Eksploitasi Pariwisata dalam Perekonomian Sumedang

Oleh: Maryam Jamilah

Dalam rangka dalam merayakan tahun baru 2020, Pemerintah Kabupaten Sumedang mengadakan penampilan Tari Umbul Kolosal di Kabupaten Sumedang tepatnya di Jatigede, Sumedang, 30 Desember 2019. Penampilan itu melibatkan 5.555 penari perempuan dari 270 desa se-kabupaten Sumedang. Tujuan diadakannya event ini agar nilai budaya yang ada dalam tari kolosal dapat masuk ke dalam sajian penampilan sehingga menjadi daya tarik dan ikon wisata Kabupaten Sumedang.

Tari umbul adalah salah satu tari tradisional yang berasal dari Desa Situraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Kesenian ini mulai ada di Parugpug sekitar tahun 1940-an, muncul dari wilayah Indramayu ke Sumedang.  Dalam pagelarannya, para penari akan membawakan lagu yang berjudul umbul atau adem ayem sambil menari secara bergantian. Sementara para penonton sambil menyaksikan keindahan tarian serta kemerduan suara penari, sekaligus akan mengincar si penari untuk diberi tanda karembong (selendang), kopiah, dan sarung. 

Tari Umbul itu sendiri lahir sebagai bentuk ketidaksenangan masyarakat terhadap penjajah Belanda sehingga ekspresi tersebut disalurkan dalam bentuk tarian. Awalnya, tarian ini disajikan pada pertunjukan longser sehingga ada unsur lagu, gerak tari, dan lawak. Ciri khas Tari Umbul khas Sumedang ini adalah gerakan pinggul yang berbau erotis sehingga pada awal kemunculannya pernah mengalami penentangan. Ironisnya, dulu ditentang karena erotis, tapi akhirnya ingin dijadikan potensi pariwisata  (sumedangkab.go.id, 27/12/2019).

Bupati Sumedang saat ini sedang ngebut membangun daerah untuk mewujudkan visi Sumedang SIMPATI. Salah satu prioritasnya adalah sektor pariwisata. Menurut Sekda Kabupaten Sumedang Herman Suyatman, Sumedang kedepan harus menjadi destinasi wisata kelas dunia, bukan hanya mendatangkan wisatawan lokal dan nasional tetapi juga wisatawan mancanegara. Selain dapat menggairahkan perekonomian daerah tetapi juga akan meningkatkan devisa negara. Bahkan menurut Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum berharap, pariwisata bisa berkontribusi terhadap peningakatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tanpa memberatkan masyarakat. Menurut Uu, PAD dari sektor pariwisata tidak akan memberatkan masyarakat karena memberikan timbal balik yang menyenangkan. Berbeda dengan PAD dari retribusi atau pajak. Langkah kongkret yang sedang dipacu saat ini antara lain mewujudkan Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Jatigede. Jatigede punya potensi yang dahsyat untuk dikembangkan dalam format wisata alam dan budaya. Untuk itu, guna mengakselerasi KEK, Pemkab Sumedang menjalin kerjasama dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), BUMN yang punya pengalaman memfasilitasi Nusa Dua Bali dan KEK Mandalika di NTB.

Namun, keputusan Pemkab Sumedang menjadikan Sumedang sebagai destinasi wisata kelas dunia untuk meningkatkan perekonomian daerah dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dinilai tidak tepat. Pasalnya, alih-alih meningkatkan perekonomian daerah, sektor pariwisata justru akan menambah masalah baru berupa eksploitasi pariwisata di Kabupaten Sumedang. Terbukti, kemarin saja, ketika menyambut tahun baru 2020, penampilan Tari Umbul Kolosal di Jatigede melibatkan 5.555 penari perempuan dari 270 desa di Sumedang. Tentu saja ini merupakan eksploitasi terhadap perempuan. Bagaimana tidak, sejumlah penari perempuan tersebut disuruh untuk berlenggak-lenggok menarikan tari umbul tersebut, mereka hanya diberi 150 ribu rupiah, jumlah tersebut tidak sebanding dengan berbagai kebutuhan yang harus disiapkan untuk mengikuti pagelaran tersebut. Terlebih lagi, sikap pemerintah terhadap kebijakan pariwisata di Sumedang ini merupakan ciri dari negara kapitalis yang mengedepankan materi dalam segala bidang. Ciri-ciri strategi penjajahan melalui bidang pariwisata adalah pemerintah tersebut, mengklaim bahwa pariwisata sebagai pertumbuhan ekonomi yang subur, hal ini dibuktikan dengan maraknya dibuat objek wisata di tempat tersebut, dan tentu saja, untuk membuat sebuah tempat menjadi destinasi wisata, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dari mana lagi biaya itu kalau bukan meminjam pinjaman dari asing dan membuka peluang investasi sebesar-besarnya di daerah tersebut. 

Maka tidak heran jika Sumedang kini menjadi salah satu daerah incaran para investor yang ingin berinvestasi mengembangkan usahanya. Investor dari negara Singapura misalnya. Melalui perusahaan penghubung, yaitu PT Daya Inti Selaras, kini terang-terangan mengaku tertarik untuk berinvestasi di Sumedang. Sementara itu tersiar kabar jika para investor akan diberikan timbal balik kemudahan dalam memroses perizinan dan lainnya. Mereka (para pengusaha) bahkan memberikan testimoni tentang kemudahan izin di Sumedang, yang dinilainya sangat cepat. Ini juga diapresiasi oleh World Bank, bahkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum terhadap layanan yang cepat dari Kabupaten Sumedang.

Efek dari banyak investor ini akan menjadi boomerang bagi Sumedang itu sendiri, mudahnya proses perizinan akan menjadikan kawasan ini diserbu dengan kebijakan asing dan para pekerja asing. Alih-alih menyejahterakan masyarakat Sumedang, akhirnya justru malah membuat masyarakat Sumedang semakin sengsara, kehilangan mata pencahariannya. Selain itu, menjamurnya tempat pariwisata akan sangat berpengaruh pada gaya hidup orang Sumedang, mereka akan terseret gaya hidup ala Barat, bagaimana tidak, toh investor banyak dari Barat, mereka tidak akan “memberikan makan siang gratis” pada masyarakat Sumedang, mereka akan menghadirkan food, fashion and fun ala mereka kepada masyarakat Sumedang. Inilah penjajahan halus terhadap masyarakat yang tidak kita sadari. Dahulu Tari Umbul dipakai untuk melawan penjajah, namun kini disajikan untuk menyambut penjajah, ironis. 

Penjajahan adalah metode baku penyebaran ideologi kapitalisme. Adapun uslub politik yang digunakan dalam penjajahan bisa menggunakan bantuan ekonomi melalui utang luar negeri, para ahli, dan konsep “rencana pembangunan”. Bila ditelisik lebih dalam, secara ringkas strategi penjajahan di bidang pariwisata mengikuti pola sebagai berikut:

Pertama, pendahuluan klaim pariwisata sebagai kunci pertumbuhan ekonomi. Dipaparkan berbagai data penunjang seperti pariwisata menyumbang 10 persen GDB baik langsung maupun tidak langsung (data WTTC), pendorong ekonomi paling cepat mudah dan berkelanjutan, devisa rangking 3 setelah fuels and chemicals, pendorong dan penggerak ekonomi sektor lain, penggerak globalisasi, konektivitas, integritas dan pengembangan sosio-ekonomi.

Kedua, membuat regulasi pengembangan sustainable tourism. Permen No 14 tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan diselaraskan ke dalam RPJMN untuk mendukung pencapaian tujuan Suistainable Development Goals (SDGs). Menggunakan prinsip 3P (People, Planet, Prosperity). Termasuk didalamnya mempermudah prosedur pembuatan visa dan ijin masuk negara lain (permit entry), dan kerjasama bilateral antar negara bidang pariwisata.

Ketiga, jerat hutang lembaga dunia melalui investasi infrastruktur pariwisata. Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia menyepakati pinjaman senilai 300 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,1 triliun. Pinjaman ini digunakan untuk pengembangan infrastruktur sektor pariwisata untuk menambah sumber daya domestik besar yang sudah diinvestasikan dalam pariwisata. Dukungan Bank Dunia bagi pembangunan pariwisata merupakan komponen penting dari Kerangka Kerja Kemitraan Negara Grup Bank Dunia.

Keempat, kapitalisasi ekonomi melalui penyediaan arus modal dan investasi pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) termasuk KEK pariwisata. Untuk mempercepat perwujudan KEK di 25 wilayah dan menarik lebih banyak investasi pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 Tahun 2017 tentang Kebijakan Percepatan Kemudahan Berusaha

Kelima, liberalisasi sosial budaya menjadi ruh penjajahan pariwisata. Modal alam semata tanpa basis manusia tidak mampu menjamin keberlangsungan arus penjajahan di suatu negara (wilayah). Oleh karena itu para ahli UGG menyeleksi ketersediaan wisata alam dan human resources yang terkoneksi. Tujuannya agar liberalisasi sosial budaya dapat terus berjalan. Terciptanya sosial inclusive melalui pendidikan inklusif untuk melahirkan sosok (Muslim) moderat (yang amat ramah dengan agenda liberalisasi), melalui interaksi penduduk lokal dengan wisatawan mancanegara (promosi bahasa, kesetaraan gender dan nilai-nilai demokrasi sekuleristik).

Mungkin benar, jika sektor pariwisata bisa menambah PAD, namun jangan menjadikannya faktor utama. Banyak potensi daerah Sumedang yang bisa digali untuk PAD, diantaranya:

Pertama, pengelolaan dan penertiban galian C. Galian C adalah bahan galian yang didalamnya terdapat pasir urug, andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit, dan kerikil sungai (beritagar.id). Di Sumedang sendiri, potensi galian C ada di daerah Cimalaka, dan Kaki Gunung Tapomas. Jika dikelola dengan baik, maka galian C ini akan sangat besar menyumbang PAD Kabupaten Sumedang. Namun selama ini, Pamkab Sumedang tidak tegas terhadap pengusaha swasta yang tidak mengantongi berbagai perizinan, seperti izin lingkungan setempat (HO), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Pertambangan (IUP), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dalam menggali galian C. Para pengusaha banyak yang melanggar BRET (Buku Rencana Ekspolitasi Pertambangan), seperti luasan wilayah tambang, kedalaman galian, UPL/UKL (Upaya Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan), pembayaran pajak dan retribusi. Berbagai pelanggaran dan kebocoran pajak dan retribusi pertambangan itu, penyebab PAD dari sektor pertambangan dinilai sangat minim. Bahkan tahun 2010 lalu, PAD-nya hanya Rp 400 juta. Baru tahun 2019 target PAD-nya dinaikan menjadi Rp 2 miliar dan tahun ini Rp 2,5 miliar. Meski sudah dinaikan, PAD sebesar itu dinilai masih minim dibandingkan potensi pertambangan di Kabupaten Sumedang yang cukup besar. Harapannya, melalui penertiban galian ini, mudah-mudahan berbagai kebocoran pajak dan retribusi dari pertambangan bisa ditekan seminimal mungkin sehingga bisa mendongkrak PAD lebih tinggi lagi.

Kedua, dari sektor pertanian dan hasil pertanian. Sumedang mempunyai keunggulan di bidang pertanian. Dimana, lebih dari setengah penduduk Sumedang, merupakan petani yang didukung dari melimpahnya air serta dianugrahi tanah yang subur. Maka dengan begitu, keunggulan dari aspek pertanian, diharapkan bisa membangkitkan perekonomian Sumedang. Sumedang harus bisa mengembangkan produk taninya untuk menjadi produk yang membanggakan Sumedang. Misalnya saja ubi cilembu, sawo sukatali, salak paseh, mangga gedong gincu, dsb. Jangan justru sebaliknya, Sumedang yang mayoritas penduduknya sebagai petani, tapi mengimport produk tani dari luar.

Lantas, bagaimana Islam memandang pariwisata? Dan apakah boleh pariwisata menjadi salah satu tonggak menopang perekonomian daerah?

Hukum asal bepergian untuk tujuan wisata atau rekreasi adalah mubah (diperbolehkan) dalam Islam, selama tidak melanggar hal-hal yang dilarang dalam syariat Allâh Azza wa Jalla.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

Dialah (Allâh) yang menjadikan bumi itu mudah bagimu (untuk ditelusuri), maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan [Al-Mulk/67:15]

Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini “… maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya” adalah perintah mubâh (hukumnya boleh dan tidak dilarang). Bentuk perintah ini bertujuan untuk memperlihatkan keagungan anugerah-Nya kepada para hamba-Nya. Akan tetapi, wisata atau rekreasi yang hukum asalnya mubâh (boleh) ini bisa menjadi haram dan dilarang dalam agama jika terdapat hal-hal yang melanggar syariat Islam.

Tidak tersembunyi bagi siapa pun bahwa dunia wisata sekarang lebih dominan dengan kemaksiatan, segala perbuatan buruk dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja bersolek diri, telanjang di tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas, meminum khamar, mengambil kebiasaan dan akhlaknya bahkan sampai penyakit mereka yang berbahaya.

Sangat dikhawatirkan jika kedepannya bila telah menjamur tempat pariwisata di Sumedang akan berdampak negatif terhadap masyarakat asli Sumedang. Terutama dampak pada akhlak anak muda generasi bangsa, yang mungkin bisa terkontaminasi dengan gaya hidup hedonis dari Barat. Juga bisa dipastikan para penjajah akan dengan sangat leluasa mengokohkan penjajahannya dan mengeruk SDA Sumedang dengan dalih pariwisata. Jika tujuan dari Pemkab Sumedang ingin meningkatkan pendapatan ekonomi daerah, maka sesungguhnya Islam telah lama memiliki solusi yang bisa diterapkan, pendapatan daerah dalam Islam bisa ditingkatkan melalui pengelolaan sumber daya alam setempat dengan tepat, bukan dari sektor pariwisata.

Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari penjajahan pariwisata dibutuhkan kesadaran, kemauan, dan kekuatan yang bersifat ideologis dalam diri penyelenggara negara dan masyarakat. Maka ideologi negara yang selama ini terbuka pada sosialisme-komunisme dan condong kepada kapitalisme-demokrasi harus dihilangkan. Caranya dengan mengembalikan penerapan ideologi yang berasal dari Penguasa Alam Semesta sebagai jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan politik suatu negara. Dan Khilafah dengan keagungannya adalah alternatif tunggal yang sepadan untuk menghadapi penjajahan global kapitalisme. Wallaahu a’lam bish shawab.   

Post a Comment

Previous Post Next Post