Ilusi Kerukunan Beragama di Sistem Demokrasi


Oleh : Winda Yusmiati, S.Pd

Demokrasi yang diagung-agungkan oleh pengikutnya kini tercederai oleh dua kejadian yang memicu keresahan dan mengancam retaknya kerukunan antar umat beragama di negeri ini. Dua kejadian diantaranya perusakan terhadap Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), dan pelemparan batu oleh sekelompok orang pada masjid Al Amin di jln Belibis Medan.

Menanggapi peristiwa ini Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Tengku Zulkarnain meminta agar pihak kepolisian daerah tersebut cepat tanggap dalam mengusut siapa dalang dalam kasus ini, beliau juga mengatakan jangan sampai lambatnya penanganan akan memicu kemarahan dari umat Islam “kami ingatkan bahwa umat Islam itu seperti lebah. Lebah menghasilkan madu, tidak mengambil kecuali yang baik, dan jika hinggap di ranting tidak patah. Tapi jika lebah diganggu, dia akan melawan sampai mati,” tambah beliau (pojoksatu.id/ 31/01/2020)

Sementara itu menurut Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo kasus Minahasa ini adalah “the real radicalsm“,” ujar Anton kepada redaksi Rmol.id yang menanggapi pernyataan Menteri Agama bahwa perusakan tempat ibadah jika dibanding dengan jumlah tempat ibadah di Indonesia memiliki rasio yang sangat kecil, pernyataan ini menurut Anton Tabah tidak tepat bahkan bisa menimbulkan polemik di tengah masyarakat, harusnya bapak Menag buat pernyataan yang menyejukkan bukan malah menambah panas suasana.

Yang menjadi persoalan bukan tentang sedikit banyaknya jumlah perusakan yang dilakukan oleh minoritas atas tempat ibadah umat Islam, melainkan apa yang mereka lakukan telah mengusik kerukunan antar umat beragama. Bukankah toleransi begitu sering digaungkan serta mayoritas diberi kebebasan untuk membangun tempat ibadah. Lantas, kemana sikap toleransi itu? kenyataannya, tindak intoleran masih kerap terjadi.

Kasus perusakan tempat ibadah bukanlah hal yang baru bagi negeri ini. Sebenarnya Indonesia punya catatan panjang soal kebebasan mendirikan dan memiliki rumah ibadah, khususnya bagi umat agama minoritas. Imparsial mencatat ada 31 kasus pelanggaran terhadap hak KKB di Indonesia dalam setahun terakhir. Sebanyak 11 di antaranya merupakan perusakan terhadap rumah ibadah. Berkaca dari beberapa kejadian atas perusakan tempat ibadah umat Islam, menunjukkan bahwa kerukunan dalam sistem demokrasi hanyalah ilusi.

Jika kita mau menelaah, banyaknya kasus perusakan rumah ibadah adalah bukti masih lemahnya pembangunan kerukunan beragama. Selain itu juga, sistem demokrasi yang dianut di negeri ini lebih berkonsentrasi menegakkan pembelaan berlebihan terhadap warga minoritas, hal ini justru berpotensi munculnya tirani minoritas termasuk dalam sikap beragama. 

Ditambah lagi karena pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku minoritas, justru hal ini membuat hal serupa berulang. Seharusnya hal ini ditindak tegas dengan memberikan hukuman yang bisa membuat para pelaku jera sehingga tidak akan mengulangi perbuatan yang sama di masa yang akan datang. 

Namun, yang terjadi tidak demikian, perbuatan mereka dianggap biasa dan harap untuk dimaklumi. Hasilnya bisa kita lihat dengan semakin masif pengrusakan tempat ibadah umat Islam hingga hari ini. Hal ini menunjukkan sistem sekuler-demokrasi gagal mewujudkan kerukunan.

Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan sesuatu yang harus diperhatikan untuk terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak bisa dianggap sepele ketika muncul konflik, yang semata-mata bukan karena masyarakat tidak mengetahui soal toleransi. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di dalam negeri. Dalam hal ini negara menjadi penentu apakah kehidupan beragama akan berjalan harmonis atau berantakan. Maka sungguh, hubungan antar pemeluk agama membutuhkan sistem pengaturan yang handal.  

Islam adalah agama yang pernah hadir dalam sebuah institusi negara. Islam dengan seperangkat fikroh dan thoriqoh (ide, peraturan dan tata cara pelaksanaannya) telah memberikan pengaturan yang jelas tentang masalah hubungan antar pemeluk agama. 

Keberagaman agama itu tetap ada. Allah Swt. berfirman”

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (TQS. Al Baqarah [2]: 256)
Ayat ini menjelaskan tidak ada paksaan untuk seseorang memeluk agama Islam.

Islam mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam sebuah negara.  Dalam hukum Islam, warga negara daulah Islam yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”.  Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka. Sebagai warga daulah, mereka berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi.

Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad).

Dalam kaitan dengan masalah akidah, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Namun dalam masalah ekonomi, politik, dan sanksi, maka kaum nonmuslim (Kafir dzimmi) wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syariah yang diterapkan dalam kehidupan publik.

Islam sangat menjaga batas-batas agar hubungan antar agama tidak mengarah pada runtuhnya bangunan Islam. Islam menghendaki kehidupan rukun antar pemeluk agama tetap berada dalam batasan syariat.  Misalnya, tidak mencampur adukkan yang haq dan batil, yang halal dan haram, yang benar dan salah, yang Islam dan kufur.  Allah SWT berfirman :
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (TQS. Al kafiruun : 6)

Begitulah Islam sebagai agama sempurna mengatur kerukunan antar umat beragama.   Negara melakukannya karena ketundukan kepada Islam sebagai bentuk takwa kepada Allah, tidak boleh disertai sikap arogan dan sewenang-wenang.
  
Dengan cara inilah kehidupan beragama dalam negara terwujud dengan baik, tanpa pertentangan dan kekerasan. Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post