Drama Kenaikan Bawang Putih

Oleh : Rahmi Surainah, M. Pd 
alumni Pascasarjana Unlam 

Bawang putih kembali melonjak mahal. Disinyalir  merebaknya virus corona menjadi penyebab mahalnya bawang putih, stok impor bawang putih Tiongkok dihentikan. Tahun sebelumnya bawang putih juga pernah melonjak mahal tetapi bukan karena corona. Jika kembali berulang, kenaikan bawang putih bagaikan drama yang bersambung. Siapakah sutradara di balik drama bawang putih mahal?

Asri, salah satu pedagang sayur di Pasar Botania 1 Batam Center, mengatakan, harga bawang putih mahal karena stok yang didatangkan dari Tiongkok dihentikan. Padahal selama ini, bawang putih dipasok dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Meski tinggi, stok bawang putih masih ada di distributor. Namun, pihaknya tak berani mengambil banyak, takut harga bawang putih tiba- tiba turun.

Sementara, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Batam, Gustian Riau, belum bisa dikonfirmasi terkait harga bawang putih yang masih tinggi. Namun, beberapa waktu lalu, ia mengaku pihaknya tengah mengupayakan ketersediaan stok bawang putih dari daerah lain seperti Padang, Sumatera Barat.

Menurut Gustian, untuk stok bawang putih dipastikan aman hingga bulan Maret. Bahkan, sekitar tanggal 27 Februari 2020 mendatang, ada impor bawang putih dari Tiongkok yang akan kembali masuk ke Batam. Namun, tergantung izin pusat lewat karantina. (batampos.co, 17/2/2020)

Menteri Pertanian Syahrul Yasin membenarkan corona penyebab mahalnya bawang putih karena China merupakan impor utama Indonesia. Sehingga menurutnya perlu solusi alternatif impor bawang putih selain dari China misalnya India dan Amerika. 

Meskipun demikian, Menteri Pertanian menegaskan bahwa masyarakat tak perlu khawatir akan ketersediaan bawang putih. Pasalnya stok bawang yang ada masih mencukupi. Menurutnya, jumlah pasokan bawang putih akan segera bertambah. Panen bawang pada akhir bulan ini sampai Maret mencapai 50 ribu ton. (okezone.co, 15/2/2020)

Bawang Putih Mahal Permainan Kapitalis

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam rentang 2013-2018 rata-rata volume impor bawang putih mencapai 501.944,5 ton/tahun dan memiliki tren naik setiap tahunnya. Puncaknya volume impor tertinggi pada tahun 2018 yang tercatat 582.995 ton. Bahkan, dari seluruh stok bawang putih yang ada pada tahun 2018 sebanyak 93,68% di antaranya diperoleh dari impor.

Tidak berlebihan jika Indonesia disebut raja impor karena pada realitanya Indonesia merupakan negara dengan volume impor bawang putih terbesar di dunia menurut data UN Comtrade. 

Pada tahun 2018, UN Comtrade merekam China menjadi negara penyuplai bawang putih terbesar bagi Indonesia. Sebanyak 580.845 ton atau 99,6% bawang merah dikirim dari negara yang berjuluk tirai bambu tersebut. Sisanya berasal dari India yang menyuplai 464 ton, kemudian negara Asia lainnya sebesar 1684 ton.

Demikianlah tata kelola rezim neolib dalam memenuhi kebutuhan bawang putih, impor seakan menjadi andalan. Padahal, impor sebenarnya dapat ditekan dengan peningkatan produksi dalam negeri agar anggaran yang selama ini digunakan untuk kegiatan impor bawang putih dapat dikurangi. Sehingga, selisih dari pengurangan anggaran tersebut dapat diperuntukkan pada kegiatan lain yang memiliki potensi cukup signifikan bagi perekonomian Indonesia.

Selain itu, peningkatan produksi dalam negeri juga dapat membantu petani dalam meningkatkan income dari produksi bawang putih dan memperbaiki taraf hidupnya. Jika bawang putih dalam negeri maksimal maka tidak akan kalah bersaing dengan luar. Impor pun bisa dihentikan sehingga swasembada bawang putih tahun 2021 akan realistis. 

Sebenarnya kalau dianalisis lebih tajam korona bukan penyebab mahalnya bawang putih yang berarti adanya izin impor di sana. Bawang putih di distributor ada, bahkan disebutkan stoknya akan bertambah karena akhir bulan ini sampai Maret panen bawang putih mencapai 50 ribu ton. Jadi, jika demikian berarti memang ada skenario yang di setting sehingga drama mahalnya bawah putih pun kembali terjadi.

Pemerintah harus bisa menghentikan drama mengapa bawang putih mahal dan memberikan solusi permasalahan tanpa harus impor lagi. Jika tidak, hal ini menegaskan negara nyata menempatkan diri sebagai regulator semata. Terlihat dari kebijakan setengah hati mewujudkan swasembada bawang putih.

Permasalahan bawang putih makin buruk karena di era kapitalis, distorsi pasar termasuk mafia pangan awam bisa diselesaikan. Kebijakan pemerintah justru membuat senang para pengusaha besar khususnya asing atas nama impor.

Permainan licik para pengusaha termasuk pejabat yang memainkan harga bawang putih harus ditindak tegas, jangan sampai mereka memanfaatkan kebutuhan masyarakat untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya.

Sistem Kapitalis Sekuler saat ini memang menyuburkan praktek pasar yang membuat baik penjual, pembeli, bahkan petani lokal mengurut dada. Pemerintah pun yang seharusnya berpihak kepada masyarakat justru seakan membacking para pengusaha besar atau asing untuk menanamkan modalnya di pasar. 

Sistematis Islam Mengatasi Harga

Dalam Islam praktek jual beli ada ketentuannya, baik syarat maupun rukunnya. Sayang ketentuan jual beli dalam sistem sekarang tidak lagi diperhatikan karena sistemnya pun tidak mendukung. Rukun jual beli, salah satunya akad yang ditandai dengan suka sama suka, baik penjual atau pembeli tidak lagi terjadi. Buktinya banyak keluhan masyarakat dan keterpaksaan dalam praktek jual beli, khususnya kenaikan kebutuhan yang mau tidak mau harus dipenuhi demi kelangsungan hidup.

Pemimpin pun dalam Islam andil dalam pasar, hal ini pernah dicontohkan Rasulullah saw yang sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘impeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar). Beliau juga melarang penimbunan (ihtikar). Negara juga memberikan sanksi berupa ta’zir bagi para pelaku penimbunan dan penipuan sebagai efek jera agar kejadian ini tidak terulang. 

Kebijakan mematok harga juga tidak dibenarkan dalam Islam. Harga dalam Islam dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, supplay and demand. Ketika zaman Nabi, saat harga barang-barang naik, para sahabat datang kepada Nabi saw. meminta agar harga dipatok. Tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Nabi, seraya bersabda, “ Allah lah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rizki, Memberi rizki, dan Mematok harga” (HR. Ahmad dari Anas). 

Ketika Nabi mengembalikan kepada mekanisme pasar, bukan berarti negara kemudian sama sekali tidak melakukan intervensi. Hanya saja, tentu intervensinya bukan dengan mematok harga, namun dengan cara lain. Cara yang tidak merusak persaingan di pasar yaitu supplay and demand. Inilah yang bisa dilakukan oleh negara Khilafah dengan sistem ekonomi islamnya. 
Wallahu'alam...

Post a Comment

Previous Post Next Post