil Alquran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].

2. Dalil as-Sunnah
Di antaranya sabda Rasulullah SAW:
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [HR Muslim].

Berdasarkan hadits di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].

Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda SAW harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda:
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim]

3. Dalil Ijmak Sahabat
Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah Alquran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i (pasti). Para ulama ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:
“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan pondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].

Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan Alquran atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].

Lebih dari itu, menurut Syeikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:
“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan khilafah [Lihat, Syeikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].

4. Kesepakatan Ulama Aswaja
Berdasarkan dalil-dalil di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan, “Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syar'iah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani; Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].

Ulama Nusantara, Syeikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan khilafah. Bahkan bab tentang khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. 

Alhasil, jelas bahwa sistem pemerintahan Islam warisan Nabi Muhammad saw. adalah Khilafah. Tepatnya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Khilafah menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan syariah (Allah SWT). Khilafah dipimpin oleh seorang khalifah yang dipilih dan diangkat oleh umat dengan akad baiat. Khalifah diangkat bukan dengan cek kosong, tetapi dengan tugas untuk melaksanakan syariah Islam secara kaffah. Khalifah wajib menerapkan hukum syariah Islam di tengah-tengah umat sehingga terwujud masyarakat Islam.

Maka sekarang mari renungkan kembali, masihkan kita manusia yang bahkan tidak suci, penuh dosa, bukan Nabi apalagi Rasul berani menentang ajaran Nabi bahkan berani mengatakan mengikuti sistem pemerintahan Nabi (yang jelas-jelas Nabi Muhammad adalah teladan yang diutus Allah SWT ditengah-tengah umat) adalah haram?. Bukankah itu sama artinya menentang Allah SWT? Naudzubillah mindzaliq.

Post a Comment

Previous Post Next Post