Investasi Asing di Balik IKN, Untung atau Buntung?

Oleh : Linda Pusparini 
(Ibu Rumah Tangga)

Provinsi Kalimantan Timur telah resmi ditunjuk menjadi Ibu Kota Indonesia baru oleh Presiden Joko Widodo. Keputusan itu diumumkan di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (26/8/2019), tepatnya di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara. www.muslimahnews.com.(04/02/2020).

Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil mengatakan tahap awal pembangunan ibu kota baru di Kalimantan akan dimulai pada lahan seluas 6ribu Ha. (CNBC Indonesia,21/1/2020).

Presiden Joko Widodo juga telah mengundang beberapa negara untuk menanamkan investasi di ibu kota  negara baru di Kalimantam Timur. Tawaran ini disampaikan Presiden Joko Widodo ketika menjadi pembicara kunci di forum internasional bertajuk Abu Dhabi Sustainbility Week, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (13/1) lalu.

Jokowi menyatakan, investasi di ibu kota baru akan menarik karena Indonesia ingin  kawasan pemerintahan itu dibangun dengan teknology mutakhir, juga menjadi wadah  perkembangan inovasi dan kreatifitas, namun tetap ramah lingkungan bagi masyarakat.

Jika kita telaah lebih mendalam, ajakan kepada para investor asing yang notabene adalah negara kapitalis sekuler untuk menggerakkan roda perekonomian negeri ini, apalagi berkaitan dengan bidang strategis dan sangat vital sebagaimana pembangunan ibu koa negara, justru sangat membahayakan. Pemerintah sebagai pembuat hukum menggoalkan berbagai kepentingan pemodal atau korporasi untuk melaksanakan investasi tersebut. Padahal seperti kita tau selama ini segala bentuk kerjasama dengan asing tentu tidak ada makan siang gratis, No Free Lunch. 

Pembangunan dengan membuka investasi sejatinya menjadi pembuka jalan bagi neo  imperialisme khususnya di bidang ekonomi yang dapat  "menguasai" negeri ini. Dan efeknya pun cepat atau lambat negara akan tergadai dengan sendirinya.

Konsep neo imperialisme dengan dalih investasi tersebut tak lain berakar dari diterapkannya ideologi kapitalisme yang berasaskan sekulerisme yang tentu saja sangat jauh dari harapan mensejahterakan rakyat. Bahkan sama sekali tidak menguntungkan negeri ini.

Hal ini sangat berbeda ketika islam diterapkan. Islam menjamin kemandirian negara sehingga negara berdaulat tanpa bergantung investor asing. Dalam kitab Nizhamul Iqtishadi fil Islam karya syekh Taqiyudin An Nabhani dijelaskan, sekalipun islam tidak melarang kerja  sama dengan asing, akan tetapi ada syaratnya, diantaranya bukan negara yang memusuhi islam, bukan dalam bidang strategis dan juga tidak menjadikan posisi negeri asing tersebut menguasai negeri muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah :

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’ [4]: 141)

Pemasukan negara pun diperoleh dengan cara yang sesuai syariat yakni mengelola SDA yang dimiliki secara mandiri sesuai ketentuan syara' sehingga mampu menutup kebutuhan negara tanpa bergantung investasi asing yang jelas merugikan negara dan rakyat. Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post